Oleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.
Pemerhati Bahasa dan Pendidikan Indonesia
Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kebersihan lingkungan, muncul kecenderungan baru dalam cara kita memberi label terhadap perilaku sosial. Salah satunya adalah anggapan bahwa membuang sampah sembarangan merupakan perbuatan maksiat. Niat di balik anggapan ini tentu baik: ingin memberi efek kejut agar masyarakat jera. Namun, dalam perspektif bahasa, agama, dan etika sosial, pelabelan ini perlu ditata kembali agar tidak terjadi kesalahan klasifikasi moral dan teologis.
Dalam ajaran Islam, maksiat adalah setiap perbuatan yang secara tegas dan eksplisit melanggar perintah atau larangan Allah SWT, seperti syirik, zina, mencuri, khamar, dan pembunuhan. Maksiat memiliki landasan hukum yang jelas dan tekstual dalam sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, membuang sampah sembarangan tidak disebutkan secara eksplisit sebagai perbuatan maksiat dalam nash. Oleh karena itu, secara metodologi keilmuan Islam, perbuatan ini lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan tercela (akhlak mazmumah), bukan maksiat dalam pengertian hukum syariat yang rigid.
Namun, menyebutnya sebagai perbuatan tercela bukan berarti kita mengecilkan dampak buruknya. Justru dalam banyak kasus, dampak sosial, ekologis, dan kesehatan dari sampah jauh lebih nyata dan merusak dibanding banyak pelanggaran moral yang sifatnya individual. Sampah yang dibuang sembarangan menyumbat saluran air, memicu banjir, menebarkan penyakit, merusak estetika kota, serta menciptakan ketidaknyamanan publik. Ini bukan lagi persoalan kecil, melainkan krisis adab dalam kehidupan bersama.
Islam dengan sangat tegas melarang segala bentuk perusakan lingkungan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki…”
Ayat ini menegaskan bahwa setiap tindakan yang berujung pada kerusakan bumi adalah perbuatan tercela secara moral dan spiritual. Dalam konteks kekinian, membuang sampah sembarangan jelas termasuk dalam kategori ifsad fil ardh merusak tatanan kehidupan.
Nabi Muhammad SAW bahkan menempatkan kepedulian terhadap kebersihan ruang publik sebagai bagian dari iman. Dalam hadis riwayat Sahih Muslim disebutkan:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، أَعْلَاهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
“Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh cabang… dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”
Hadis ini memberi pesan simbolik yang sangat kuat: menjaga lingkungan adalah bagian dari ekspresi iman, bukan sekadar urusan petugas kebersihan atau kebijakan pemerintah.
Mengapa penting untuk membedakan antara maksiat dan perbuatan tercela? Karena dalam pendidikan moral dan bahasa, ketepatan istilah membentuk ketepatan cara berpikir. Ketika semua pelanggaran sosial langsung dicap sebagai maksiat, maka:
1. Terjadi inflasi makna dosa,
2. Batas antara pelanggaran akidah dan pelanggaran etika menjadi kabur,
3. Agama berisiko dipersepsi sebagai sistem hukuman semata, bukan sistem pembinaan akhlak.
Membuang sampah sembarangan adalah pelanggaran adab sosial, bukan otomatis pelanggaran akidah. Namun, perbuatan ini bisa bernilai dosa besar jika:
Menyebabkan orang sakit,
Menimbulkan kecelakaan,
Merusak sumber air,
Memicu bencana banjir.
Dalam kondisi demikian, dosa muncul bukan dari “sampahnya”, tetapi dari dampak mudarat yang ditimbulkannya terhadap orang lain. Di sinilah Islam sangat menekankan prinsip la dharar wa la dhirar tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Sebagai pemerhati bahasa dan pendidikan, saya melihat bahwa krisis sampah di negeri ini pada dasarnya adalah krisis karakter. Kita kekurangan bukan aturan, tetapi kesadaran kolektif. Kita rajin menghafal slogan kebersihan, tetapi lalai mempraktikkan adab kebersihan. Kita mudah melabeli orang lain berdosa, tetapi enggan bercermin pada perilaku sendiri.
Karena itu, solusi terbesar dari persoalan sampah bukan sekadar penambahan tempat pembuangan atau ancaman denda, melainkan pendidikan adab sejak dini di rumah, di sekolah, di masjid, dan di ruang publik. Buanglah sampah pada tempatnya bukan karena takut sanksi, tetapi karena malu pada nurani dan tanggung jawab sebagai manusia beriman dan beradab.
Pada akhirnya, membuang sampah sembarangan memang bukan maksiat dalam pengertian hukum syariat yang eksplisit, tetapi ia adalah perbuatan tercela yang mempermalukan akal sehat, merendahkan martabat sosial, dan mencederai amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Bila adab runtuh, maka undang-undang sekeras apa pun hanya akan menjadi hiasan kertas.
( Redaksi )

















