Oleh: Prof. Dr. Ir. Chablullah Wibisono, MBA, MM
Guru Besar UNIBA, Waketum MUI Kepri, Ketua FKUB Batam
Dalam dunia teknik sipil, konsep beton prategang adalah simbol kecerdasan manusia dalam mengelola tegangan. Baja yang ditarik hingga 1300 kg/cm² bukan sekadar benda padat yang kuat, tetapi representasi dari prinsip keseimbangan mekanika: semakin besar gaya tarik yang diatur dengan presisi, semakin besar pula daya tekan yang dapat ditahan oleh struktur. Inilah rahasia kekuatan sejati bukan berasal dari ketiadaan tegangan, tetapi justru dari adanya tegangan yang terkelola.
Prinsip yang sama sejatinya juga berlaku dalam kehidupan manusia. Kita semua mengalami “tegangan batin” berupa ujian hidup, kelelahan, kehilangan, atau perjuangan spiritual. Dalam pandangan mekanika tauhid, semua itu bukan untuk melemahkan, melainkan untuk mengokohkan struktur ruhani. Iman yang matang tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari ketegangan yang dikelola dengan sabar dan tawakal. Seperti baja prategang dalam beton, jiwa manusia yang ditempa dengan tarikan ilahi akan menjadi pondasi kokoh bagi ketahanan hidup.
Ibadah-ibadah dalam Islam sesungguhnya dirancang sebagai sistem mekanika spiritual. Shalat, puasa, zakat, haji, dan dzikir bukan sekadar ritual simbolik, tetapi pengatur tegangan antara jasad dan ruh, antara dunia dan akhirat. Di sinilah keindahan syariat: setiap gerakan ibadah mengandung nilai fisiologis, psikologis, dan teologis yang membangun keseimbangan total manusia.
Ambil contoh tahajud. Penelitian Prof. Sholeh dari Universitas Airlangga menemukan bahwa shalat malam berpengaruh positif terhadap sistem imun, meningkatkan daya tahan tubuh serta stabilitas emosi. Penelitian serupa oleh Prof. Chablullah Wibisono di Kepulauan Riau membuktikan bahwa spiritualitas berkontribusi hampir 90% terhadap penguatan imunitas dan kesejahteraan masyarakat selama pandemi Covid-19. Secara ilmiah, ibadah malam mengaktifkan hormon endorfin, memperlancar oksigenasi darah, dan menurunkan kadar kortisol yang memicu stres. Namun di atas semua itu, tahajud adalah latihan mengalahkan gravitasi dunia — tegangan yang menarik manusia menuju kedalaman iman.
Puasa pun memiliki mekanika serupa. Ketika seseorang menahan lapar dan haus, tubuhnya memasuki fase metabolic switching, mengganti sumber energi dari glukosa menjadi lemak. Di saat yang sama, energi ruhani justru meningkat karena ruang dalam diri dibersihkan dari dominasi nafsu. Hadis Nabi ﷺ, “Berpuasalah niscaya kamu akan sehat,” (HR. Ibnu Majah) ternyata menyimpan rahasia ilmiah sekaligus spiritual. Puasa bukan proses pelemahan, tetapi kalibrasi ulang energi hidup agar keseimbangan antara kehendak jasmani dan panggilan ilahi tetap terjaga. Dalam bahasa mekanika tauhid, puasa adalah tegangan vertikal antara tubuh yang menahan dan ruh yang ditarik ke arah cahaya.
Setiap bentuk ibadah memiliki efek multipel yang sinergis. Shalat menenangkan sistem saraf, tahajud memperkuat imunitas, zakat menyehatkan ekonomi, puasa membersihkan sel tubuh, dan haji membangun solidaritas global. Semua ini bekerja dalam satu sistem integral yang disebut mekanika spiritual: tarikan dunia yang diimbangi oleh dorongan tauhid. Inilah yang menjadikan Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga peradaban keseimbangan.
Konsep Mekanika Tauhid kemudian menjadi jembatan antara sains dan iman, antara laboratorium dan sajadah. Sains mengajarkan bahwa setiap gaya harus memiliki reaksi seimbang agar sistem stabil. Tauhid mengajarkan bahwa setiap ujian harus disandarkan kepada Allah agar jiwa kokoh. Maka, keduanya bukanlah dua kutub yang berseberangan, tetapi dua sisi dari satu realitas: mencari harmoni dalam tegangan.
Struktur waktu shalat juga menunjukkan kebijaksanaan mekanika spiritual. Jarak antara Subuh dan Zuhur cukup panjang karena beban kehidupan masih ringan. Dari Zuhur ke Ashar waktunya semakin pendek, sebab aktivitas manusia meningkat dan tekanan psikologis bertambah. Menjelang Maghrib hingga Isya, jarak antarwaktu makin rapat karena beban kehidupan mencapai puncaknya saat syetan menggoda dan kelelahan menumpuk. Lalu Allah memberi waktu panjang dari Isya hingga Subuh untuk beristirahat, namun mereka yang bangkit menunaikan Qiyamul Lail justru memperkuat “kabel baja” spiritualnya agar siap menghadapi beratnya kehidupan di siang hari.
Di tengah dunia modern yang memuja efisiensi dan rasionalitas material, konsep mekanika tauhid menghadirkan keseimbangan baru. Ia mengingatkan manusia bahwa kekuatan sejati tidak hanya berasal dari otot, logika, atau teknologi, tetapi juga dari ketegangan batin yang disandarkan kepada Allah. Sebagaimana baja tak akan kuat tanpa tarikan terencana, manusia pun tak akan kokoh tanpa tegangan iman.
Setiap kali seorang insinyur menegangkan baja, sesungguhnya ia sedang meniru sunnatullah. Dan setiap kali seorang mukmin menegakkan tahajud, ia sedang menegangkan ruh menuju kesempurnaan iman. Keduanya tunduk pada hukum yang sama: semakin kuat tarikan menuju keseimbangan, semakin besar daya tahan terhadap beban. Inilah hakikat mekanika tauhid sains yang berzikir, iman yang berlogika.
Manusia yang mampu memahami dua mekanika ini akal dan qalbu akan menjadi insan yang utuh, kuat jasmani dan rohani, produktif namun tetap bersujud. Mereka adalah insan capital sejati, pondasi bagi peradaban madani yang berakar pada tauhid, berbuah pada ilmu, dan berdaun pada kesejahteraan umat.

















