banner 728x250

Kisruh Parkir, Pedagang, dan Trotoar di Tanjungpinang: Ketika Regulasi Dilanggar, Siapa yang Bertanggung Jawab?

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews
Com.Tanjungpinang.– Kota Tanjungpinang kembali diguncang oleh kisruh tata ruang yang tak kunjung selesai. Di tengah gemerlap malam dan lalu lalang kendaraan, troroar pemisahan badan jalan yang semestinya steril dari aktivitas parkir dan berdagang justru menjadi titik konflik antara kepentingan ekonomi, ketertiban umum, dan regulasi pemerintah. Situasi ini menimbulkan pertanyaan krusial: siapa yang seharusnya bertanggung jawab ketika ruang publik dikuasai oleh kepentingan pribadi, bahkan diduga disusupi oleh praktik pungutan liar?

banner 325x300

Salah satu persoalan yang disorot adalah aktivitas parkir di area yang telah ditetapkan tidak layak digunakan, baik untuk pedagang maupun sebagai lahan parkir. Masyarakat menyampaikan bahwa meskipun secara formal area tersebut dinyatakan dilarang, namun faktanya di malam hari tetap dipadati oleh pedagang dan kendaraan. Tarif parkir yang dikenakan pun tak transparan. Motor dikenakan Rp1.000, dan untuk mobil lebih tinggi, tanpa kejelasan legalitas atau alur setoran resminya. Salah satu tukang parkir yang di jumpai awak media bahkan menurutnya setoran ke PP.”ujarnya

Apakah dana ini masuk ke kas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tanjungpinang atau malah mengalir ke kantong oknum tertentu?

Kondisi ini menimbulkan keresahan. Trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki telah berubah menjadi lapak dan parkiran. Alih-alih menjadi ruang publik yang nyaman dan aman, trotoar kini menjadi simbol tumpang tindihnya wewenang dan pembiaran oleh pemerintah. Dalam konteks ini, Satpol PP sebagai aparat penegak perda disebut sebagai garda depan yang semestinya mengawal ketertiban. Namun, sejauh ini belum ada tindakan yang tegas atau solusi menyeluruh. Bahkan, banyak pedagang lama menyatakan mereka tak pernah mendapat teguran atau sosialisasi yang jelas dari pemerintah—mereka justru mendengar informasi lewat mulut ke mulut, bukan dari kanal resmi.

Ada pula persoalan mendasar yang tak bisa diabaikan: transparansi dan keadilan dalam pendataan pedagang. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa hampir 170 pedagang telah terdata oleh pemerintah kota, namun situasi di lapangan menunjukkan sebaliknya. Di wilayah Teluk Keriting, disebutkan sudah ada sekitar 20 pedagang, sisanya tetap menempati lokasi lama. Yang menjadi persoalan, munculnya pedagang-pedagang baru yang diduga “dibawa masuk” oleh oknum tertentu justru memicu ketegangan sosial. Pedagang lama merasa tidak dihargai dan enggan bergeser karena merasa telah lebih dulu berjuang dan bertahan.

Pemerintah provinsi pun turut disorot. Sebagai pemilik aset wilayah tersebut, seharusnya gubernur melalui perangkat daerah memberikan arahan dan kebijakan yang jelas, terutama dalam hal penataan dan pengelolaan ruang publik. Termasuk dalam hal ini soal pengelolaan parkir, yang jika diatur dengan benar, bisa menjadi salah satu sumber peningkatan PAD Kota Tanjungpinang secara legal dan transparan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: tidak ada kepastian hukum, dan warga dibiarkan menafsirkan aturan masing-masing.

Tak hanya soal parkir dan lapak, penerangan jalan pun tak luput dari sorotan. Lampu-lampu yang mestinya menjadi penunjang kenyamanan dan keamanan di malam hari kerap mati, bahkan diduga ada permainan oknum dalam pengelolaannya. Meskipun tanggung jawab penerangan berada di bawah PUPR Provinsi, faktanya masyarakat sebagai pengguna jalan menjadi pihak yang paling terdampak.

Situasi ini memperlihatkan sebuah cerminan ketidakpastian arah kebijakan dan lemahnya pengawasan. Padahal, dalam kerangka etika Pancasila dan ketahanan masyarakat, semestinya RT sebagai garda terdepan dalam mengetahui dinamika warganya dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Namun realitas menunjukkan, sering kali RT justru menjadi pihak yang disalahkan saat masalah muncul, padahal mereka tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan kebijakan sejak awal.

Kisruh ini menjadi alarm keras bahwa pemerintah, baik di tingkat kota maupun provinsi, tidak bisa lagi hanya diam dan bersikap reaktif. Dibutuhkan kebijakan yang tegas, adil, dan transparan. Sosialisasi kepada pedagang, pemetaan zona dagang yang resmi, penataan parkir berbasis sistem, serta pembukaan kanal pengaduan publik adalah langkah awal yang harus segera dilakukan. Jika tidak, kekacauan ini hanya akan melanggengkan konflik horizontal antarwarga, menciptakan zona abu-abu hukum, dan memperbesar ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Tanjungpinang butuh keberpihakan nyata. Bukan sekadar retorika, melainkan tindakan konkret dalam menjaga hak publik, menegakkan aturan, dan mengembalikan fungsi kota sebagai ruang hidup yang adil dan tertib untuk semua.” (Arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *