sidikfokusnews.com-Jakarta Utara.– Polemik pembangunan pagar beton di kawasan laut Cilincing kian memanas. Struktur beton yang dibangun oleh salah satu perusahaan swasta sebagai fasilitas bongkar muat batu bara curah ini mendapat penolakan keras dari nelayan tradisional. Mereka menilai keberadaan pagar justru memutus jalur tangkap, merusak ekosistem laut, hingga menurunkan drastis hasil perikanan.
Ahli kelautan Universitas Indonesia, Dr. Rizky Andalas, menegaskan bahwa pembangunan struktur permanen di laut harus mempertimbangkan aspek ekologi dan keberlanjutan sosial. Menurutnya, kawasan pesisir Cilincing adalah salah satu jalur penting nelayan kecil yang bergantung pada ekosistem perairan dangkal. “Pemasangan pagar beton tidak hanya membatasi ruang gerak nelayan, tetapi juga berpotensi mengganggu arus air, menimbulkan sedimentasi, dan memperparah pencemaran dari limbah batu bara. Dampak ekologis ini pasti berimplikasi langsung terhadap hasil tangkapan,” jelasnya.
Senada, pengamat lingkungan pesisir dari LIPI, Nurhayati Siregar, mengingatkan bahwa pencemaran residu batu bara serta minyak dari aktivitas bongkar muat akan mempercepat degradasi terumbu karang dan padang lamun di sekitar Cilincing. “Jika ekosistem dasar laut rusak, ikan-ikan akan bermigrasi. Nelayan lokal jelas akan kehilangan sumber penghidupan,” ujarnya.
Dari sisi teknis konstruksi, pengamat bangunan maritim, Ir. Arman Surya, menilai desain pagar beton tersebut tidak sesuai dengan prinsip tata ruang laut yang seharusnya berpijak pada kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat. Ia mempertanyakan fungsi pagar beton yang justru lebih menyerupai penghalang daripada sekadar fasilitas bongkar muat. “Struktur seperti ini semestinya menggunakan konsep yang adaptif terhadap arus laut dan ramah terhadap aktivitas tradisional masyarakat. Beton masif yang dipasang di area perairan dangkal cenderung menimbulkan masalah jangka panjang seperti abrasi, akumulasi lumpur, dan perubahan garis pantai,” katanya.
Meski pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan proyek tersebut sudah dilengkapi izin resmi, para pakar menilai bahwa aspek legal tidak selalu berarti bebas masalah. Regulasi yang ada, menurut mereka, kerap kali lebih condong pada kelengkapan administrasi tanpa benar-benar menguji daya dukung lingkungan maupun keberlangsungan sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Di sisi lain, para nelayan tradisional Cilincing mendesak pemerintah untuk meninjau ulang izin tersebut. Mereka menilai keberpihakan negara terhadap perusahaan swasta mengabaikan nasib ribuan keluarga yang menggantungkan hidup dari laut. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan sampai laut kami dipagari seperti milik pribadi. Laut adalah ruang hidup kami,” ungkap salah seorang nelayan dengan nada getir.
Kasus Cilincing membuka kembali perdebatan klasik antara kepentingan industri dan hak masyarakat pesisir. Tanpa penyelesaian yang adil dan berbasis kajian ilmiah, konflik semacam ini diperkirakan akan terus berulang di berbagai wilayah pesisir Indonesia.”redaksiSF