Oleh: Prof. Daniel Mohammad Rosyid
“Paradoks Indonesia” adalah istilah yang dipakai Presiden Prabowo Subiyanto untuk menggambarkan keprihatinannya melihat kondisi bangsa pasca-Reformasi 1998. Sebagai seorang sosialis nasionalis, Prabowo menilai bahwa setelah 25 tahun reformasi berjalan, bangsa ini justru mengalami kemunduran dibanding cita-cita awal kemerdekaan.
Sejak UUD 1945 diubah menjadi UUD 2002, tujuan reformasi seperti demokratisasi, desentralisasi, dan pemberantasan korupsi justru tidak terwujud. Yang muncul adalah fenomena korporatokrasi, resentralisasi, serta meluasnya praktik korupsi. Dengan kata lain, reformasi dinilai gagal mencapai tujuannya akibat perubahan konstitusi yang melenceng dari semangat Proklamasi.
Pandangan MPUII tentang UUD 1945
Kritik Prabowo ini memiliki irisan dengan pandangan Majelis Permusyawaratan Ummat Islam Indonesia (MPUII) yang memandang UUD 1945 sebagai pusaka luhur para ulama dan cendekiawan pendiri bangsa. MPUII tidak menolak perubahan UUD 1945, namun menegaskan bahwa proses amandemen harus dilakukan secara hati-hati, terbuka, dan sesuai amanah konstitusi—bukan melalui langkah gegabah yang justru mengkhianati tujuan reformasi itu sendiri.
MPUII menilai perubahan 1998 telah membawa konsekuensi serius: menjauhkan Indonesia dari jati dirinya sebagai negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
Silaturahim Nasional Tokoh Bangsa
Dalam Silaturahim Nasional Tokoh Bangsa yang digelar 30 Agustus 2025, MPUII mempertemukan pejabat tinggi negara dan tokoh nasional untuk memetakan pandangan politik tentang fenomena “Paradoks Indonesia”.
Awalnya, acara ini dijadwalkan di Gedung DPD RI, namun situasi di kompleks parlemen yang tidak kondusif membuat forum dialihkan ke Hotel Sofyan Cut Meutia, Jakarta.
Melalui forum ini, MPUII menawarkan peta jalan untuk mengembalikan UUD 1945 sebagai strategi menyelamatkan NKRI dari paradoks politik, ekonomi, dan moral yang melilit bangsa ini.
Dekrit 5 Juli 1959 dan Kontroversi UUD 2002
UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sejatinya merupakan deklarasi perang melawan penjajahan dan strategi untuk memenangkannya. Namun, implementasi UUD 1945 secara murni dan konsekuen selalu terganjal oleh kekuatan neokolonialisme dan liberalisme.
Perubahan menjadi UUD 2002 bahkan dipandang sebagai langkah diam-diam kelompok sekuler kiri dan liberal radikal yang mengganti arah konstitusi sambil menuduh umat Islam anti-NKRI, anti-Pancasila, dan anti-UUD 1945.
Kemarahan Rakyat dan Akhir Dominasi Parpol
Beberapa hari terakhir, kemarahan rakyat meluas dalam bentuk protes dan bahkan pembakaran fasilitas yang diasosiasikan dengan aparat kepolisian dan partai politik. Aksi ini mencerminkan rasa frustrasi masyarakat yang merasa dikhianati partai politik dan diperlakukan tidak adil oleh aparat negara.
Tuntutan publik semakin jelas: menolak monopoli politik oleh partai-partai yang memperalat kekuasaan demi kepentingan sempit. Era dominasi parpol dan oligarki politik tampaknya sedang menuju akhirnya.
Jalan Menyelamatkan NKRI
MPUII menegaskan bahwa menjadikan UUD 1945 sebagai pedoman berbangsa dan bernegara adalah necessary condition bagi terwujudnya cita-cita Proklamasi. Sementara itu, pelaksanaan amanah konstitusi oleh pemerintah yang kompeten dan berintegritas adalah sufficient condition yang memastikan bangsa ini benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Gelombang koreksi besar terhadap reformasi yang melenceng kini muncul dari masyarakat, tokoh bangsa, hingga pemerintah sendiri. Seruan untuk kembali ke jati diri bangsa melalui UUD 1945 sebagai fondasi konstitusional tampaknya akan menjadi agenda penting dalam menyelamatkan NKRI dari krisis multidimensi yang tengah berlangsung.
KA Bima menuju Surabaya, 31 Agustus 2025.