Oleh : Arf (redaktur eksekutif SF)
Jumat Mubarak, 14 Shafar 1447 H / 8 Agustus 2025 M – Dalam kehidupan berbangsa yang seharusnya menempatkan keadilan sebagai fondasi utama, ironi justru membentang luas: kebenaran dikubur oleh kebencian, dan kekuasaan dijadikan alat untuk menindas mereka yang berbeda pandangan.
Ketika seseorang memilih jalan yang lurus—berpegang pada kejujuran, moralitas, dan keberpihakan kepada rakyat—ia justru menjadi sasaran. Fitnah datang silih berganti, intimidasi menjadi alat tekanan, dan hukum sering kali dijadikan instrumen politik untuk membungkam suara-suara yang tak sejalan.
Fenomena ini bukan sekadar dinamika politik. Ini adalah ujian akhlak dan nurani. Apakah kekuasaan dijalankan sebagai amanah dari Allah untuk menegakkan keadilan, ataukah hanya menjadi kendaraan untuk mempertahankan tahta dengan segala cara, termasuk menzalimi yang lemah?
“Jangan biarkan kebencian membutakan keadilan.” Kalimat ini bukan sekadar petuah filosofis. Ia adalah kebenaran mendalam yang menohok relung nurani. Kebencian yang dibiarkan merasuk ke dalam kekuasaan akan menjelma menjadi kezaliman. Sedangkan dalam Islam, kezaliman bukan hanya dosa, tetapi kegelapan abadi di akhirat.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Apa yang lebih mengerikan dari kegelapan pada hari di mana tiada lagi tempat bersembunyi, tiada lagi pengacara, tiada lagi jabatan?
Harta haram hanyalah bara api, tak sedikit para penguasa atau elit yang hidup dalam limpahan harta dan kemewahan. Namun jika semua itu diperoleh dengan jalan haram—merampas hak rakyat, memanipulasi anggaran, atau menekan kebenaran demi keuntungan kelompok—maka ia sesungguhnya sedang membangun neraka bagi dirinya sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَـٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًۭا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًۭا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api ke dalam perut mereka. Dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.”
(QS. An-Nisa: 10)
Ayat ini menggambarkan bahwa setiap bentuk perampasan harta—baik milik anak yatim maupun rakyat biasa—akan menjadi bahan bakar neraka bagi pelakunya. Kekayaan yang didapat dengan cara zalim, kelak akan menjadi penyesalan yang tak berujung.
Pemimpin sejati bukanlah mereka yang gagah saat berbicara, tetapi yang tetap adil ketika diuji oleh perbedaan. Ujian sejati bagi seorang penguasa adalah bagaimana ia memperlakukan orang yang tak sepaham. Apakah ia menjamin kebebasan berpendapat? Ataukah ia menggunakan instrumen hukum untuk membungkam?
Saat seorang pemimpin menindas mereka yang berbeda pandangan, memelihara kroni di atas keadilan, dan menjadikan jabatan sebagai benteng untuk kezaliman, maka itulah pertanda bahwa ia telah sesat arah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَشْرَكَ النَّاسَ فِي دُنْيَاهُ ظُلْمًا
“Sesungguhnya orang yang paling berat azabnya di hari kiamat adalah pemimpin yang menzalimi rakyatnya di dunia.”
(HR. Ahmad)
Bangsa ini haus akan kejujuran. Rakyat rindu akan pemimpin yang menyalakan obor keadilan, bukan yang menebar kabut fitnah. Sejarah telah berulang kali mengajarkan: kekuasaan yang dibangun tanpa keadilan adalah awal dari kehancuran.
Bagi para penguasa yang masih merasa aman di singgasana, ingatlah bahwa Allah tidak pernah lengah. Firman-Nya adalah peringatan keras bagi setiap orang zalim:
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱللَّهَ غَـٰفِلًا عَمَّا يَعْمَلُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍۢ تَشْخَصُ فِيهِ ٱلْأَبْصَـٰرُ
“Dan janganlah engkau mengira bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata-mata mereka terbelalak (karena ketakutan).”
(QS. Ibrahim: 42)
Hari ini mungkin mereka tertawa, tetapi esok mereka akan menangis di hadapan pengadilan Allah—di mana tak ada lagi ruang untuk retorika, tak ada lagi pelarian dari kebenaran.
Jika rasa malu telah mati…
Ketika rasa malu lenyap dari dada, maka jangan heran jika dosa menjadi tontonan, maksiat menjadi hiburan, dan akhlak dijadikan bahan ejekan. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.”
(HR. Bukhari)
Mati rasa malu adalah awal dari matinya akal sehat dan hati nurani. Di saat itulah masyarakat mudah disesatkan oleh para pemimpin palsu dan ulama su’.
Hidupkan hati dengan ilmu, dekatkan diri pada ulama
Di tengah zaman penuh fitnah, cahaya tak bisa dicari dari harta atau jabatan. Ia hanya bisa ditemukan melalui ilmu dan bimbingan para ulama, habaib, kiai, dan orang-orang shalih yang menjaga akhlaq serta ilmu mereka. Karena mereka adalah pelita yang menyinari jalan di tengah kegelapan zaman.
Namun kerusakan besar terjadi ketika ada orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya. Bahkan lebih berbahaya lagi, ketika orang bodoh tampil memimpin ibadah dan umat tanpa dasar ilmu yang benar.
Fitnah paling besar adalah mereka yang sesat tapi diikuti oleh banyak orang.
Semoga bermanfaat dan menjadi renungan kita bersama untuk kembali ke jalan yang benar dan mengakui kebenaran itulah hak yang Hakiki.