banner 728x250

Konflik FPK Kepri: Ketika Forum Kebangsaan Tergelincir dalam Pertarungan Moral dan Kekuasaan

banner 120x600
banner 468x60

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.–
Sebuah forum yang dibentuk untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan mempererat harmoni antar-suku di Kepulauan Riau kini justru terseret ke dalam pusaran konflik yang memalukan. Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Kepri, yang berada di bawah binaan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), tengah bergolak akibat pergeseran struktur kepengurusan yang dilakukan tanpa koordinasi, tanpa komunikasi, dan tanpa penjelasan resmi kepada anggota seniornya.

Di permukaan, persoalan ini tampak seperti sekadar pergantian internal organisasi. Namun di lapisan yang lebih dalam, muncul aroma ketidaksantunan moral dan dugaan praktik kekuasaan yang berjarak dari nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya dijunjung tinggi forum ini.

banner 325x300

Kisah bermula ketika sejumlah tokoh lama FPK Kepri, termasuk Yuni Purwany, menyuarakan keberatan atas adanya perubahan Surat Keputusan (SK) kepengurusan yang dilakukan tanpa pemberitahuan.

“Yang kami minta sederhana saja—klarifikasi. Mengapa terjadi pergeseran tanpa koordinasi lebih dahulu?” ujar Yuni dalam percakapan yang diperoleh redaksi.

Nada serupa sebelumnya duduk dalam struktur FPK, seperti Asmali, Murizal, dan mantan pengurus tingkat provinsi. Mereka mengaku mengetahui pergantian itu justru dari luar, bukan melalui mekanisme internal.

“Bukan soal jabatan. Tapi soal tata krama. Orang datang tak diundang, pergi pun tak diberi tahu. Ini bukan cara berorganisasi yang beradab,” ujar Drs. Mekhwanizar,M.M,. Mantan asisten 1 Pemko Kota Tanjungpinang.

Lebih ironis lagi, dikeluarkan dari grup komunikasi internal tanpa penjelasan apa pun. Mereka menilai, tindakan itu tidak hanya tidak sopan, tapi juga menunjukkan degradasi nilai moral di tubuh organisasi yang seharusnya menjadi teladan dalam pembauran dan keharmonisan sosial.

Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) sejatinya dibentuk sebagai wadah yang menjembatani perbedaan etnis dan memperkuat semangat nasionalisme di daerah. Namun dalam kasus Kepri, forum ini justru memperlihatkan cermin retak tata kelola yang minim transparansi dan akuntabilitas.

Beberapa pengamat lokal menilai, masalah di FPK Kepri bukan sekadar persoalan personal, melainkan gejala dari lemahnya sistem pembinaan organisasi di bawah pemerintah daerah.

“Ketika forum yang seharusnya menjadi ruang dialog justru berubah menjadi gelanggang intrik, itu pertanda ada masalah dalam nilai-nilai moral yang mendasari kepemimpinan di dalamnya,” ujar seorang akademisi politik Universitas Maritim Raja Ali Haji yang enggan disebutkan namanya.

Menurutnya, keberadaan dua perwakilan dari satu provinsi yang sama dalam struktur baru FPK menjadi tanda bahwa mekanisme representasi pun mulai dilanggar. “Ini soal moralitas organisasi. Ketika kedekatan personal lebih kuat daripada aturan, maka forum pembauran kehilangan maknanya,” tambahnya.

Secara moral, konflik di tubuh FPK Kepri memperlihatkan krisis adab dalam birokrasi sosial.

Orang-orang yang dahulu membangun forum ini dengan semangat sukarela dan idealisme kebangsaan kini merasa disingkirkan tanpa penghargaan. Dalam konteks politik, situasi ini bisa menjadi preseden buruk: forum-forum pembauran lain di daerah berpotensi menjadi alat kekuasaan, bukan ruang nilai.

Keterlibatan aktor-aktor yang memiliki kedekatan dengan elite politik lokal juga menimbulkan pertanyaan tentang arah forum ini ke depan.

“Jika FPK saja bisa terseret dalam politik kedekatan, bagaimana kita bisa berharap pada pembauran yang tulus?” ujar seorang mantan anggota FPK yang kini aktif di lembaga sosial.

Pemerintah Provinsi Kepri, melalui Kesbangpol, sejauh ini belum memberikan keterangan resmi terkait polemik ini. Namun sejumlah sumber menyebutkan, proses perombakan dilakukan secara sepihak atas inisiatif internal, tanpa konsultasi formal ke pihak pembina.

Konflik FPK Kepri ini tidak hanya soal siapa yang benar atau salah, tapi tentang hilangnya ruh etika publik di tengah organisasi yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat majemuk.

Para tokoh senior yang tersingkir mengaku tidak menuntut jabatan mereka dikembalikan. Mereka hanya meminta “cara” yang beradab: diberi tahu, dihormati, dan diakui kontribusinya.

Dalam refleksi moral, kasus ini adalah pengingat bahwa forum pembauran bukan sekadar papan nama organisasi, melainkan barometer kedewasaan sosial kita. Ketika moral dan politik saling bertabrakan di dalamnya, yang tersisa hanyalah simbol kosong dari kebangsaan.

Pembauran yang sejati lahir dari kejujuran moral, bukan dari kesepakatan administratif. FPK Kepri kini dihadapkan pada pilihan sederhana namun menentukan — menjadi rumah nilai, atau sekadar panggung bagi kepentingan pribadi.

arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *