banner 728x250
Batam  

MRKR Kecam BP Batam: Kezaliman Terhadap Putra Melayu, Gelar Adat Tercoreng, Amanah DPR RI Diabaikan

banner 120x600
banner 468x60

 

Batam.sidikfokusnews.com. Majelis Rakyat Kepulauan Riau (MRKR), sebuah lembaga eksekutif adat yang menjunjung tinggi nilai dan marwah budaya Melayu, melayangkan kecaman keras terhadap sikap abai Badan Pengusahaan (BP) Batam dalam kasus pencabutan lahan dan perobohan paksa Hotel Purajaya. Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk kezaliman terhadap aset dan martabat putra Melayu yang secara terang-terangan mencederai nilai-nilai adat, sekaligus mempermalukan penghormatan yang baru saja diberikan oleh Lembaga Adat Melayu kepada pimpinan BP Batam.

banner 325x300

Panglima Utama MRKR, Megat Rury Afriansyah, menyatakan bahwa sikap kepala BP Batam, Amsakar Achmad, telah mengkhianati amanah adat yang semestinya dijunjung tinggi. Ia mengingatkan bahwa gelar kehormatan adat bukan sekadar simbol seremonial, melainkan tanggung jawab moral dan budaya yang melekat pada diri penerima. “Saya menyayangkan sikap masa bodoh BP Batam atas persoalan pencabutan lahan dan perobohan ilegal terhadap aset ratusan miliar milik putra Melayu Kepri. Padahal beliau baru saja menerima gelar adat dari LAM,” ungkap Rury.

Pernyataan tersebut tidak hanya bernada kecewa, tapi juga mengindikasikan adanya ancaman hilangnya kepercayaan terhadap tokoh yang sebelumnya diharapkan menjadi pelindung masyarakat adat. Apalagi, penabalan gelar kehormatan sebagai Dato’ Setia Amanah kepada Amsakar Achmad dan Dato’ Setia Bijaksana kepada Li Claudia Chandra oleh LAM Kota Batam pada 15 Juni 2025 lalu dihadiri ratusan tokoh adat dan masyarakat Batam. Namun, hanya berselang beberapa hari setelahnya, peristiwa perobohan Hotel Purajaya terjadi tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa komunikasi terhadap pemilik sah bangunan tersebut.

Hotel Purajaya, yang dulunya berdiri megah di kawasan Nongsa, kini hanya menyisakan puing-puing dan luka kolektif bagi masyarakat adat yang merasa dizalimi di tanah sendiri. Lebih ironis lagi, Megat Rury tidak hanya berbicara sebagai Panglima MRKR, tetapi juga sebagai Direktur PT Dani Tasha Lestari—pemilik sah dari aset yang dihancurkan secara sepihak. Namun demikian, ia menegaskan bahwa langkah MRKR murni berdasarkan kajian mendalam lembaga, bukan kepentingan pribadi. “Ini bukan soal saya, ini soal martabat Melayu yang diinjak-injak,” tegasnya.

Luka itu semakin dalam ketika pihak BP Batam juga menunjukkan sikap tertutup terhadap kritik dan kontrol publik. Hingga berita ini diterbitkan, permintaan evaluasi yang disampaikan langsung oleh Wakil Ketua DPR RI, Dr. Ir. H. Sufmi Dasco Ahmad, melalui surat resmi yang dikirim pada 27 Mei 2025, belum mendapatkan tanggapan. Padahal, amanah dari pimpinan lembaga tinggi negara tersebut semestinya menjadi peringatan serius bagi kepala daerah maupun pejabat strategis nasional.

Surat konfirmasi yang ditujukan kepada Kepala BP Batam dan sejumlah pejabat terkait tidak direspons. Janji staf BP Batam bahwa akan dijawab dalam 10 hari kerja terbukti hanyalah pemanis basa-basi birokrasi. Ketika batas waktu telah lewat dan wartawan kembali mempertanyakan kelanjutan prosesnya, jawaban normatif kembali diberikan: surat sudah dikirim ke Bagian Hukum. Tidak ada pesan, tidak ada pendelegasian, dan tidak ada tanggung jawab yang diambil. Yang ada hanyalah keheningan yang memekakkan—sebuah pengabaian terang-terangan terhadap lembaga legislatif tertinggi negeri ini.

Kegagalan Kepala BP Batam dalam menanggapi amanah DPR RI dan tangisan adat Melayu menunjukkan bahwa jabatan dan penghormatan tidak berjalan seiring dengan integritas. Perilaku ini tidak hanya meruntuhkan kepercayaan masyarakat adat terhadap institusi negara, tetapi juga merendahkan nilai-nilai luhur Melayu yang selama ini menjunjung tinggi keadilan dan keberimbangan.

Kini, reruntuhan Hotel Purajaya menjadi simbol dari dua kehancuran sekaligus: kehancuran fisik atas properti sah milik warga Melayu, dan kehancuran moral dari institusi yang semestinya menjadi pelayan publik. Ketika pemimpin adat ditelantarkan, ketika wakil rakyat diabaikan, dan ketika suara masyarakat diredam, maka yang tersisa hanyalah kehampaan dari sistem yang pincang dan kehilangan ruh.

Majelis Rakyat Kepulauan Riau menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Tindakan nyata dengan nuansa adat dan budaya akan diambil sebagai bentuk perlawanan bermartabat. Sebab bagi MRKR, ini bukan lagi sekadar urusan lahan, tapi soal harga diri dan keberlangsungan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur Melayu sejak berabad silam. Redaksi

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *