banner 728x250

Ketika Hukum Menjadi Alat Kekuasaan: Kasus Tom Lembong dan Potret Buram Penegakan Keadilan.

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Jakarta.-Di tengah hiruk-pikuk perbincangan publik soal pemberantasan korupsi dan integritas aparatur negara, publik kembali dikejutkan dengan munculnya nama Thomas Trikasih Lembong—mantan Kepala BKPM dan tokoh ekonomi yang kini aktif dalam barisan oposisi pemerintahan—dalam pusaran tuduhan hukum terkait impor gula. Ironisnya, banyak pihak menilai kasus ini lebih beraroma politis daripada murni penegakan hukum.

banner 325x300

Lembong yang sejak awal masa kampanye Pemilu 2024 bersuara kritis terhadap pemerintahan, tiba-tiba menjadi sorotan hukum. Ia bukan bagian dari lingkar kekuasaan, bukan pemilik partai, dan tidak berlindung di balik posisi struktural kenegaraan. Maka, ketika namanya disebut-sebut, publik bertanya: Apakah ini kebetulan, atau sinyal bahwa hukum sedang dijadikan alat kekuasaan?

Kritik Oposisi Berbuah Kriminalisasi?

Berbeda dari nama-nama beken lain yang terseret dalam pusaran berbagai skandal—seperti kasus BTS Kominfo, minyak goreng, dana hibah, hingga alih fungsi hutan—nama Tom Lembong justru tampak menonjol karena ia satu-satunya yang tidak punya ‘perisai politik’.

Airlangga Hartarto tetap tenang di kursi elite meski disebut dalam pusaran mafia migor. Zulkifli Hasan masih aktif berbicara soal pangan meski namanya tak lepas dari sorotan soal konflik kepentingan. Bahkan Khofifah Indar Parawansa yang disebut dalam kasus hibah masih digadang-gadang sebagai kandidat wakil presiden. Di sisi lain, Lembong justru langsung menjadi target.

“Ini contoh paling nyata bagaimana aparat hukum tidak bekerja secara independen, melainkan sangat transaksional dan politis,” ujar Dr. Herlambang P. Wiratraman, pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga. “Apa yang terjadi pada Tom Lembong menunjukkan bahwa oposisi yang kritis tidak diberikan ruang dalam demokrasi kita.”

Pendapat senada diungkapkan Ray Rangkuti, analis politik dari Lingkar Madani. Menurutnya, kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh oposisi merupakan pola lama yang terus berulang di Indonesia pasca-Reformasi.

“Siapa pun yang mengkritik terlalu keras, terutama jika ia punya pengaruh dan jaringan, akan dibungkam lewat cara-cara yang bisa dibenarkan secara formal, tapi tidak adil secara moral,” ungkap Ray.

Ketika Hukum Bukan Lagi Soal Benar atau Salah, fenomena ini menguatkan anggapan bahwa di Indonesia, hukum bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa dan berada di pihak mana. Penegakan hukum lebih sering beroperasi dengan kalkulasi politik daripada semangat keadilan.

“Hukum berubah fungsi, dari alat pencari keadilan menjadi instrumen pembungkaman,” kata Dr. Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. “Selama aktor berada dalam kekuasaan, ia akan aman. Tapi kalau berseberangan, maka ia rentan dipersekusi, dicari-cari celahnya, bahkan difitnah.”

Kondisi ini memperlihatkan bagaimana lembaga hukum seperti kejaksaan, kepolisian, bahkan peradilan, bisa digerakkan untuk kepentingan politik jangka pendek. Dalam konteks itu, Tom Lembong menjadi contoh paling relevan dari nasib oposisi di era demokrasi elektoral yang kian memudar.

Kritik, Kekuasaan, dan Budaya Mengkultuskan Harta

Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan budaya masyarakat yang mengukur nilai seseorang dari harta, jabatan, dan kedekatannya pada kekuasaan, bukan dari akhlak, ilmu, atau integritas. Seperti diungkap oleh S. Abdullah Assiri:

“Tak peduli seberapa lurus jalanmu, kalau dompetmu tipis, namamu mudah direndahkan.”

Kutipan ini seolah merangkum realitas sosial kita: kebenaran menjadi tidak penting bila tidak ditopang kekuasaan atau kekayaan. Orang jujur, cerdas, dan berniat baik untuk negeri bisa dianggap remeh bila tidak punya akses ke pusat kekuasaan.

Negara Tak Beri Ruang Aman bagi Oposisi. Kasus Tom Lembong juga memperlihatkan bahwa negara belum bisa menjamin ruang aman bagi kritik. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, keberadaan oposisi justru menjadi pilar penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.

“Tugas oposisi adalah memberi peringatan dini. Jika mereka dikriminalisasi, maka yang terjadi adalah kekuasaan berjalan tanpa pengawas, dan itu sangat berbahaya,” ujar Dewi Fortuna Anwar, akademisi dan pengamat politik luar negeri.

Sayangnya, dalam praktiknya, negara justru memberikan perlakuan istimewa kepada mereka yang berada di lingkar kekuasaan, dan memperlakukan oposisi seperti musuh negara. Ini tentu menyalahi prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi.

Refleksi: Demokrasi atau Otoritarianisme Gaya Baru?

Apa yang menimpa Tom Lembong mestinya menjadi cermin bagi kita semua: apakah kita masih berada dalam sistem demokrasi, atau sudah tergelincir ke arah otoritarianisme yang terselubung? Apakah kita masih menjunjung prinsip keadilan, atau sudah menormalisasi sistem “siapa dekat kekuasaan, dia aman”?

Demokrasi bukan hanya soal pemilu setiap lima tahun, tapi soal keberanian menerima kritik, menjamin kebebasan berbicara, dan menciptakan ruang aman bagi mereka yang bersuara berbeda. Ketika hal itu tidak lagi dihormati, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan kemunduran demokrasi secara sistemik.

Dan bila ini terus berlanjut, maka hari-hari ke depan bisa saja menjadi masa di mana orang takut bersuara, takut berpikir bebas, dan takut berada di pihak yang tidak populer. Masa di mana kebenaran hanya milik yang berkuasa.

Kasus Tom Lembong bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga ujian bagi integritas demokrasi dan masa depan penegakan keadilan di negeri ini. Apakah hukum masih berpihak pada keadilan, atau telah menjadi bayang-bayang kekuasaan? Pertanyaan ini harus terus kita suarakan, sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat.”(TRSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *