banner 728x250

Organisasi Tanpa Nurani: Antara Legalitas Kertas dan Kenyataan Kelam di Lapangan

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang. — Di tengah kemajuan demokrasi dan transparansi publik yang kian berkembang, organisasi masyarakat semestinya menjadi jangkar etika sosial dan jembatan antara warga dengan pemerintah. Namun realitas hari ini justru berbanding terbalik. Di banyak tempat, terutama di wilayah-wilayah seperti Kepulauan Riau, legalitas organisasi tampak lebih penting ketimbang legitimasi moralnya. Organisasi hidup di atas kertas—lengkap dengan struktur dan SK pengesahan—namun mati nuraninya.

banner 325x300

Banyak organisasi yang dibentuk bukan karena kegelisahan sosial atau idealisme kolektif, melainkan karena motif pragmatis: akses dana hibah, proyek pemerintah, pengaruh politik lokal, atau bahkan untuk menyamarkan aktivitas ilegal. Legalitas—yang seharusnya menjadi fondasi untuk menjalankan misi sosial—berubah menjadi stempel pelindung untuk tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan semangat organisasi itu sendiri.

“Organisasi-organisasi semacam ini tidak punya pijakan moral. Mereka dibentuk bukan untuk pelayanan publik atau perubahan sosial, melainkan untuk kepentingan segelintir orang. Ironisnya, mereka tetap diterima di ruang-ruang formal seolah sah,” ungkap Dr. Ahmad Firdaus, sosiolog kelembagaan dari Universitas Riau Kepulauan.

Organisasi sebagai Simbol Kepalsuan. Struktur Ketua–Sekretaris–Bendahara (KSB) yang selama ini dianggap sebagai kerangka dasar sebuah organisasi sering kali hanya bersifat simbolik. Agenda kegiatan diisi oleh seminar seremonial yang minim partisipasi. Spanduk dan dokumentasi digunakan bukan sebagai alat pelaporan transparan, tetapi lebih sebagai bukti fiktif untuk pelengkap laporan keuangan. Semangat pengabdian pada masyarakat, transparansi anggaran, dan akuntabilitas publik, semuanya tertutup oleh manuver-manuver segelintir elite internal.

“Tak ada budaya kontrol internal yang sehat. Tak ada keberanian dari dalam untuk berkata bahwa ini salah. Sebaliknya, loyalitas buta justru dipupuk, seolah membangkang berarti mengganggu stabilitas,” kata Indra Kartasasmita, pengamat tata kelola organisasi yang telah lama memantau dinamika ormas di wilayah pesisir barat Indonesia.

Lebih dari sekadar mati suri, banyak organisasi justru menjadi alat pelindung pelanggaran. Di Kepulauan Riau, tudingan terhadap sejumlah organisasi yang terlibat dalam aktivitas tambang ilegal, perambahan hutan, dan penyelundupan BBM bersubsidi sudah menjadi rahasia umum. Alih-alih menjadi pengawas atau pelapor penyimpangan, organisasi berubah menjadi pengaman yang justru menyulitkan aparat dan masyarakat untuk mengambil tindakan.

“Kalau masyarakat bicara tentang tambang ilegal, nama-nama organisasi tertentu justru muncul sebagai pelindung. Mereka bahkan dikenal luas oleh warga, tapi tetap bebas bergerak,” ujar Riswandi Tanjung, aktivis lingkungan dan sosial ke masyarakatan Tanjungpinang.

Bukan hanya di bidang lingkungan, penyimpangan ini juga terjadi dalam urusan sosial dan anggaran. Penyaluran dana hibah sering kali jatuh ke organisasi yang ‘dekat’ dengan pengambil keputusan, bukan yang bekerja nyata di lapangan. Pengawasan terhadap distribusi bantuan atau pendampingan masyarakat marginal lebih sering dilakukan sebagai formalitas belaka. Yang dicari bukan perubahan, melainkan kesempatan.

Salah satu fenomena yang kian mengkhawatirkan adalah hilangnya daya kritis organisasi setelah “duduk bersama” dengan pihak yang sebelumnya mereka kritik. Aktivis yang semula vokal mendadak bungkam, dan organisasi yang semula lantang menuntut keadilan berubah menjadi pendukung status quo. Semuanya dilumpuhkan oleh praktik transaksional yang memalukan: undangan makan malam, pemberian uang transport, jabatan dalam forum-forum daerah, atau fasilitas singkat lainnya.

“Biasanya kalau sudah diajak makan, minum, atau diberi sagu hati, maka hilanglah semangat awal untuk menuntaskan perkara. Padahal yang diperjuangkan itu menyangkut kepentingan rakyat banyak, atau bahkan keuangan negara,” kata seorang juru bicara dari Aliansi GeBER (Gerakan Bersama), yang meminta namanya tidak disebut.

Ketika organisasi masyarakat telah menjual idealismenya dengan murah, harapan publik pun luntur. Masyarakat bukan tidak tahu, tapi tak lagi percaya. Mereka melihat sendiri bagaimana bendera-bendera organisasi hanya menjadi simbol, bukan aksi. Mereka paham bahwa banyak rapat atau forum hanya membicarakan bagi-bagi proyek, bukan perbaikan nasib rakyat.

Dari Introspeksi ke Reformasi. Untuk keluar dari krisis integritas ini, organisasi harus berani melakukan introspeksi mendalam. Legalitas penting, tetapi tak cukup. Organisasi harus hidup dari nilai-nilai yang dibawanya: keadilan, transparansi, keberanian moral, dan komitmen terhadap kepentingan publik. Dan itu semua harus dibuktikan lewat aksi nyata, bukan deklarasi di atas panggung atau laporan-laporan penuh jargon.

“Organisasi yang besar bukan dilihat dari jumlah anggotanya, tapi dari keberanian kolektifnya untuk membela kebenaran dan memperbaiki kesalahan.”

Keberanian kolektif itu penting. Bukan sekadar keberanian satu atau dua orang, tapi keberanian bersama untuk berkata “cukup” pada penyimpangan, untuk menolak kompromi dengan yang merusak, dan untuk memperbaiki kesalahan dengan transparansi. Inilah ujian sejati dari kepemimpinan kolektif.

“Jangan terkecoh dengan banyaknya bendera dan spanduk. Cek substansi mereka. Apakah benar mereka hadir untuk masyarakat? Atau mereka hanya menjadikan lembaga sebagai pelindung untuk kekuatan ekonomi gelap?” tegas Aktivis Kepulauan Riau, Said Ahmad Sukri.

Negara juga tak bisa tinggal diam. Pemerintah harus mulai meninjau ulang mekanisme pendirian dan pengawasan ormas. Tak cukup hanya dengan SK Kemenkumham dan akta notaris. Harus ada klasifikasi berbasis aktivitas nyata, sistem pelaporan terbuka, dan sanksi tegas bagi organisasi yang terbukti melenceng dari tujuan awal.

Namun pada akhirnya, reformasi paling mendalam justru datang dari dalam organisasi itu sendiri. Kepemimpinan yang jujur, struktur yang transparan, serta anggota yang kritis adalah elemen-elemen yang bisa membalik arah. Ketika organisasi berani jujur pada dirinya, maka publik pun perlahan akan memulihkan kepercayaan.

Jika tidak, maka yang tersisa hanyalah lembaran-lembaran kertas legalitas tanpa jiwa. Organisasi akan terus berdiri secara hukum, tetapi hancur secara moral. Dan rakyat akan terus membayar mahal harga dari kebisuan, kompromi, dan kepura-puraan itu.”(timredaksi-sidikfokus)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *