Penulis: Monica Nathan
Batam.– Isu kebocoran potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari jasa labuh jangkar kembali mencuat setelah Majelis Rakyat Kepulauan Riau (MRKR) melayangkan surat resmi kepada Kejaksaan Tinggi Kepri. Sejak 2015, pemungutan retribusi tak berjalan efektif. Dalam APBD 2021, target dipatok Rp 200 miliar, tetapi realisasi hanya sekitar Rp 300 juta sekali tarik sebelum kemudian dihentikan akibat surat edaran Dirjen Perhubungan Laut.
Persoalannya bukan semata-mata “uang hilang” karena kapal tidak membayar. Faktanya, kapal tetap menyetor pungutan, namun pembayaran dialihkan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di pusat atau masuk ke operator konsesi yang ditunjuk Kementerian Perhubungan. Dengan kata lain, yang hilang bagi Kepri adalah hak fiskal daerah.
Masalah ini lahir dari tumpang-tindih regulasi. Undang-Undang No. 23/2014 sejatinya memberi kewenangan provinsi untuk mengelola ruang laut 0–12 mil. Namun, Undang-Undang No. 17/2008 tentang Pelayaran sebagai lex specialis menetapkan pungutan jasa pelayaran sebagai PNBP pusat. Dirjen Hubla menafsirkan labuh jangkar sebagai bagian dari jasa pelayaran, sehingga bila daerah ikut memungut dianggap terjadi double charging.
Aktivitas maritim di Kepri sangat padat, bahkan disebut-sebut setara dengan Singapura sebagai hub maritim internasional. Nipah Transit Anchorage Area (NTAA) misalnya, mencatat sekitar 400 panggilan kapal setiap bulan atau sekitar 4.800 kunjungan per tahun, terutama untuk ship-to-ship (STS) transfer dan bunkering. Dengan tarif resmi yang pernah ditetapkan Pemprov Kepri melalui Perda No. 9/2017—USD 0,120 per GT untuk STS dan USD 0,051 per GT untuk bunkering—potensi ekonomi murni hanya dari Pulau Nipah bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Angka ini bahkan belum menghitung titik-titik labuh lain seperti Galang, Kabil, dan Karimun.
Surat MRKR yang dikirim ke Kejati memang menyoroti masalah ini, meminta telaah hukum, penghitungan kerugian, dan langkah hukum bila ada penyimpangan. Namun, sejumlah pengamat menilai isi surat itu terlalu umum dan cenderung prosedural, tanpa menuntut indikator hasil yang jelas. “Kalau hanya berhenti di telaah hukum, persoalan fiskal yang nyata akan tetap jalan di tempat. Yang diperlukan adalah solusi konkret agar penerimaan kembali ke daerah,” ujar seorang akademisi hukum tata negara di Tanjungpinang.
Solusi yang paling realistis menurut para ahli adalah skema Dana Bagi Hasil (DBH) dari PNBP jasa labuh jangkar. Landasan hukumnya sudah tersedia dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, yang memungkinkan pembagian hasil PNBP pusat ke daerah. Jika skema DBH diterapkan, misalnya dengan formula 60 persen pusat dan 40 persen provinsi seperti pola pada sektor perikanan dan kehutanan, maka Kepri berpeluang memperoleh kembali sebagian besar hak fiskalnya.
Selain itu, mekanisme data sharing menjadi kunci. KSOP atau VTS sebagai otoritas navigasi wajib menyerahkan data kunjungan kapal, tonase, dan lama berlabuh sebagai dasar perhitungan. Transparansi bisa dijaga lewat audit berkala oleh BPK atau BPKP, sementara penyaluran DBH sebaiknya dilakukan maksimal 90 hari setelah berakhirnya semester fiskal.
Dalam konteks inilah, peran Kejati Kepri seharusnya tidak berhenti pada sekadar “klarifikasi hukum”. Kejaksaan dapat memfasilitasi kesepakatan tripartit antara Kemenhub, Kemenkeu, dan Pemprov Kepri untuk menyiapkan dasar hukum DBH labuh jangkar, sekaligus mengawal audit penerimaan agar tidak ada celah manipulasi.
Permasalahan labuh jangkar di Kepri bukan sekadar tafsir pasal, melainkan soal keadilan fiskal. Ribuan kapal setiap tahun memanfaatkan perairan Kepri untuk STS transfer dan bunkering, tetapi seluruh penerimaannya mengalir ke pusat. Daerah yang menjadi tuan rumah justru tidak menikmati bagi hasil yang sepadan.
Kini bola ada di tangan pemerintah pusat dan Kejati Kepri: apakah mau berhenti pada surat panjang penuh catatan hukum, atau berani mengambil langkah menuju solusi nyata yang mengembalikan hak fiskal Kepri.
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 41