banner 728x250
Daerah  

Krisis Konstitusi dan Sindrom Gibran: Demokrasi Liberal dalam Pusaran Kontradiksi

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Surabaya-Jatim.—
Indonesia tengah berada dalam pusaran krisis konstitusional yang menguji daya tahan sistem politik pasca-reformasi. Ketegangan meningkat setelah usulan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terkatung-katung tanpa kejelasan proses di lembaga-lembaga negara. Kealpaan dalam penanganan isu ini memunculkan kekhawatiran publik akan pecahnya konflik antar elite dan menguatnya ketidakpercayaan terhadap tatanan demokrasi yang berlaku.

banner 325x300

Sorotan tajam terhadap Gibran bukan semata karena statusnya sebagai putra Presiden Joko Widodo, tetapi juga karena proses pencalonannya dinilai mencederai prinsip keadilan dan kepatutan konstitusional. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah batas usia capres-cawapres secara kontroversial dinilai menjadi bukti intervensi kekuasaan terhadap lembaga hukum. Kini, ketika langkah konstitusional untuk mengevaluasi legitimasi Gibran stagnan, muncul pertanyaan mendasar: apakah sistem demokrasi liberal yang kita anut masih mampu menjamin keadilan dan integritas dalam bernegara?

Prof. Daniel Muhammad Rasyid, pengamat, dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), menyebut fenomena ini sebagai titik balik krisis sistemik yang berakar pada perubahan konstitusi pascareformasi. “Apa yang terjadi bukan hanya soal satu individu atau satu peristiwa politik, tapi soal struktur yang sudah rapuh. Demokrasi liberal yang kita terapkan sejak amandemen konstitusi ternyata membuka celah penyalahgunaan kekuasaan secara sistemik,” tegasnya.

Amandemen UUD 1945 pada 1999–2002 yang dilakukan dalam empat tahap disebut telah mendesain ulang sistem politik Indonesia. Dengan menguatkan sistem presidensial, menetapkan pemilu langsung, dan menghapus dominasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, lahirlah model demokrasi prosedural yang memberi ruang luas bagi elite politik, partai, dan kekuatan ekonomi untuk mengendalikan sirkulasi kekuasaan. Namun perubahan ini juga dituding mengikis mekanisme pengawasan kolektif serta nilai-nilai kebijaksanaan yang dulu menjadi inti sistem musyawarah.

Dr. Ahmad Fadhli dari Institute of Constitutional Studies, gejala sindrom Gibran adalah konsekuensi dari sistem demokrasi elektoral yang longgar terhadap etika dan keberpihakan publik. “Kita sedang menyaksikan produk dari sistem yang lebih memprioritaskan kalkulasi elektoral daripada keadilan substantif. Kalau dulu presiden dan wakilnya dipilih MPR secara musyawarah, maka fenomena seperti ini mungkin bisa dihindari,” ujarnya.

Sementara itu, dinamika ini juga memperkuat kritik lama dari sebagian kelompok Islam yang sejak awal meragukan kesesuaian UUD 1945, apalagi hasil amandemennya, dengan nilai-nilai syariah dan keadilan sosial. Namun realitas politik memperlihatkan bahwa bukan hanya kelompok Islam yang tersingkir, kelompok sekuler dan liberal progresif yang pernah menjadi motor penggerak reformasi pun kini ikut merasa dikhianati. Reformasi yang mereka perjuangkan telah melahirkan sistem yang melayani kepentingan kekuasaan, bukan rakyat.

Fenomena Jokowisme—yakni model kepemimpinan populis dan paternalistik yang melekat pada Presiden Joko Widodo—dianggap sebagai anak kandung dari sistem ini. Gaya kepemimpinan yang mengaburkan batas antara negara dan keluarga, antara prosedur dan kekuasaan, telah menimbulkan ketidakjelasan dalam pertanggungjawaban politik.

Dalam catatan Rosyid College of Arts, lembaga pemikir independen, demokrasi di Indonesia hari ini kehilangan jiwa etikanya. “Pancasila hanya manis di mulut, tapi tidak di hati,” demikian ungkapan mereka. Nilai-nilai dasar yang semestinya membimbing arah bernegara kini ditinggalkan dalam praktik. Prosedur hukum dan perundangan dijalankan tanpa kedalaman moralitas, sekadar memenuhi bentuk formal.

Dr. Wening Ardiansyah, menggambarkan keadaan demokrasi Indonesia seperti tubuh tanpa ruh. “Legalitas masih hidup, tapi legitimasi mati,” ujarnya. Ia menekankan perlunya koreksi mendalam terhadap sistem yang berlaku, bukan dengan nostalgia kembali ke masa lalu, tetapi dengan merumuskan ulang format demokrasi yang lebih sesuai dengan karakter bangsa: menjunjung nilai-nilai musyawarah, keadilan, dan keteladanan moral.

Kekecewaan kini datang dari berbagai arah, bahkan dari mantan pendukung garis keras Jokowi yang dulu mengagungkan model kepemimpinan yang sederhana dan merakyat. Kini mereka menatap kenyataan pahit bahwa sistem yang dibangun dengan penuh semangat reformasi justru memperkuat politik keluarga, melemahkan etika hukum, dan menciptakan kesenjangan antara suara rakyat dan arah kekuasaan.

Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Tetap bertahan dalam sistem demokrasi liberal yang makin kehilangan orientasi, atau melakukan perenungan nasional untuk membangun sistem yang lebih sehat, adil, dan berkarakter. Langkah ini bukanlah wacana akademik semata, melainkan kebutuhan historis yang mendesak, demi menjaga agar demokrasi tetap menjadi jalan menuju keadilan, bukan sekadar alat menuju kekuasaan.”(timredaksiSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *