sidikfokusnews.com-Batam. — Dunia maritim Kepulauan Riau kembali berduka setelah sebuah kapal tanker meledak di kawasan ASL Shipyard Batam. Dugaan sementara, kapal tersebut belum menjalani proses tank cleaning dan free of gas sebelum masuk ke dok perbaikan—dua prosedur vital untuk mencegah risiko ledakan.
Peristiwa ini tak hanya menimbulkan kerugian besar secara material, tetapi juga menyingkap borok lama: lemahnya pengawasan keselamatan pelayaran dan carut-marutnya tata kelola perizinan maritim di bawah kewenangan Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Batam.
Hamdan, S.SI,.M.AP. sekretaris umum aliansi peduli Indonesia kepulauan Riau. Kelalaian pihak KSOP Batam yang disebutnya gagal menegakkan standar keselamatan maritim.
“Ledakan itu terjadi karena kapal belum tank cleaning dan belum free of gas. Tapi tetap saja diizinkan masuk galangan. Ironisnya, ketika di ajukan izin tank cleaning di Kabil, justru ditolak KSOP. Ini bentuk pengabaian serius. Bicara soal keselamatan, mereka itu seharusnya juru kuncinya,” tegas hamdan.
Menurutnya, kasus ledakan kapal tanker di ASL merupakan konsekuensi langsung dari sistem perizinan yang berbelit, tidak transparan, dan tidak berpihak pada keselamatan kerja.
“Izin tank cleaning di wilayah labuh jangkar Kepri sering dipersulit. Infonya seperti yang sering terdengar. Padahal itu syarat utama sebelum kapal boleh masuk dok. Kalau izin dipersulit, kapal akhirnya masuk tanpa gas free. Akibatnya, terjadilah musibah seperti ini,” ujarnya.
Hamdan. Yang menempuh akademiknya di Jakarta, menilai akar persoalan ada pada distorsi kewenangan dan permainan kepentingan di balik regulasi labuh jangkar. “Banyak aturan dibuat bukan untuk keselamatan, tapi untuk keuntungan kelompok tertentu. Ini harus dihentikan. Langkah hukum dan moral untuk menegakkan keadilan maritim,” katanya tegas.
Aliansi Peduli Indonesia (API) Kepulauan Riau, sebuah gerakan sosial yang menuntut pengembalian kewenangan maritim Kepri yang selama ini dikendalikan dari pusat.
“Aliansi Peduli Indonesia Kepri kami sudah mewakafkan diri untuk memperjuangkan hak-hak kemaritiman daerah. Banyak tokoh maritim, akademisi, dan masyarakat pesisir ikut bergerak. Sudah saatnya kewenangan yang dibelenggu Jakarta dikembalikan ke daerah,” ujarnya.
Ia menegaskan, bila Kepri memiliki kendali penuh atas labuh jangkar, tank cleaning, dan aktivitas perkapalan lainnya, maka pengawasan keselamatan bisa dijalankan lebih efektif dan transparan.
“Kami ingin sistem yang cepat, akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan. Ini bukan semata urusan ekonomi, ini soal nyawa dan kedaulatan laut,” tambahnya.
Seorang pengamat maritim nasional menilai insiden ini sebagai “alarm keras” bagi pemerintah pusat dan seluruh otoritas pelabuhan di Indonesia. Ia menegaskan bahwa tank cleaning dan free of gas bukan formalitas administratif, melainkan syarat mutlak keselamatan kerja.
“Jika kapal belum gas free, risiko ledakan sangat tinggi. KSOP wajib memastikan hal itu sebelum kapal diizinkan bekerja di dok. Bila lalai, tanggung jawab moral dan hukum melekat pada otoritas pelabuhan,” tegasnya.
Pengamat tersebut juga menyoroti dampak sistemik dari sentralisasi kebijakan maritim yang membuat daerah seperti Kepri kehilangan kendali terhadap lautnya sendiri.
“Selama izin strategis seperti labuh jangkar masih dikontrol dari Jakarta, daerah akan terus jadi korban. Padahal, orang daerah yang paling memahami karakter dan dinamika lautnya sendiri,” ujarnya.
Ledakan kapal tanker di ASL Batam bukan semata kecelakaan teknis, melainkan cermin dari krisis tata kelola maritim nasional. Ketika prosedur keselamatan diabaikan dan perizinan dijadikan alat kekuasaan, maka bencana hanya tinggal menunggu waktu.
Suara tegas pendiri API Kepri, serta desakan tokoh-tokoh maritim daerah menjadi sinyal kuat bahwa Kepulauan Riau tidak lagi mau tunduk pada sistem yang mengorbankan keselamatan dan kedaulatan laut.
Saatnya Kepri berdiri tegak mengawal keselamatan, menegakkan kedaulatan, dan mengembalikan marwahnya sebagai penjaga gerbang maritim Indonesia.”arf-6