Oleh: Monica Nathan
sidikfokusnews.com-Batam.—Panja Tata Kelola Kawasan Batam Komisi VI DPR RI kembali bersidang bersama Kepala BP Batam, Amsakar Ahmad, dan wakilnya, Li Claudia. Topik yang diangkat tampak megah dan berkelas: transformasi tata ruang, digitalisasi sistem, greenfield development, hingga integrasi moda transportasi. Kalimat-kalimat indah itu mengisi ruang sidang di Senayan seolah Batam masih sebidang tanah kosong yang siap dibangun dari nol.
Namun bagi rakyat Batam, semua itu terdengar seperti orasi di atas kertas. Sebab di lapangan, fakta-fakta besar yang selama ini memicu amarah publik justru dihindari. Teori dibahas panjang, tapi realitas dilangkahi.
Purajaya: Janji DPR yang Dikhianati
Pada Februari 2025, Panja Mafia Tanah Komisi II DPR RI yang dipimpin Habiburokhman mengeluarkan rekomendasi keras terhadap BP Batam. Lembaga itu diminta mengevaluasi pencabutan lahan dan perobohan Hotel Purajaya—kasus yang sudah lama dianggap sebagai simbol ketidakadilan di Batam. Rekomendasi DPR bahkan disertai dorongan agar perkara tersebut diproses oleh Mahkamah Agung dan aparat penegak hukum.
Namun, ketika Panja Tata Kelola Kawasan Batam kembali bersidang pada 1 Oktober 2025, nama Purajaya bahkan tidak disebut. Pertanyaan yang dulu menggema di ruang dengar pendapat menguap tanpa jejak. BP Batam tidak memberi jawaban, DPR tidak menekan. Kasus Purajaya menjadi potret paling telanjang dari lemahnya konsistensi politik: DPR berbicara lantang di awal, tapi kehilangan nyali di akhir.
Batu Ampar: Uang Rakyat Menguap di Dermaga
Proyek revitalisasi dermaga Batu Ampar menelan dana Rp306 miliar. Proyeknya bocor, tujuh orang ditetapkan tersangka, dan pelabuhan tetap semrawut. Namun bukannya menelusuri siapa aktor utama di balik korupsi besar ini, Panja justru memilih berbicara tentang “integrasi digital logistik” dan “efisiensi rantai pasok.”
Kata-kata itu terdengar canggih, tapi rakyat hanya melihat pelabuhan yang tetap rusak dan uang negara yang tak kembali. Modernitas menjadi topeng untuk menutupi pembiaran.
Rempang: Kompensasi yang Terpangkas
Rempang dijual ke publik sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Investor menjanjikan kompensasi bagi warga yang tergusur. Tapi di lapangan, dana ganti rugi itu diduga disunat oleh oknum-oknum dalam lingkaran BP Batam. Rakyat adat hanya menerima sebagian kecil dari hak mereka.
Di sinilah luka paling dalam muncul — bukan hanya karena digusur, tapi karena dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi. Namun Panja yang seharusnya bersuara malah memilih berbicara soal governance framework dan best practice.
Batam Center: Etalase Megah, Luka di Pesisir
Batam Center menjadi simbol modernitas—mal megah, rencana LRT, dan kawasan bisnis masa depan. Tapi di balik kemilau kaca dan beton, ada nelayan dan warga pesisir yang kehilangan ruang hidupnya. Banyak proyek berhenti di tataran MoU, menjadi monumen janji palsu.
Panja tak menyinggungnya. Yang dibahas hanya potensi investasi dan digitalisasi pelayanan publik. Padahal rakyat menunggu keberanian DPR untuk menyingkap kenyataan bahwa kemajuan kota ini sedang menindas pinggirannya.
Panja: Bicara Tinggi, Melihat Rendah
Benang merah dari semua kasus itu jelas.
Purajaya diabaikan. Batu Ampar tak disentuh. Rempang ditinggalkan. Batam Center disulap jadi mimpi palsu.
Panja bicara teori, tapi menutup mata dari kenyataan.
Ini bukan lagi soal kapasitas teknis, melainkan kemauan politik. DPR terlihat nyaman dengan narasi “transformasi,” tapi alergi pada fakta bahwa transformasi itu dibangun di atas penderitaan rakyat. BP Batam pun berlindung di balik jargon administratif tanpa menjawab substansi.
Akumulasi Kekecewaan
Rakyat Batam kini hidup di tengah paradoks. Mereka mendengar kata “reformasi tata kelola,” tapi yang mereka rasakan adalah penggusuran. Mereka membaca berita “pembangunan pelabuhan,” tapi yang mereka temui adalah korupsi dan proyek bocor.
Tokoh Melayu kehilangan asetnya. Warga adat kehilangan tanahnya. Kompensasi yang dijanjikan menguap. Investor datang dan pergi, meninggalkan lubang kepercayaan yang makin dalam.
Kekecewaan ini terus menumpuk, dan setiap kali Panja menghindar dari tanggung jawabnya, bara itu semakin menyala. Rakyat bisa sabar, tapi tidak selamanya diam ketika diinjak di tanah sendiri.
Batam tidak kekurangan teori. Yang langka adalah keberanian menghadapi realitas. Panja seharusnya menjadi ruang koreksi, bukan podium akademik. Ketika DPR berhenti menindaklanjuti rekomendasinya sendiri, dan BP Batam terus bermain aman, maka rakyat hanya melihat satu hal: pengkhianatan yang dibungkus jargon.
Jika keadaan ini terus berlanjut, sejarah akan mencatat dengan getir:
> “DPR bicara teori di Senayan, BP Batam menghindar di Batam, dan rakyat akhirnya bersatu memperjuangkan nasib di tanah sendiri.”
Timeline Kasus Purajaya:
26–27 Februari 2025: Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPR → Rekomendasi tegas terkait Purajaya.
Juli 2025: Kunjungan kerja Panja ke Batam → hasil nihil.
Oktober 2025: Rapat Panja → teori menguasai panggung, realitas diabaikan.”tim