sidikfokusnews.com. Batam.-Di tengah ketimpangan pengelolaan delapan pulau yang sudah berada di bawah kewenangan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), kini lembaga ini dikabarkan tengah menyusun langkah ekspansi besar: menguasai 124 pulau tambahan di sekitar kawasan Batam. Sebuah rencana yang tidak hanya mengundang kontroversi, tetapi juga kekhawatiran luas di kalangan masyarakat Kepulauan Riau (Kepri), akademisi, aktivis, dan pemerhati hukum laut.
Langkah ini dinilai berisiko tinggi, karena dilakukan saat performa pengelolaan pulau-pulau sebelumnya masih jauh dari harapan. Evaluasi terhadap kontribusi BP Batam terhadap pembangunan wilayah Kepri di luar Batam sendiri juga belum pernah dilakukan secara transparan dan menyeluruh.
Rencana penguasaan 124 pulau oleh BP Batam mengemuka dalam sebuah pertemuan internal yang juga dihadiri utusan Pemerintah Provinsi Kepri. Meskipun keputusan resmi dari pusat belum dikeluarkan, sikap
“Perwakilan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang hadir atas nama Gubernur terkesan mendukung perluasan tersebut”.
Hal ini memicu kritik keras. Banyak pihak menilai, alih-alih memperluas kewenangan, BP Batam seharusnya fokus menuntaskan tanggung jawab pengelolaan delapan pulau yang sudah ada.
“Yang harus dikedepankan adalah evaluasi atas delapan pulau yang sudah ada. Apakah BP sudah sukses mengelolanya? Apakah masyarakat merasakan dampaknya? Jangan sampai ekspansi hanya jadi ambisi kosong yang membuka celah eksploitasi,”
Kelompok Misterius dan Skema Peminggiran Rakyat
Kekhawatiran terbesar bukan hanya pada ketidaksiapan manajerial, tetapi pada potensi penyalahgunaan kuasa melalui skema investasi. Banyak pihak menilai ekspansi ini menjadi celah bagi masuknya kelompok berkepentingan yang tidak dikenal publik, dengan agenda penguasaan lahan dan sumber daya.
> “Bila semua pulau dijadikan KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas), maka semua hak masyarakat adat dan lokal bisa dibatalkan. Surat tanah bisa diganti ganti rugi yang tidak manusiawi, rakyat akan terusir atas nama pembangunan,” ujar seorang tokoh adat dari Pulau Rempang.
Rencana ini juga memperbesar ketimpangan. Selama ini, Batam sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tidak banyak berkontribusi pada pembangunan pulau-pulau lain seperti Natuna, Anambas, Lingga, hingga Tambelan. Penghasilan dari Batam tidak secara nyata digunakan untuk pemerataan pembangunan di Kepri.
Ironisnya, kawasan Bintan dan Karimun yang memiliki potensi besar justru hanya menjadi FTZ enclave—zona bebas terbatas. Pemerintah pusat seharusnya lebih bijak memperluas cakupan FTZ secara menyeluruh di kawasan ini, karena sudah tersedia infrastruktur, jaringan ekonomi, dan kesesuaian kultur.
> “Kenapa pusat tidak serius membangun Bintan dan Karimun sebagai kawasan strategis yang menyeluruh? Kenapa semua harus Batam?”
Menurut para pengamat, ketimpangan ini akan memperbesar konsentrasi kekuasaan ekonomi di Batam dan meninggalkan daerah-daerah lain di Kepri dalam jurang ketertinggalan.
Aspek Hukum: Di Ambang Pelanggaran Konstitusi?
Rencana ekspansi kewenangan BP Batam ke ranah laut dan pulau-pulau kecil bukan hanya melanggar etika tata kelola, tetapi juga berpotensi menabrak konstitusi dan regulasi sektoral. Beberapa regulasi yang relevan antara lain:
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan pengelolaan laut 0–12 mil kepada pemerintah provinsi.
UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menekankan perlindungan hak masyarakat pesisir, ekosistem, dan partisipasi lokal.
Perpres No. 78 Tahun 2019 tentang Tata Ruang Kawasan Perbatasan, yang mengharuskan keterlibatan pemerintah daerah dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang.
> “Kalau BP Batam mengambil alih ruang laut tanpa regulasi eksplisit yang mengatur, itu bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan (abuse of power),” jelas Dr. Syarifuddin, pakar hukum kelautan dari IPB University.
Seruan Aksi: Rakyat Harus Bergerak, Pemerintah Harus Mendengar
Kebijakan ini harus dihentikan sebelum menjadi kebijakan formal. Aktivis, tokoh adat, dan akademisi menyerukan pembatalan rencana ekspansi BP Batam. Desakan ditujukan kepada Presiden, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, serta Gubernur Kepri untuk segera mengambil sikap yang melindungi kepentingan rakyat.
“Kita tidak anti pembangunan. Tapi pembangunan tidak boleh menjadi jalan licik untuk mencabut hak rakyat dari tanahnya. Jangan karena kuasa, rakyat Kepri dijadikan tamu di tanah sendiri,”
Masyarakat diimbau untuk bersatu, menyuarakan penolakan dan menuntut transparansi. Wakil Gubernur Kepri, Ketua DPRD Kepri, dan Ketua BP/Walikota Batam pun diminta menyatakan sikap secara terbuka, karena hingga kini belum ada pernyataan resmi dari mereka.
Di balik narasi investasi dan pengembangan kawasan, terdapat persoalan mendasar: siapa yang paling diuntungkan? Rakyat Kepri yang menjaga laut dan pulau selama ratusan tahun, atau elite yang datang membawa surat kuasa untuk mengganti kampung dengan pelabuhan, mengganti ladang dengan kontainer?
Inilah saatnya publik bertanya : Kepri untuk siapa Pemerintah harus membuka ruang diskusi dan refleksi atas arah kebijakan pengelolaan wilayah di Kepulauan Riau. Pemerintah pusat dan daerah diminta memberikan klarifikasi dan membuka ruang partisipasi publik secara adil dan transparan.”(Arf)