Oleh : Dr. Nursalim Tinggi, M. Pd
Dalam sebuah percakapan penuh makna antara tokoh masyarakat dan budayawan asal Sulawesi Selatan, H.M. Said Amin, muncul kembali istilah klasik yang sarat filosofi dari khazanah budaya Turatea, yaitu “Baku Appaka.” Istilah ini bukan sekadar warisan bahasa, tetapi merupakan falsafah hidup yang membentuk karakter dan jati diri masyarakat Turatea sejak masa silam. Dalam pandangan H.M. Said Amin, Baku Appaka adalah fondasi moral yang telah menuntun masyarakat Turatea untuk hidup beradab, berilmu, dan bermartabat.
Ia menjelaskan bahwa Baku Appaka terdiri dari empat unsur utama yang menjadi pilar kepribadian manusia Turatea sejati. Pertama, Tau Barania, pribadi yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Kedua, Tau Caraddeka, sosok yang cerdas dan bijak, mampu menimbang setiap persoalan dengan kebijaksanaan akal. Ketiga, Tau Panritayya, orang alim atau ulama yang menjadi sumber ilmu dan tuntunan moral masyarakat. Keempat, Tau Kalumannyang, pribadi yang kaya bukan hanya dalam harta, tetapi juga dalam hati—dermawan, ikhlas, dan menebar manfaat bagi sesama.
Keempat nilai itu, menurut H.M. Said Amin, menggambarkan keseimbangan hidup yang menjadi ciri khas masyarakat Turatea: keberanian yang disertai kecerdasan, keilmuan yang berpadu dengan kemurahan hati. Baku Appaka tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi manusia unggul dalam masyarakat, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa kebajikan dan keberanian harus berjalan beriringan.
Budayawan sekaligus akademisi Dr. Nursalim, M.Pd., yang dikenal aktif dalam dunia literasi dan kebudayaan di Kepulauan Riau, menyambut hangat upaya pelestarian nilai-nilai luhur tersebut. Sebagai Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia Provinsi Kepulauan Riau dan Ketua Afiliasi Pengajar Penulis Bahasa, Sastra, Seni, Budaya, dan Desain, Dr. Nursalim menilai bahwa Baku Appaka merupakan sumber nilai karakter yang relevan dengan semangat pendidikan nasional masa kini.
“Empat nilai yang terkandung dalam Baku Appaka—keberanian, kecerdasan, keilmuan, dan kedermawanan—adalah fondasi pembentukan manusia unggul yang berakar pada budaya sendiri,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa ketika tokoh-tokoh budaya menulis, mendokumentasikan, dan mengarsipkan nilai-nilai seperti Baku Appaka, sesungguhnya mereka sedang menjaga identitas bangsa dan mewariskan sumber ilmu yang sahih bagi generasi penerus.
Menariknya, dalam percakapan lanjutan yang berkembang di kalangan para tokoh Turatea, muncul pula pembahasan mengenai istilah “Toddo Appaka.” H.M. Said Amin menegaskan pentingnya memahami perbedaan antara Baku Appaka dan Toddo Appaka, dua konsep yang kerap disamakan karena sama-sama memuat unsur “empat.” Padahal, keduanya memiliki makna dan fungsi yang berbeda dalam sistem sosial dan politik masyarakat Turatea tempo dulu.
Baku Appaka, menurut beliau, adalah falsafah yang mewakili empat tingkatan sosial dalam kehidupan masyarakat Turatea—sebuah sistem nilai yang menuntun perilaku dan kepribadian warga. Sedangkan Toddo Appaka mewakili empat wilayah kekuasaan raja-raja kecil yang bermusyawarah untuk memilih Karaeng Lompoa ri Binamu, raja besar yang memimpin wilayah Turatea secara keseluruhan.
Keempat wilayah tersebut dikenal dengan sebutan Toddo Bangkala Loe, Toddo Layu, Toddo Lentu, dan Toddo Batujala. Dari empat wilayah inilah lahir para pemimpin daerah yang menjadi simbol persatuan politik dan sosial masyarakat Turatea di masa lalu. Toddo Appaka bukanlah cerminan tingkatan sosial, tetapi sistem pemerintahan tradisional yang dibangun atas dasar musyawarah, keseimbangan kekuasaan, dan penghormatan terhadap kearifan lokal.
H.M. Said Amin menambahkan bahwa Toddo Appaka lahir dari empat tingkatan sosial yang diwakili oleh Baku Appaka. Dengan kata lain, nilai-nilai moral dan spiritual yang terkandung dalam Baku Appaka menjadi dasar bagi proses lahirnya kepemimpinan dalam Toddo Appaka. Di sinilah letak keindahan sistem nilai Turatea: kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh darah dan garis keturunan, tetapi juga oleh kualitas moral, keberanian, kecerdasan, dan kearifan seseorang.
Percakapan tersebut kemudian memantik diskusi yang lebih luas di kalangan tokoh-tokoh Turatea lainnya. Kahar Sijaya, dari KKT Jakarta, menyampaikan pandangan bahwa perbedaan dan keterkaitan antara Baku Appaka dan Toddo Appaka perlu mendapat pengayaan literatur yang lebih mendalam. Ia mengusulkan agar gagasan ini dibukukan, dengan melibatkan para tokoh dan sesepuh yang masih hidup sebagai sumber informasi aktual.
Sementara itu, sejumlah tokoh lain menambahkan bahwa sebenarnya pembahasan mengenai Baku Appaka dan Toddo Appaka sudah pernah muncul di berbagai media sejak beberapa dekade lalu. Disebutkan bahwa Daeng Mangemba, seorang budayawan Turatea, telah mengupas tuntas tema ini secara berseri di Harian Pedoman Rakyat pada tahun 1987. Bahkan, tokoh seperti Hasanuddin Turatea dan Hasir Sonda juga pernah menulis kajian serupa di Mimbar Karya, menunjukkan bahwa wacana tentang nilai-nilai Turatea telah lama hidup di ruang publik dan sastra Bugis-Makassar.
Salah satu nama lain yang disebut adalah Suaib Mallombasi, mantan Ketua HPMT, yang dikenal memiliki referensi mendalam tentang adat Turatea. Ia bahkan disebut pernah memimpin diskusi di Aspura Jalan Anggrek, tempat berkumpulnya para pemikir dan budayawan Turatea pada masanya. Di masa pemerintahan Ilyas Mattewakkang, pembahasan mengenai falsafah ini pun sempat menjadi agenda kebudayaan daerah, menandakan besarnya perhatian masyarakat terhadap nilai-nilai warisan leluhur tersebut.
Diskusi yang muncul di antara para tokoh ini menjadi bukti bahwa Baku Appaka dan Toddo Appaka bukan sekadar konsep budaya, melainkan warisan intelektual dan spiritual yang perlu terus dilestarikan. Ia mencerminkan pandangan hidup masyarakat Turatea yang menjunjung tinggi keseimbangan antara moral, ilmu, dan kepemimpinan.
Kini, tantangannya adalah bagaimana menjadikan warisan itu terdokumentasi secara ilmiah dan populer, sehingga bisa diakses oleh generasi muda. Sebagaimana disarankan para budayawan, upaya membukukan nilai-nilai Baku Appaka dan Toddo Appaka bukan hanya untuk romantisme masa lalu, tetapi untuk memastikan bahwa falsafah luhur ini tetap hidup dan relevan di tengah arus globalisasi yang kian deras.
Dari sinilah harapan tumbuh: agar generasi Turatea masa kini dapat kembali mengenal akar budayanya, mengamalkan keberanian, kecerdasan, keilmuan, dan kedermawanan sebagai pedoman hidup. Sebab, sebagaimana diingatkan H.M. Said Amin, “Baku Appaka dan Toddo Appaka bukan sekadar sejarah, tetapi napas moral dan jati diri manusia Turatea yang sejati.
(Redaksi)

















