banner 728x250
Batam  

Naskah Antologi “Tak Ada yang Lebih Sepi dari Aku” Telah Terkumpul dari Sejumlah Penulis

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com.Batam.-Dalam proses penyusunan antologi puisi bertajuk Tak Ada yang Lebih Sepi dari Aku, beberapa penulis telah resmi menyerahkan karya-karya terbaik mereka. Kumpulan puisi yang dihimpun dalam antologi ini memuat berbagai narasi kesunyian, permenungan batin, dan perenungan atas makna sepi yang sering kali menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia.

banner 325x300

Aditya Ansor Alsunah telah mengirimkan lima puisinya yang memancarkan suasana batin yang lirih dan puitis. Karyanya berjudul Hening Retak, Sepi Ini Milikku, Rindu Ini Masih Milikmu, Aku Tak Memintamu Kembali, dan Kepada Mey merupakan untaian kata-kata yang mengajak pembaca menyelami perasaan paling sunyi yang terkadang sulit terungkapkan.

Penulis berikutnya, Desy Kurniati, juga menyerahkan lima karya puisinya yang bertemakan sunyi. Puisinya bertajuk Sunyi yang Berbisik, Dalam Sunyi Diri, Sunyi di dalam Riuh, Melebur dalam Diri, dan Di Ujung Jalan Sepi menjadi representasi kuat tentang bagaimana sepi bisa berbicara dalam diam, meresap dalam setiap relung jiwa yang rapuh.

Susanti turut menyumbangkan puisinya berjudul Sunyi tak Bertepi, yang mencerminkan perjalanan batin seseorang dalam menafsirkan sepi yang tak pernah menemukan ujung. Sementara itu, Surisdawati memperkuat nuansa keheningan melalui karyanya yang sederhana namun penuh makna, Sunyi.

Lia M. Rahmalia menambahkan sentuhan puitis melalui lima karyanya yang meliputi Hampa Tanpa Kata, Sepinya Hati, Dawai Cinta, Helaian Kertas Sunyi, dan Belajar dari Hening. Puisi-puisinya menawarkan refleksi atas kehampaan, cinta, dan keheningan yang kerap menyelusup dalam kehidupan sehari-hari.

Heni Juwita hadir dengan puisi-puisi yang sarat makna tentang perpisahan, kerinduan, dan perjalanan hidup seorang perantau. Puisinya berjudul Dalam Sunyi, Kupanggil Ibu, Sebelum Waktu Sempat Berpihak, Langkah yang Tak Pernah Ditunggu, Aku Pergi Bukan Karena Tak Cinta, dan Sunyi Menyapaku di Perantauan berhasil menyingkap kepedihan yang terbungkus dalam kesunyian.

Laras Sufi R.J menyumbangkan lima karyanya yang menyiratkan keheningan dari sudut pandang batin yang lebih dalam. Puisinya berjudul Dialog dengan Dinding, Riuh yang Mati di Telinga, Menggenggam Hampa, Langkah Tanpa Gema, dan Nada yang Hilang di Udara membawa pembaca larut dalam lorong sunyi yang tak selalu tampak di permukaan.

Penulis lainnya, Tati Yuliati, memberikan kontribusi dengan karya-karya yang sederhana namun menggigit. Puisinya bertajuk Sendiri, Nestapa, dan Sepi itu Luka menyentuh sisi-sisi terdalam tentang kesendirian dan luka yang sering kali hadir bersamaan dengan sunyi.

Nursalim, sebagai pemrakarsa antologi ini, turut menyerahkan lima puisinya yang menegaskan tema besar buku ini. Puisinya berjudul Tak Ada yang Lebih Sepi dari Aku, Permataku, Tak Pernah Padam, Sepi Tak Lagi Bertuan, Bukit Indah Piayu dalam Nafasku, dan Cinta, Sepi, dan Pengorbanan menjadi cerminan kesunyian yang menyatu dengan perjalanan hidup, cinta, dan ruang kenangan.

Retno Wigati menambah daftar karya dengan puisi-puisinya yang kaya refleksi batin. Puisinya berjudul Kota Tanpa Suara, Jalan Waktu, Koridor Senja, Puisi yang Tak Tertulis, dan Absen di Keramaian mengajak pembaca menyelami sepi dalam suasana kota, waktu, dan kesendirian yang tak terucap.

Erna Kurnianti mempersembahkan puisi-puisi yang menggambarkan lika-liku cinta, rindu, dan sepi. Puisinya berjudul Cinta dan Rindu Menjadi Benci, Merindu Tanpa Bertemu, Rinduku tak Berujung, Sepi yang Menyambut, dan Cintaku Untuk Selamanya menampilkan perjalanan perasaan yang berayun antara cinta, rindu, dan luka.

Inar Suminarsih menghadirkan lima puisi yang bernuansa reflektif dan penuh makna. Puisinya bertajuk Sepi yang Mengantar Hati, Dalam Sunyi Sepertiga Malam, Sendiri dalam Keramaian, Sore yang Tak Bersuara, dan Saat Semua Pergi seolah menggambarkan ruang-ruang sunyi yang menemani manusia di berbagai fase kehidupannya.

Erni pun melengkapi daftar penulis yang telah menyetorkan karya dengan puisinya yang berjudul Dengarlah Kabar Ini Sekali Saja, Ruang Kosong, Langit Paling Hampa, 143, dan Epiphany. Karyanya mencerminkan percakapan batin yang kerap bergema dalam ruang-ruang hening yang tak tersentuh kata.

Adapun beberapa penulis lainnya, seperti Mar Marabessy, Misdianto, Furi Rachmah Nifira, Ade Sumarna, Fitri Yantini, dan Lina Marlina, juga telah mengajukan judul-judul karya mereka yang akan melengkapi keutuhan antologi ini. Khusus Lina Marlina, puisinya berjudul Kesunyian telah menambah ragam warna dari kumpulan ini, meski sebagian penulis lainnya masih dalam proses penyelesaian karya.

Sebagian besar penulis telah melengkapi pengumpulan karya dengan lima puisi dan biodata penulis secara lengkap. Hal ini menunjukkan keseriusan dan semangat mereka dalam mengambil bagian di dalam buku yang diharapkan dapat menjadi penanda perjalanan sastra tentang sunyi, sepi, dan hening ini.

Antologi Tak Ada yang Lebih Sepi dari Aku tidak hanya sekadar kumpulan puisi, tetapi juga menjadi ruang bagi para penulisnya untuk merekam jejak kesendirian, keheningan, dan kerinduan dalam berbagai rupa dan rasa. Buku ini kelak diharapkan menjadi karya sastra yang memuat renungan, penghayatan, dan kepekaan yang lahir dari pengalaman batin penulis-penulisnya.”(Nursalim Turatea).

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *