banner 728x250

Kesalahan Mereka Hanya Satu: Pulang ke Indonesia” — Krisis Integritas dan Ketidakramahan Sistem terhadap Profesional Jujur

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com_Jakarta.-Setiap tahun, Indonesia mengirimkan ratusan bahkan ribuan anak muda terbaiknya ke berbagai penjuru dunia. Mereka bukan sekadar pelajar biasa. Mereka adalah peraih beasiswa bergengsi seperti LPDP, Fulbright, Chevening, Erasmus, dan DAAD. Mereka menembus ketatnya seleksi universitas-universitas papan atas dunia: Harvard, Oxford, MIT, Stanford, Cambridge, Tokyo University, hingga National University of Singapore, dengan semangat satu: belajar setinggi mungkin agar bisa pulang dan membangun negeri yang mereka cintai.

banner 325x300

Namun, di balik semangat itu, mulai tumbuh keraguan. Dalam banyak diskusi diaspora, mulai dari ruang virtual Zoom hingga forum intelektual global, muncul satu pertanyaan pahit yang sering kali terucap lirih: “Masih amankah pulang ke Indonesia?”

Pertanyaan itu bukan cermin ketakutan yang irasional, tapi refleksi dari realitas yang makin mengkhawatirkan. Bukan sedikit, melainkan banyak dari mereka yang sudah pulang justru dihantam sistem yang tidak siap menerima orang-orang dengan integritas tinggi. Idealismenya dipertanyakan, langkahnya dijegal, dan lebih buruk lagi—ia bisa dikriminalisasi hanya karena mencoba membenahi hal-hal yang salah.

Dari Harvard ke Jeruji: Potret Suram Profesionalisme di Tanah Air

Nama-nama seperti Thomas Lembong dan Hotasi Nababan menjadi cerminan nyata dari paradoks ini. Lembong, lulusan Harvard dan mantan menteri dengan reputasi antikorupsi, kini terseret dalam perkara hukum yang disebut banyak pengamat sebagai sarat muatan politik. Bukan karena menyelewengkan uang negara, tetapi karena ia menolak berkompromi dengan permainan kekuasaan.

Hotasi Nababan, mantan Dirut sebuah BUMN, juga mengalami hal serupa. Ia dihantam kasus hukum dalam konteks konflik struktural internal dan tekanan elite. Ia bukan koruptor, bukan mafia proyek. Ia hanya mencoba menjalankan tugas dengan benar—dan rupanya itu dianggap sebagai ancaman.

Dua nama itu hanyalah permukaan dari gunung es besar yang menghantui para profesional muda diaspora. Sistem yang tidak memberi ruang aman bagi orang-orang jujur tidak hanya membunuh semangat reformasi, tetapi juga mendelegitimasi niat baik sebagai ancaman terhadap status quo.

Sistem yang Menghukum Kejujuran. Menurut Dr. Yanuar Nugroho, pakar kebijakan publik dan mantan Deputi Kepala Staf Kepresidenan, kondisi ini mencerminkan kegagalan struktural dalam mengelola profesionalisme. “Kita berbicara soal meritokrasi, transparansi, dan good governance, tetapi ketika praktiknya dijalankan oleh orang jujur, mereka malah disingkirkan,” ujarnya. “Profesionalisme dianggap kaku. Antikorupsi dianggap tidak kooperatif. Integritas malah dianggap menghambat.”

Senada dengan itu, Dr. Febriansyah Lubis, pengamat politik dari Universitas Paramadina, menyebut Indonesia tengah mengalami krisis keadilan institusional. “Fenomena ini adalah cermin dari reverse reward mechanism—dimana orang baik dihukum, orang curang dipromosikan. Ini membentuk iklim yang brutal bagi siapa saja yang berani pulang dan bekerja dengan idealisme tinggi,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa sistem kekuasaan di Indonesia belum sepenuhnya siap dikritik, apalagi dibenahi dari dalam. “Siapa pun yang mencoba menyuntikkan nilai akuntabilitas, pasti akan berbenturan dengan budaya feodal dan politik patronase,” tambahnya.

Kondisi ini tidak hanya menyebabkan brain drain, tapi juga heart drain—hilangnya hati, semangat, dan harapan dari anak-anak bangsa yang semestinya menjadi tulang punggung perubahan. Mereka pergi bukan karena gaji dolar, tetapi karena tidak melihat masa depan yang adil di negeri sendiri.

Dalam survei informal komunitas diaspora Indonesia di Eropa, 7 dari 10 responden menyatakan tidak ingin pulang dalam waktu dekat karena takut terjebak dalam sistem kerja yang penuh tekanan politik, intrik birokrasi, dan lingkungan kerja yang tidak sehat. “Kami ingin pulang, kami ingin mengabdi. Tapi sistemnya menolak kami,” ujar seorang responden, lulusan Cambridge yang kini bekerja di OECD, Paris.

Pernyataan itu bukan cermin ketidakcintaan pada Indonesia. Justru sebaliknya—itu adalah jeritan hati dari mereka yang sangat mencintai negeri ini, tapi tidak bisa melihat titik masuk yang aman untuk berkontribusi dengan jujur.

Tantangan Serius untuk Pemimpin Bangsa,pertanyaan besar yang kini menggema bukan lagi ditujukan kepada para diaspora: “Mengapa kalian tidak pulang?” Tetapi kepada para pemegang kekuasaan di dalam negeri: “Apa yang sudah kalian siapkan agar mereka bisa pulang dengan aman, bekerja dengan nyaman, dan berkontribusi tanpa rasa takut?”

Reformasi sistem bukan hanya soal digitalisasi birokrasi atau simplifikasi perizinan. Itu juga—dan yang lebih penting—mengenai bagaimana negara memperlakukan orang-orang jujur. Apakah mereka dirangkul atau disingkirkan? Apakah integritas dilindungi atau justru dimusuhi?

Jika tidak ada perubahan mendasar, narasi bahwa “pulang ke Indonesia adalah kesalahan terbesar” akan menjadi keniscayaan. Dan ketika itu terjadi, kita bukan hanya kehilangan potensi intelektual, tapi kehilangan generasi yang semestinya menyelamatkan masa depan bangsa ini.

Negara ini membutuhkan lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur. Kita membutuhkan reformasi mental kelembagaan. Kita butuh sistem hukum yang berpihak pada kebenaran, bukan kekuasaan. Kita perlu BUMN dan birokrasi yang membuka ruang bagi meritokrasi, bukan kroniisme. Dan yang terpenting: kita perlu menjamin bahwa orang-orang baik tidak akan dipenjara hanya karena mereka bekerja sesuai dengan hati nurani.

Selama itu belum terwujud, jangan heran jika Harvard, Stanford, dan Oxford tetap menjadi tujuan, sementara Indonesia hanya menjadi nostalgia. Karena dalam sistem yang menghukum kejujuran, yang tinggal hanya mereka yang rela tunduk—bukan mereka yang ingin memperbaiki.

Jika kita tidak berubah, maka satu-satunya yang bisa dikubur bukan hanya harapan, tapi juga masa depan.”(TRSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *