banner 728x250

Menhub Bohongi Gubernur? Sentralisme Laut Telanjang: Ketika Kedaulatan Daerah Terkubur di Ombak Birokrasi Jakarta

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.—
Gelombang kekecewaan dan kemarahan diam-diam membuncah dari Kepulauan Riau (Kepri). Isu bahwa Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah “membohongi” Gubernur Kepri dalam kebijakan kelautan dan pengelolaan ruang laut 0–12 mil bukan sekadar gosip politik, melainkan sinyal darurat bahwa otonomi daerah di Indonesia tengah sekarat di tangan sistem yang ultra-sentralistik.

banner 325x300

Di balik jargon “pemerintahan daerah yang kuat dan mandiri”, tersingkap kenyataan pahit: laut — sumber kehidupan dan marwah provinsi kepulauan — masih dikuasai penuh oleh kementerian di Jakarta. Undang-undang yang konon memberi kewenangan 12 mil laut kepada provinsi ternyata hanya menjadi naskah ilusi hukum, tanpa gigi dan tanpa jiwa.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menulis dengan gamblang: provinsi memiliki kewenangan mengelola ruang laut hingga 12 mil dari garis pantai. Namun, di lapangan, kedaulatan itu seolah disabotase melalui regulasi teknis dan sistem perizinan digital yang justru menjerat, bukan membebaskan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kemenhub masih menggenggam kendali penuh atas izin pelabuhan, labuh jangkar, dan aktivitas maritim strategis. Pemerintah provinsi hanya diberi peran administratif — menyiapkan dokumen zonasi dan rekomendasi teknis yang bisa diabaikan kapan saja.

Pakar otonomi daerah dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Djohermansyah Djohan, menyebut ini sebagai “desentralisasi semu yang melecehkan akal sehat.”
“Undang-undang memberi kewenangan, tapi tidak memberi alat untuk melaksanakannya. Provinsi hanya dijadikan pelengkap birokrasi, bukan pengambil keputusan. Ini paradoks hukum yang mematikan makna otonomi,” ujarnya tajam.

Ia menegaskan, sentralisme maritim adalah bentuk kolonialisme baru — bukan dari bangsa asing, tapi dari sesama anak negeri yang takut kehilangan kendali. “Provinsi paling paham lautnya sendiri, tapi justru diasingkan dari lautnya. Ini bukan sekadar ironi, ini tragedi politik pemerintahan,” katanya.

Hamdan, S.Si., M.AP, Sekretaris Umum Aliansi Peduli Indonesia Kepulauan Riau (API Kepri), menyebut akar masalahnya justru ada di balik teknologi yang digadang-gadang sebagai simbol modernisasi: Online Single Submission (OSS).

“Lewat OSS, semua izin ditarik ke pusat. Gubernur hanya memberi rekomendasi formal, tapi keputusan final tetap di kementerian. Ini bukan efisiensi — ini amputasi kewenangan,” tegasnya.

Ia menambahkan, praktik ini menyalahi prinsip good governance dan transparansi publik. “Bagaimana mungkin daerah tidak diberi tahu tentang izin kegiatan di lautnya sendiri? Itu bukan miskomunikasi. Itu kebohongan kebijakan — policy deception,” ujar Hamdan dengan nada getir.

Menurutnya, apa yang kini disebut “koordinasi pusat-daerah” hanyalah formalitas kosong. “Jakarta bicara sinergi, tapi memerintah dari jauh tanpa mendengar. Laut diambil, data disembunyikan, keputusan diumumkan sepihak. Lalu kita disuruh percaya ini desentralisasi?”

Salah satu pendiri API Kepri menilai fenomena ini sebagai kebangkitan pola lama: patronase pusat atas daerah, hanya kali ini dibungkus dalam jargon reformasi dan digitalisasi.
“Kementerian memperlakukan daerah bukan sebagai mitra, tapi sebagai bawahan. Mereka bicara konsultasi, tapi keputusan sudah ditetapkan sebelum rapat dimulai,” ujarnya.

Ia menegaskan, jika benar Kemenhub menjalankan kebijakan labuh jangkar atau izin pelabuhan tanpa komunikasi substantif dengan gubernur, maka tudingan bahwa “Menhub membohongi Gubernur” bukanlah sensasi politik, tapi diagnosis moral.
“Bohong bukan cuma soal ucapan, tapi soal keputusan yang disusun tanpa keterbukaan. Itu bentuk penghianatan terhadap semangat otonomi,” katanya.

Kepri adalah simpul strategis jalur pelayaran dunia — dari Selat Singapura hingga Laut Natuna. Setiap regulasi, sekecil apa pun, berdampak langsung pada ekonomi rakyat dan fiskal daerah. Namun semua keputusan strategis, mulai dari tarif labuh jangkar hingga penetapan zona pelabuhan, diambil di meja kementerian.

“Bagaimana daerah mau maju kalau lautnya sendiri dikendalikan dari pusat?,” tanya Hamdan.
Prof. Djohermansyah menambahkan, “Kebijakan nasional yang baik seharusnya memperkuat daerah, bukan memenjarakannya dalam birokrasi.”

Menurutnya, ketika seluruh kebijakan maritim disetir dari Jakarta, provinsi hanya menjadi penonton dari panggung ekonomi yang seharusnya mereka mainkan. “Selama kunci izin dan pendapatan dipegang pusat, maka yang disebut otonomi hanya nama tanpa makna,” katanya.

Para pakar dan aktivis menilai akar krisis ini terletak pada desain tata kelola kelautan nasional yang kabur dan timpang. Tidak ada mekanisme konsultasi wajib antarlevel pemerintahan, dan tidak ada sanksi bagi kementerian yang menutup informasi dari daerah.

“Ini bukan sekadar soal perizinan. Ini soal penghormatan terhadap konstitusi dan martabat daerah kepulauan,” ujar Djohermansyah.
“Kalau otonomi laut hanya berhenti di atas kertas, maka seluruh konsep desentralisasi adalah tipuan hukum yang dipelihara negara.”

Epilog: Laut yang Tak Pernah Dimerdekakan

Kini publik Kepri menatap ke Jakarta dengan satu pertanyaan getir:
Apakah benar Menteri Perhubungan membohongi Gubernur — atau justru sistemlah yang membohongi seluruh daerah di negeri maritim ini?

Apa pun jawabannya, satu hal pasti: desentralisasi laut di Indonesia belum pernah benar-benar terjadi.
Laut kita mungkin luas, tapi kewenangan daerah hanyalah riak kecil di permukaannya. Selama keputusan masih dimonopoli kementerian, selama Gubernur hanya dijadikan formalitas administratif, maka otonomi maritim hanyalah fatamorgana di lautan wacana.

Indonesia boleh mengaku negara kepulauan, tetapi jika lautnya masih dikuasai oleh birokrasi pusat, maka yang merdeka hanyalah regulasinya — bukan daerahnya.
Desentralisasi telah dijanjikan sebagai kedaulatan, tapi yang datang justru penjara baru bernama sentralisme laut.”tim

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *