Teheran – sidikfokusnews.com. Di tengah meningkatnya eskalasi konflik antara Iran dan Israel, pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dikabarkan telah mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Republik Islam Iran. Menurut laporan The New York Times yang mengutip tiga pejabat Iran yang mengetahui langsung perkembangan tersebut, Khamenei telah memilih tiga ulama senior sebagai kandidat penerus jika dirinya terbunuh atau meninggal dunia secara tiba-tiba akibat perang yang berkecamuk.
Langkah ini menegaskan betapa seriusnya Khamenei — yang saat ini berusia 86 tahun — memandang situasi keamanan nasional Iran, khususnya setelah serangkaian serangan udara Israel yang dilaporkan menargetkan fasilitas militer dan nuklir vital milik Iran dalam beberapa pekan terakhir. Di balik dinding beton dan pengamanan ketat, Khamenei kini beroperasi dari lokasi bawah tanah yang dirahasiakan dan hanya berkomunikasi melalui lingkaran pembantu terdekatnya. Kondisi tersebut mencerminkan tingkat kewaspadaan tertinggi yang pernah diambil oleh pemimpin tertinggi Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Laporan tersebut juga menyebut bahwa Khamenei telah menyiapkan daftar nama pengganti untuk posisi-posisi militer penting dalam tubuh Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), apabila sejumlah komandan senior gugur dalam perang. Langkah ini diambil untuk menjamin kelangsungan struktur komando dalam menghadapi situasi darurat, serta untuk mempertahankan stabilitas negara di tengah potensi kekacauan internal maupun eksternal.
Yang menarik perhatian publik adalah absennya nama Mojtaba Khamenei, putra Ayatollah Khamenei, dalam daftar kandidat penerus. Mojtaba dikenal luas sebagai seorang ulama konservatif dan tokoh berpengaruh dalam jaringan internal IRGC. Ia sering disebut-sebut sebagai pewaris informal ayahnya dan telah lama menjadi sorotan pengamat internasional sebagai calon pemimpin berikutnya. Namun, menurut laporan tersebut, Khamenei memilih untuk mengecualikan putranya dari daftar calon, mungkin sebagai upaya untuk menjaga legitimasi transisi kepemimpinan dan menghindari tuduhan nepotisme dalam sistem pemerintahan teokratis yang mengedepankan konsep meritokrasi spiritual.
Hingga saat ini, identitas ketiga ulama senior yang telah dipilih masih dirahasiakan. Namun para analis memperkirakan bahwa ketiganya adalah tokoh-tokoh dengan posisi kuat dalam Majelis Ahli — lembaga keagamaan yang bertanggung jawab untuk memilih dan mengawasi pemimpin tertinggi Iran. Majelis ini terdiri dari 88 ulama yang dipilih melalui pemilu dan memiliki kewenangan konstitusional untuk menentukan pengganti jika pemimpin tertinggi wafat atau tidak mampu menjalankan tugasnya.
Langkah antisipatif ini sekaligus menjadi sinyal kuat bagi dunia internasional bahwa Iran sedang bersiap menghadapi skenario terburuk, termasuk kemungkinan kehilangan figur sentral dalam struktur kekuasaannya. Dalam sistem politik Iran, pemimpin tertinggi bukan hanya simbol keagamaan tertinggi, melainkan juga memiliki kekuasaan absolut atas kebijakan luar negeri, militer, dan intelijen. Oleh karena itu, pergantian pemimpin — terutama dalam situasi krisis — bukanlah sekadar rotasi jabatan, melainkan potensi pergeseran besar dalam arah politik domestik dan regional Iran.
Di sisi lain, keputusan Khamenei juga menunjukkan keinginan untuk memastikan bahwa proses suksesi nantinya akan berlangsung cepat dan teratur. Mengingat sejarah transisi kepemimpinan yang penuh dinamika, terutama pasca-wafatnya Ayatollah Ruhollah Khomeini pada 1989, langkah ini dinilai sebagai usaha untuk mencegah kekosongan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan asing atau fraksi dalam negeri yang bersaing.
Meskipun belum ada konfirmasi resmi dari otoritas Iran terkait laporan ini, sinyal dari dalam negeri menunjukkan bahwa negara sedang berada dalam mode krisis penuh. Iran telah mengaktifkan sistem pertahanan strategisnya, memobilisasi kekuatan paramiliter, dan memperketat pengawasan internal terhadap perbedaan pendapat yang bisa memecah belah konsensus nasional.
Dalam skenario geopolitik yang terus berubah, tindakan Khamenei menegaskan satu hal: Republik Islam Iran bersiap menghadapi babak baru dalam sejarahnya — entah itu perang besar, pergantian pemimpin, atau keduanya. Dan ketika masa depan masih tertutup kabut ketidakpastian, Iran tampaknya telah mulai merancang jalan keluar sebelum badai benar-benar datang. (Arf)