sidikfokusnews.com-Jakarta.—
Sebuah kenyataan mengerikan kini menghantui jutaan rakyat Indonesia: akses terhadap uang sendiri bisa dicabut kapan saja, tanpa proses hukum, tanpa pemberitahuan, tanpa kejelasan alasan. Atas nama “intelijen keuangan”, negara mengunci rekening rakyat seperti menutup keran hidup mereka—diam-diam, tapi mematikan.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi eksekutor dalam skema pemblokiran massal terhadap 31 juta rekening warga, yang diumumkan secara sepihak pada Juli 2025. Dalihnya: pencegahan judi online dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Faktanya: rekening pensiunan, pelaku UMKM, warisan keluarga, bahkan rekening aktif ikut dibekukan.
Ironisnya, semua dilakukan tanpa pengadilan, tanpa perintah jaksa, tanpa supervisi hukim. Padahal, menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, PPATK tidak memiliki fungsi eksekutor. Ia adalah lembaga intelijen keuangan yang hanya berwenang menganalisis dan menyerahkan hasil temuan kepada aparat hukum, bukan mengeksekusi pemblokiran itu sendiri.
Namun realitas berkata lain. Dalam kasus ini, PPATK menjadi sekaligus penyelidik, penuduh, dan algojo. Tak ada transparansi, tak ada ruang banding, tak ada keadilan.
Prof. Dr. Raldi Zainal, ahli hukum keuangan dari Universitas Indonesia, menyatakan ini sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap sistem hukum nasional.
“Kalau PPATK bisa memblokir rekening tanpa dasar yudisial, untuk apa kita punya kejaksaan, pengadilan, bahkan konstitusi? Ini sudah masuk wilayah extra-judicial economic punishment. Negara membunuh ekonomi warganya tanpa senjata.”
Dampaknya begitu luas dan dalam. Transaksi jual beli dibatalkan, pelaku usaha bangkrut, cicilan macet, gaji tertunda, dan kehidupan rumah tangga lumpuh. Dalam sistem ekonomi berbasis digital dan perbankan, akses ke rekening bukan sekadar fasilitas—melainkan syarat hidup.
Dr. Anindya Purwitasari, ekonom senior dari INDEF, memperingatkan bahwa ini bisa menjadi pemicu kehancuran kepercayaan terhadap sistem keuangan nasional.
“Begitu publik merasa rekeningnya bisa dibekukan kapan saja tanpa dasar hukum, maka fondasi keuangan kita retak. Ini menciptakan shock of confidence yang sangat berbahaya, terutama di sektor UMKM dan kelas menengah bawah.”
Hak Konstitusional yang Diinjak dengan Sepatu Kebijakan. Lebih dari sekadar kerugian ekonomi, pemblokiran ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara. Konstitusi secara eksplisit menjamin:
Hak atas kepemilikan dan harta benda (Pasal 28G), Hak atas pekerjaan dan penghidupan layak (Pasal 27 ayat 2), Hak atas perlindungan hukum yang adil dan setara (Pasal 28D ayat 1).
Namun semua itu runtuh di tangan satu lembaga yang bekerja tanpa pengawasan efektif. Dalam demokrasi, kekuasaan tanpa kontrol adalah bahaya laten. PPATK menjadi cermin dari negara yang merasa lebih berhak atas harta rakyat daripada rakyat itu sendiri.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU TPPU, PPATK berada langsung di bawah Presiden. Artinya, tanggung jawab politik, administratif, dan hukum atas kebijakan ini ada di tangan Kepala Negara.
Pemanggilan Kepala PPATK oleh Presiden beberapa hari setelah kebijakan diumumkan justru menunjukkan bahwa pengawasan Presiden terhadap lembaga di bawahnya lemah. Jika memang tidak tahu, itu kelalaian. Jika tahu dan membiarkan, itu konspirasi kebijakan.
Suara Hukum: Ini Bukan Sekadar Kebijakan, Ini Pelanggaran Pidana. Praktisi hukum M. Fadil Hasan, SH, menegaskan bahwa pemblokiran massal ini dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor. Termasuk juga potensi pelanggaran pidana umum atas perampasan hak milik warga negara.
“PPATK bukan lembaga hukum. Kalau memblokir rekening tanpa perintah pengadilan, itu perbuatan melampaui wewenang. Negara tak bisa terus membuat aturan seenaknya lalu menggencet rakyat pakai tafsir sepihak.”
Tuntutan Publik Menguat: Audit, Ganti Rugi, dan Tanggung Jawab Pidana. Gelombang protes kini mulai terbentuk dari berbagai elemen masyarakat sipil. Tuntutan yang muncul meliputi:
Audit menyeluruh terhadap mekanisme dan aktor di balik pemblokiran 31 juta rekening, termasuk peran bank dan komunikasi internal antar lembaga.
Pengembalian penuh akses dan hak ekonomi masyarakat yang tidak terbukti melanggar hukum.
Pemeriksaan pidana terhadap Kepala PPATK atas penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM ekonomi.
DPR pun didesak untuk segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemblokiran Rekening Massal, agar kasus ini tidak dikubur oleh waktu.
Demokrasi Ekonomi atau Diktator Keuangan?,kasus ini bukan sekadar soal rekening. Ini adalah tentang nasib sistem hukum dan martabat ekonomi rakyat di tengah gelombang digitalisasi dan pemusatan kekuasaan. Negara yang membekukan uang rakyat tanpa proses hukum adalah negara yang sedang mematikan demokrasinya sendiri.
Hari ini 31 juta rekening dibekukan. Besok, siapa yang tahu?
Bisa jadi milik Anda. Rakyat tidak boleh diam. Karena diam hari ini, berarti mengizinkan negara menjadi perampok dengan legitimasi hukum besok.”(Arf)