sidikfokusnews.com-Batam.—
Gelombang kemarahan kini mengguncang Kepulauan Riau. Masyarakat Melayu yang selama ini dikenal lembut, santun, dan beradat, kini bersuara lantang menuntut keadilan. Perobohan Hotel Pura Jaya di kawasan Nongsa, Batam, dianggap bukan sekadar persoalan bisnis atau investasi, melainkan bentuk kezaliman yang mengoyak marwah dan martabat orang Melayu di tanahnya sendiri.
Tindakan PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) bersama Badan Pengusahaan (BP) Batam, yang mencabut hak pengelolaan lahan dan merobohkan hotel megah tersebut pada 21 Juni 2023, kini menjadi sorotan publik dan memicu kemarahan luas dari berbagai elemen masyarakat — mulai dari tokoh adat, pengusaha lokal, hingga aktivis anti-mafia tanah.
Hotel Pura Jaya bukan sekadar bangunan bertingkat dari beton dan kaca. Ia adalah simbol kebangkitan ekonomi putra Melayu. Didirikan oleh pengusaha tempatan Zulkarnain Kadir pada 1996, hotel bintang lima ini menjadi ikon pariwisata Batam, dengan nilai investasi mencapai lebih dari Rp600 miliar. Ratusan tenaga kerja lokal menggantungkan hidup di sana, menjadikannya satu-satunya hotel berbintang lima di Batam yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pengusaha pribumi.
Namun pada 21 Juni 2023, hotel yang menjadi kebanggaan masyarakat Melayu itu diruntuhkan hingga rata dengan tanah. Pembongkaran dilakukan tanpa menunggu hasil akhir proses hukum yang masih berjalan.
“Saya sudah menyampaikan kepada banyak tokoh daerah hingga nasional. Semua geleng kepala melihat kezoliman ini. Hotel ratusan miliar dirobohkan tanpa putusan pengadilan. Ini bukan hanya kesalahan administratif, ini pengkhianatan terhadap Melayu,” tegas Gerisman Ahmad, Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang–Galang.
Gerisman menilai tindakan BP Batam dan PT PEP sebagai bentuk penistaan terhadap warisan ekonomi Melayu. “Hotel itu bukan milik asing. Itu milik anak negeri yang membangun dari nol. Tapi seolah pengusaha Melayu tak berhak hidup di tanahnya sendiri,” ujarnya getir.
Kemarahan masyarakat Melayu bukan tanpa alasan. Direktur Utama PT Dani Tasha Lestari (DTL), Megat Rury Afriansyah — pemilik sah Hotel Pura Jaya — menegaskan bahwa pembongkaran dilakukan berdasarkan surat BP Batam Nomor: B-2441/A3.1/KL.02.02/6/2021 tertanggal 30 Juni 2021, yang menuntut agar PT DTL mengosongkan lahan, padahal proses hukum masih berjalan dan belum inkrah.
“Kami masih berproses di pengadilan, belum ada keputusan final. Tapi hotel sudah diruntuhkan. Tidak ada surat eksekusi dari pengadilan. Kepala BP Batam bertindak seolah di atas hukum,” ujar Rury.
Ia menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap asas keadilan dan due process of law. “Ini bukan sekadar sengketa bisnis, ini contoh nyata bagaimana kekuasaan menindas hak ekonomi warga negara. Kami bukan penumpang di negeri sendiri,” tegasnya.
Kecurigaan terhadap adanya praktik kotor dalam kasus ini semakin kuat. Gerisman Ahmad menuding adanya kolusi antara BP Batam dan PT PEP untuk menguasai lahan strategis di Nongsa.
“Ini bukan kebetulan. Ada persekongkolan antara penguasa dan pengusaha. Lahan yang sebelumnya dikelola oleh pengusaha Melayu tiba-tiba dicabut dan dialihkan dalam waktu singkat. Ini permainan besar, dan rakyat Melayu jadi korban,” ujarnya.
Ia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Polda Kepulauan Riau turun tangan mengusut dugaan mafia lahan di balik proyek-proyek strategis di Batam. “Negara seharusnya melindungi investor rakyat, bukan menghancurkannya. Kalau lembaga pemerintah ikut dalam persekongkolan, ini sudah masuk kategori kejahatan kekuasaan,” tambahnya.
Beberapa pengamat hukum di Batam juga menilai tindakan BP Batam sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan. Penerbitan surat pengosongan lahan tanpa dasar hukum yang kuat dan penyerahan lahan kepada pihak lain setelah pembongkaran disebut sebagai bentuk pelanggaran administratif yang berpotensi memperkaya kelompok tertentu, bukan negara.
Suara perlawanan kini datang dari berbagai penjuru tanah Melayu. Tokoh perempuan sepuh, Siti Hawa atau Nek Awe (70 tahun), tak mampu menyembunyikan emosinya. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Megat Rury itu saudagar Melayu yang berjuang dari bawah. Dia bangun hotel itu dengan keringat dan doa. Tapi dirobohkan tanpa hukum, tanpa keadilan. Kalau Melayu dizalimi, berarti seluruh Melayu dizalimi.”
Ia menegaskan bahwa bangsa Melayu bukan bangsa pengecut. “Kami sabar, tapi bukan berarti kami diam. Jika hak-hak orang Melayu terus diinjak, jangan salahkan bila amuk Melayu bangkit menuntut keadilan,” ujarnya lantang, disambut sorak setuju para hadirin.
Kasus Hotel Pura Jaya menjadi cermin suram dari arah pembangunan Batam yang dinilai semakin jauh dari asas keadilan sosial. BP Batam, lembaga yang seharusnya mengelola lahan demi kesejahteraan masyarakat lokal, kini justru dianggap berpihak kepada korporasi besar dan investor luar.
Pembangunan yang semestinya berpihak kepada rakyat, kini dituduh berubah menjadi instrumen penindasan. “BP Batam lupa bahwa mereka mengelola tanah yang dulunya tanah adat. Mereka pikir Melayu akan terus diam, padahal adat Melayu punya hukum tersendiri. Kalau hukum negara tak adil, adat akan bicara,” ujar seorang tokoh adat di Nongsa.
Hotel Pura Jaya mungkin telah rata dengan tanah, tetapi semangat perlawanan masyarakat Melayu kini justru menyala lebih terang. Kasus ini telah menjadi simbol perjuangan menegakkan marwah dan keadilan di negeri sendiri.
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan tanpa keadilan hanyalah penjajahan model baru,” tegas Gerisman Ahmad.
Seruan pun menggema di berbagai daerah: mendesak penegak hukum, termasuk KPK dan Kejaksaan Agung, untuk membuka penyelidikan menyeluruh atas dugaan mafia lahan di Batam dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Tragedi perobohan Hotel Pura Jaya adalah potret paling telanjang dari ketimpangan antara kekuasaan dan rakyat kecil. Ketika hukum berpihak pada yang kuat, maka kebenaran akan dikubur hidup-hidup bersama reruntuhan keadilan.
Namun di tanah Melayu yang beradat ini, api perlawanan tidak padam. Dari reruntuhan beton Pura Jaya, tumbuh semangat baru untuk menegakkan marwah, membela hak anak negeri, dan menuntut agar keadilan kembali berdiri tegak — bukan hanya dalam hukum, tapi juga dalam hati nurani bangsa.”arf-6

















