sidikfokusnews.com.Tanjungpinang- Kepulauan Riau. — Rencana menjadikan Provinsi Kepulauan Riau sebagai lokasi penempatan sementara pengungsi Gaza memicu polemik tajam di tengah masyarakat. Alih-alih dianggap murni sebagai misi kemanusiaan, sejumlah pihak menilai ada agenda politik global yang membayangi.
Tokoh masyarakat Kepri, M. Fadil Hasan, SH., menyuarakan kecurigaan keras. Ia menilai kebijakan ini perlu ditelusuri lebih dalam, mengingat potensi manipulasi geopolitik yang melibatkan kekuatan besar di Timur Tengah. “Kok Presiden bisa setuju, masyarakat Kepri juga diarahkan untuk menerima, ternyata ini bukan misi kemanusiaan, tapi ada indikasi misi Netanyahu. Kalau benar begitu, jelas berbahaya bagi kedaulatan bangsa,” tegasnya.
Senada dengan itu, pengamat politik daerah yang enggan disebutkan namanya menilai langkah pemerintah pusat tidak boleh diambil sepihak tanpa melibatkan masyarakat Kepri yang akan langsung terdampak. “Ini mestinya disampaikan dulu ke DPR RI, juga harus mengundang stakeholder di daerah: gubernur, walikota, bupati, dan masyarakat. Jadikan rapat akbar, biar jelas apakah rakyat Kepri menerima keberadaan mereka atau tidak. Jangan hanya mengedepankan aspek kemanusiaan, tapi mengabaikan kemanusiaan masyarakat Kepri sendiri,” ujarnya.
Ahli hubungan internasional Universitas Indonesia, Dr. Ratna Suryaningrum, menekankan bahwa isu pengungsi internasional tidak pernah terlepas dari dimensi politik. “Sejarah mencatat, penempatan pengungsi sering kali menjadi instrumen politik negara-negara besar. Indonesia harus berhati-hati. Misi kemanusiaan tidak boleh menjelma menjadi pintu masuk agenda politik Israel atau kekuatan asing lainnya,” jelasnya.
Sementara itu, pakar keamanan nasional, Brigjen (Purn) K. Wiranto, memperingatkan potensi kerentanan baru. Menurutnya, selain beban sosial dan ekonomi, risiko infiltrasi jaringan intelijen asing bisa meningkat jika penempatan pengungsi dilakukan tanpa kajian mendalam. “Bicara soal pengungsi Palestina tidak sesederhana memberi bantuan. Ini ada potensi intervensi. Kepri sebagai daerah perbatasan rawan disalahgunakan,” katanya.
Sejarah lokal Kepri juga menjadi pengingat yang tak bisa diabaikan. Pulau Galang, Batam, pernah dijadikan kamp pengungsian besar bagi eksodus warga Vietnam pada era 1979–1996. Meski ditutup secara resmi, warisan sosial, ekonomi, dan psikologis dari keberadaan kamp itu masih membekas hingga kini. Beberapa persoalan bahkan dianggap sebagai bara dalam sekam, terutama ketika bersinggungan dengan kebijakan pemerintah terkait proyek strategis nasional dan program transmigrasi lokal.
Situasi ini memperlihatkan dilema besar: di satu sisi, ada tuntutan solidaritas kemanusiaan bagi rakyat Palestina yang tengah menderita akibat perang; di sisi lain, ada kewajiban negara melindungi kepentingan masyarakat Kepri sebagai wilayah perbatasan yang strategis. Tanpa transparansi, keterlibatan publik, dan kajian geopolitik yang matang, keputusan menjadikan Kepri sebagai tempat pengungsi Gaza dikhawatirkan bukan hanya membuka kotak pandora masalah baru, tetapi juga mengulang jejak luka sejarah Pulau Galang yang belum sepenuhnya sembuh.”(arf-6)
Berita Terkait
Pelantikan Direksi–Komisaris PT Energi Kepri: Antara Harapan Besar dan Tanda Tanya Kesiapan sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.— Gubernur Kepulauan Riau, H. Ansar Ahmad, resmi melantik jajaran Direksi dan Komisaris dua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yakni PT Energi Kepri (Perseroda) dan PT Pembangunan Kepri (Perseroda) di Gedung Daerah, Rabu (20/8/2025) malam. Berikut nama-nama pejabat yang dilantik: PT Energi Kepri (Perseroda): Dr. Aries Fhariandi, S.Sos., M.Si – Komisaris Juanda, S.Mn., M.M – Komisaris Sri Yunihastuti, S.T., M.M – Direktur Utama Ir. Fauzun Atabiq – Direktur Operasional Afrizal Berry – Direktur Umum/Keuangan PT Pembangunan Kepri (Perseroda): Hendri Kurniadi, S.STP., M.Si – Komisaris Dalam sambutannya, Ansar menekankan peran strategis BUMD sebagai instrumen pembangunan ekonomi daerah sekaligus motor penggerak pertumbuhan. “Kalau dikelola inovatif, hasilnya akan langsung dirasakan masyarakat Kepri. BUMD juga harus memberi kontribusi nyata pada Pendapatan Asli Daerah (PAD),” tegasnya. Namun, di balik seremoni pelantikan ini, muncul sejumlah pertanyaan mendasar terkait kelembagaan maupun kapasitas figur-figur yang duduk di kursi strategis. Chaidarrahmat, mengingatkan bahwa pembentukan PT Energi Kepri memiliki tujuan utama yang sangat spesifik, yakni untuk mengelola hak Participating Interest (PI) 10% migas di wilayah kerja (WK) yang berada di perairan Kepri. “Ini bukan BUMD biasa. Ia dibentuk sebagai vehicle khusus agar daerah bisa menerima manfaat langsung dari PI 10% hasil divestasi kontraktor migas yang beroperasi di Kepri. Tujuan primernya jelas: mengelola hak PI, sementara tujuan sekundernya baru disiapkan ke depan untuk merambah bisnis sektor hilir migas,” jelasnya. Namun menurutnya, sejak April 2025 lalu, PT Pembangunan Kepri selaku holding telah menandatangani pengalihan PI 10% Northwest Natuna (PT PK NWN) dari operator Prima Energy Northwest Natuna Pte. Ltd. (PENN). Proses ini sudah berjalan lebih dari empat bulan, melewati tenggat 60 hari yang diberikan SKK Migas untuk mengajukan kualifikasi teknis. “Artinya, Kepri sudah terlambat dalam mengimplementasikan hak PI itu. Sekalipun ada perpanjangan waktu hingga April 2026, pertanyaannya: apakah PT Energi Kepri mampu memenuhi persyaratan teknis dalam tempo singkat ini? Kalau gagal, peluang emas itu bisa hilang,” katanya. Chaidarrahmat menambahkan, opsi lain adalah mengejar hak PI di blok migas lain di Natuna–Anambas. Namun, ia mempertanyakan kepastian dan potensi ekonominya dibandingkan Northwest Natuna yang sudah ada di depan mata. Figur-figur Baru, Apakah Tepat Sasaran? Selain masalah kelembagaan, sorotan juga tertuju pada figur-figur yang baru dilantik. Menurut sejumlah pengamat, mayoritas tidak memiliki latar belakang profesional di sektor migas maupun rekam jejak sebagai pebisnis kelas korporasi energi. “Memang sudah dilakukan fit and proper test, tapi itu tidak otomatis menjamin kapasitas manajerial mereka mumpuni untuk menghadapi kompleksitas bisnis migas. Padahal, industri ini sangat padat modal, berisiko tinggi, dan penuh regulasi teknis,” ujar Chaidarrahmat. Ia menilai tantangan ke depan bukan sekadar menjaga operasional perusahaan, melainkan membuktikan bahwa BUMD ini bisa menghasilkan dividen signifikan untuk mendukung PAD Kepri. Hal ini menjadi penting di tengah kondisi APBD yang tengah mengalami defisit dan kesulitan menjaga kapasitas fiskal. “Kalau manajemen BUMD hanya diisi figur-figur yang minim pengalaman teknis, dikhawatirkan perusahaan ini malah menjadi beban, bukan instrumen solusi fiskal. Padahal, ekspektasi publik adalah PT Energi Kepri bisa memberi nilai tambah nyata untuk daerah,” tambahnya. Keberadaan PT Energi Kepri ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membawa harapan besar: menjadi pintu masuk bagi Kepri mengelola langsung kekayaan migas di lautnya sendiri. Tetapi di sisi lain, ada tanda tanya besar soal keterlambatan prosedural, kesiapan teknis, dan kapasitas sumber daya manusia yang akan mengelolanya. “Kalau tidak segera dibenahi, risiko kehilangan momentum sangat nyata. Padahal ini menyangkut masa depan fiskal Kepri, kemandirian energi, dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Chaidarrahmat.”(arf-6)
Post Views: 45