banner 728x250

Mikol Ilegal Banjiri Anambas, Dugaan Bekingan Oknum Aparat Kian Menguat — Perda Ada, Penindakan Nyaris Tak Bernyawa

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com_Anambas.-Di tengah semangat membangun Kabupaten Kepulauan Anambas sebagai wilayah perbatasan yang kuat secara moral, sosial, dan ekonomi, peredaran minuman beralkohol (mikol) ilegal justru terus menjalar tanpa kendali. Ironisnya, praktik ilegal ini tak hanya mencemari nilai-nilai lokal dan budaya masyarakat Melayu Anambas, tetapi juga ditengarai mendapat perlindungan dari oknum aparat yang justru seharusnya menjaga hukum dan ketertiban.

banner 325x300

Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber menyebutkan, mikol ilegal, khususnya golongan A seperti bir berbagai merek dengan kadar alkohol hingga 5 persen, kini beredar luas di warung-warung dan kafe di Tarempa. Tak hanya itu, distribusinya juga menjangkau pulau-pulau terluar seperti Mengkait dan Kiabu. Jalur penyebarannya sangat sistematis: dari Pelabuhan Tarempa ke kawasan padat penduduk seperti Jalan Raden Saleh, Pelabuhan Sri Siantan, bahkan hingga warung depan Cafe Iwan.

Minuman tersebut masuk ke Anambas secara rutin dari Kijang, Kabupaten Bintan, menggunakan kapal kayu. Dalam pengiriman terakhir, kapal yang digunakan adalah KM Kemilu Indah Jaya (KIJ), yang diduga membawa ratusan dus mikol. Barang-barang tersebut dikemas dalam plastik hitam dan dicampur dengan berbagai muatan logistik biasa, diduga untuk mengelabui petugas Bea Cukai dan aparat penegak hukum.

Dengan harga eceran antara Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per kaleng dan Rp 450 ribu per dus isi 24 kaleng, peredaran mikol ilegal di Anambas diperkirakan mencapai 3.000 dus per bulan, atau sekitar Rp 1,35 miliar nilai ekonomi. Jumlah ini sangat fantastis, terlebih karena tak satu rupiah pun dari aktivitas ini masuk ke kas daerah dalam bentuk pajak atau retribusi resmi.

Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas, Sahtiar, menanggapi fenomena ini dengan nada geram. Ia menyebut bahwa peredaran mikol ilegal sangat merugikan dari berbagai sisi, mulai dari aspek sosial, moral hingga ekonomi daerah.

“Kalau kita kalkulasikan, dengan jumlah masuk sekitar 3.000 dus per bulan, potensi kebocoran dari sisi retribusi bisa miliaran rupiah per tahun. Belum lagi efek destruktifnya terhadap anak muda kita, terhadap ketertiban sosial. Ini sangat merusak,” tegas Sahtiar dalam rapat terbatas bersama unsur TNI-Polri di Tarempa.

Namun, di balik kekhawatiran itu, masyarakat bertanya: di mana implementasi hukum yang seharusnya mengikat?

Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kepulauan Anambas Nomor 2 Tahun 2015 telah mengatur secara spesifik tentang pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol. Beberapa poin penting dari perda tersebut menyebutkan larangan produksi dan distribusi mikol tanpa izin resmi dari pemerintah daerah. Pengedaran dan penjualan eceran juga harus memiliki izin dari Bupati, disertai mekanisme pengawasan dan pengendalian ketat. Bahkan, dalam pasal-pasalnya, perda ini memuat sanksi pidana berupa denda dan kurungan bagi pelanggar.

Sayangnya, keberadaan perda ini dinilai hanya sebatas formalitas tanpa keberanian implementasi. Razia yang dilakukan tidak berkelanjutan, penindakan hanya menyasar pedagang kecil tanpa menyentuh aktor-aktor utama di balik jaringan distribusi mikol. Lebih ironis, muncul dugaan adanya keterlibatan oknum aparat yang membekingi bisnis haram ini.

“Sampai kapan kita terus dibius janji penindakan yang tak pernah membuahkan hasil? Semua tahu mikol itu merusak, tapi kok seakan dibiarkan? Kalau benar ada oknum aparat yang bermain, ini sudah sangat gawat. Kalau tidak diproses, kepercayaan publik ke institusi penegak hukum bisa runtuh,” ungkap tokoh masyarakat di Tarempa.

Pengamat kebijakan publik dan kriminologi perdesaan, Dr. Ardiansyah Tambunan, juga menegaskan pentingnya integritas dan konsistensi dalam menegakkan perda.

“Perda itu sudah ada dan cukup progresif. Tapi perda tidak akan hidup tanpa political will yang kuat. Aparat penegak hukum harus benar-benar bebas dari konflik kepentingan. Pemkab pun jangan hanya fokus pada teks hukum, tapi juga eksekusinya di lapangan. Kalau semua pasif, maka perda akan jadi produk hukum yang mati suri,” katanya.

Menurutnya, peredaran mikol bukan semata urusan minuman keras, tetapi menyentuh aspek lebih luas: kekerasan dalam rumah tangga, tindak kriminal, degradasi moral, serta menurunnya produktivitas masyarakat. “Minuman keras bukan hanya merusak tubuh, tapi juga menghancurkan struktur sosial. Ketika pemerintah tak hadir, maka masyarakat akan merasa sendiri melawan kerusakan itu,” lanjut Ardiansyah.

Ia juga mendorong agar Pemkab membentuk tim independen pengawasan mikol yang melibatkan tokoh agama, tokoh adat, pemuda, dan masyarakat sipil. Pendekatan sosial-budaya dinilai lebih efektif dalam menghambat permintaan mikol di tingkat akar rumput. “Kalau jalur struktural mandek, maka kekuatan kultural harus dimobilisasi,” ujarnya.

Peringatan masyarakat ini seharusnya menjadi peringatan dini bagi pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan institusi terkait lainnya. Kabupaten Kepulauan Anambas tidak bisa terus menjadi sasaran empuk peredaran mikol ilegal yang tidak hanya merusak tatanan hukum, tetapi juga masa depan generasi muda.

Ketiadaan tindakan tegas dan konkret hanya akan membuat daerah ini semakin tenggelam dalam kubangan masalah sosial. Ketika hukum hanya menjadi simbol, dan pengawasan hanya seremonial, maka yang tumbuh adalah ketidakpercayaan, apatisme, dan pembiaran kolektif.

Pemerintah daerah, aparat hukum, dan seluruh elemen masyarakat kini berada di persimpangan: bertindak tegas dan menyelamatkan generasi, atau diam dan melihat Anambas dirusak oleh mikol dan pembeking-pembekingnya. Perda bukan sekadar dokumen, tetapi alat untuk menjaga masa depan. Dan masa depan itu tidak boleh dikorbankan hanya demi keuntungan segelintir orang.”(TRSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *