sidikfokusnews.com-Batam.— Di atas kertas, pemerintah terus mengumandangkan Operasi Gempur Rokok Ilegal sebagai bentuk perang terhadap kebocoran penerimaan negara. Namun di lapangan, aroma tembakau tanpa pita cukai masih berhembus bebas dari Kepulauan Riau hingga Papua. Merek-merek seperti HD, OFO, dan T3 tetap beredar tanpa hambatan, seolah kebal dari operasi besar-besaran yang saban tahun digembar-gemborkan.
Di balik arus barang gelap itu, satu nama mencuat kuat di kalangan industri dan aparat: Akim alias Asri, sosok yang disebut-sebut sebagai dalang jaringan rokok ilegal terbesar di Indonesia bagian barat. Dari pelabuhan-pelabuhan tikus di Batam, rokok-rokok ilegal itu dikemas rapi, dimuat tengah malam ke kapal cepat, dan berlayar ke timur tanpa manifes resmi.
“Yang tertangkap cuma pengangkut dan sopir. Sementara bos besar tetap di luar jangkauan hukum,” ujar seorang sumber internal penegak hukum kepada redaksi. Ia menambahkan, jaringan ini dilindungi oleh sistem perlindungan berlapis — mulai dari oknum aparat pelabuhan, pejabat pengawasan cukai, hingga pihak yang diduga mengatur dokumen fiktif ekspedisi. “Kalau tanpa orang dalam, mustahil rokok sebanyak itu bisa keluar dari Kepri tanpa satu pun terdeteksi.”
Batam bukan sekadar titik awal peredaran, melainkan jantung logistik rokok ilegal nasional. Di kota industri yang bertumbuh di antara zona ekspor-impor bebas ini, hukum seolah cair di hadapan kekuasaan uang.
Menurut catatan investigatif beberapa lembaga pengawasan ekonomi, setidaknya ada sembilan perusahaan yang beroperasi di bawah radar — terindikasi memiliki keterkaitan dengan jaringan rokok tanpa cukai.
Yang mencengangkan, beberapa perusahaan tersebut diduga tidak terdaftar secara resmi di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, atau memanfaatkan celah legalitas lewat kerja sama bayangan.
“Mereka punya sistem distribusi yang nyaris sempurna. Jalur lautnya terhubung dari Batam ke Belawan, Makassar, Ambon, hingga Jayapura,” ungkap seorang pejabat di dinas terkait yang meminta namanya disembunyikan.
Ia menambahkan, modusnya memanfaatkan dokumen ekspor-impor fiktif untuk menutupi arus keluar barang ilegal. Dalam beberapa kasus, rokok-rokok tanpa pita cukai itu bahkan dikamuflase sebagai produk makanan ringan atau hasil industri kecil menengah.
Rokok HD dan T3 bukan produk liar yang muncul begitu saja. Ia lahir dari sistem bisnis bayangan: pabrik rumahan di pinggiran kota, jaringan pengemasan gelap, dan kapal distribusi lintas provinsi. Setiap batang rokok tanpa pita cukai berarti pajak yang tak masuk kas negara — sekaligus ancaman bagi industri legal yang kian terdesak.
“Rokok ilegal dijual separuh harga. Jelas industri resmi tak bisa bersaing,” ujar Rury, pengamat ekonomi kriminal. Menurutnya, jaringan Akim dan kroninya telah beroperasi bertahun-tahun dengan pola keuangan yang sulit dilacak. “Ini bukan bisnis kecil. Ini kartel. Mereka punya gudang, kapal, bahkan pengatur jalur di lembaga resmi.”
Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat kerugian negara akibat rokok ilegal mencapai Rp10 triliun per tahun. Ironisnya, meski angka itu terus membengkak, langkah hukum nyaris selalu berhenti di tangan pengecer dan sopir.
“Kalau pemain utama seperti Akim alias Asri dan Bobie Jayanto tidak disentuh, semua operasi itu hanya kosmetik,” kata Rury menegaskan. “Efek jera tak akan ada selama uang masih bisa membeli perlindungan.”
Nama Bobie Jayanto bukan baru terdengar. Dalam beberapa laporan investigatif di tingkat daerah, ia kerap dikaitkan dengan arus perdagangan lintas laut — mulai dari rokok ilegal, beras oplosan, hingga logistik gelap. Bersama Akim, Bobie diduga menjadi pengendali sistemik jalur distribusi yang sama.
“Kalau Anda perhatikan, semua produk ilegal dari Batam itu punya jejak yang mirip. Polanya terstruktur, dan dikendalikan oleh orang yang sama,” ujar seorang pejabat Bea Cukai nonaktif. Ia menambahkan, keterlibatan orang dalam di pelabuhan sudah menjadi rahasia umum. “Tak ada barang sebesar itu bisa lewat tanpa ada yang membuka pintu.”
Ketika Hukum Hanya Jadi Penonton. Fenomena ini menunjukkan wajah gelap penegakan hukum di lapangan. Operasi besar dijalankan dengan megah di media, namun di baliknya, hukum berhenti pada level yang paling lemah. Para pelaku lapangan dijadikan kambing hitam, sementara para pengendali tetap bersandar nyaman di kursi bisnis mereka.
Menurut, pakar hukum pidana ekonomi dari Universitas Airlangga, ketimpangan ini menandakan lemahnya komitmen institusional.
“Masalahnya bukan kurang bukti, tapi kurang kemauan. Mafia ekonomi seperti ini tak mungkin hidup tanpa pelindung dalam sistem,” ujarnya.
“Jika tidak ada tindakan tegas terhadap pihak yang memberi perlindungan—termasuk oknum aparat dan pejabat perizinan—maka ini akan terus menjadi lingkaran impunitas.”
Harun juga menyoroti pentingnya audit menyeluruh terhadap izin industri di Batam dan sistem pelaporan Dinas Perindustrian. “Kalau sembilan perusahaan itu terbukti beroperasi tanpa izin sah, maka negara harus berani membongkar, bukan sekadar mengimbau.”
Pertanyaan yang Tak Kunjung Terjawab. Kini publik menunggu keberanian aparat. Apakah negara benar-benar siap menembus tembok perlindungan orang dalam? Atau mafia rokok ilegal akan tetap beroperasi di bawah lampu-lampu pelabuhan yang temaram, sementara aparat sibuk memotret keberhasilan semu di konferensi pers?
Satu hal pasti: selama uang masih bisa membeli hukum, pelabuhan-pelabuhan tikus akan tetap hidup, dan keadilan akan terus berlayar tanpa arah di perairan Batam.
arf-6

















