banner 728x250
Daerah  

Paradoks Indonesia, Deklarasi Jakarta, dan Senjakala Partai Politik*

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Agus M Maksum, Deklarasi Jakarta MPUII

Jakarta, Sabtu 30 Agustus 2025. Kota ini mencekam. Jalan-jalan dijaga ketat, kompleks parlemen Senayan riuh oleh massa, suara sirene dan kepulan asap jadi latar belakang. Dalam suasana itulah Silaturahim Nasional Tokoh Bangsa akhirnya dipindahkan dari gedung DPD RI ke Hotel Sofyan Cut Meutia.

banner 325x300

Di ruang yang sederhana tapi sarat tekad, para tokoh bangsa berkumpul. Dari ulama, cendekiawan, purnawirawan, hingga akademisi. Mereka tidak sekadar bicara politik praktis, melainkan memikirkan bagaimana menyelamatkan Republik ini dari apa yang disebut Prabowo Subianto sebagai Paradoks Indonesia.

Prabowo pernah mengungkapkan, reformasi telah gagal. UUD 2002 yang lahir dari reformasi justru melahirkan korporatokrasi. Demokratisasi yang dijanjikan tak pernah datang. Desentralisasi berubah jadi resentralisasi. Korupsi bukannya diberantas, malah melebar. Pandangan itu sejalan dengan Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia (MPUII) yang menegaskan: UUD 1945 adalah pusaka ulama dan cendekiawan bangsa, yang tak boleh diganti gegabah.

Lalu lahirlah Deklarasi Jakarta.
Isinya tegas. Pertama, negara harus konsisten menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945. Itu berarti melindungi segenap bangsa, membatalkan proyek-proyek yang merampas hak rakyat seperti di Rempang atau PIK1 & PIK 2, mengembalikan pranata adat dalam sistem pemerintahan, menjaga stabilitas pangan, dan konsisten bersikap anti-penjajahan, termasuk terhadap Zionis Israel.

Kedua, negara wajib memajukan kesejahteraan umum. Hapus liberalisasi kesehatan, ganti dengan sistem kesehatan nasional berbasis pencegahan dan pelayanan profesional gratis bagi rakyat. Tolak dominasi asing di bidang kesehatan. Tindak tegas koruptor tanpa pandang bulu.

Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Hentikan privatisasi dan liberalisasi pendidikan, berikan kesempatan luas bagi generasi muda untuk memimpin dengan integritas, dan perkuat peran keluarga, masjid, serta masyarakat sebagai pusat pendidikan karakter.

Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kirim pasukan perdamaian, hentikan genosida, tegakkan wajib militer bersyarat untuk memperkuat pertahanan, dan tempatkan pasukan di perbatasan demi kedaulatan NKRI.

Kelima, implementasi penuh Pasal 33 UUD 1945. Semua tambang dan sumber daya alam dikelola negara secara profesional dan transparan. Aset koruptor harus dialihkan untuk kesejahteraan rakyat dan pelunasan utang tanpa menambah beban pajak.

Keenam, meluruskan sistem ketatanegaraan. MPUII menyebut kerusakan bangsa berawal dari penyimpangan sistem yang dirumuskan para ulama dan pendiri bangsa. Karena itu, mereka mendesak UUD 1945 diberlakukan kembali sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Deklarasi itu lahir di tengah kemarahan rakyat. Kita semua melihat bagaimana rumah politisi dan aparat menjadi sasaran amuk. Sebuah letupan perasaan yang sudah lama dipendam: rakyat merasa dikibuli, dikhianati, bahkan diperas oleh partai politik yang bersekongkol dengan aparat.

Era kejayaan partai politik tampaknya menuju senjakala. Rakyat sudah muak. Mereka ingin kembali pada yang asli: UUD 1945 yang murni dan konsekuen.

*Paradoks Indonesia hanya bisa diakhiri dengan syarat itu. Sisanya, hanya soal keberanian dan kejujuran pemimpin untuk menjalankannya.*

@Pojok Kampung Wonoayu Sidoarjo, Dini Hari 1 September 2025

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *