sidikfokusnews.com. Tarempa.-Kabupaten Kepulauan Anambas, salah satu kabupaten terdepan Indonesia di perbatasan utara yang menghadap langsung ke Laut Cina Selatan, kini tengah menghadapi ujian serius dalam tata kelola pemerintahannya. Deretan persoalan hukum yang mencuat dalam beberapa bulan terakhir, disertai dengan sejumlah proyek publik yang tersendat dan dugaan praktik penyimpangan, telah memantik kegelisahan di tengah masyarakat. Lebih dari sekadar gejala disfungsi birokrasi, situasi ini mencerminkan krisis kredibilitas pemerintahan yang berisiko meluas jika tidak segera ditangani secara serius dan transparan.
Pergantian kepemimpinan daerah yang seharusnya menjadi momentum pembaruan justru dibayangi oleh peningkatan intensitas panggilan hukum terhadap sejumlah pejabat aktif di lingkup Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas. Panggilan tersebut datang dari lembaga-lembaga penegak hukum tingkat nasional dan provinsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, dan Kepolisian Daerah Kepri. Lebih lanjut, muncul pula surat panggilan dari Pengadilan Negeri Pekanbaru kepada beberapa pejabat daerah.
Informasi yang berkembang menunjukkan bahwa pemeriksaan tersebut berkaitan dengan kebijakan dan tindakan struktural yang diambil dalam periode sebelumnya, namun turut menyeret nama-nama yang kini masih menduduki posisi strategis. Keadaan ini memperumit stabilitas pemerintahan dan berpotensi memperlemah daya dorong pembangunan daerah yang sedang berjalan.
Tidak berhenti di situ, masyarakat dikejutkan oleh dugaan kasus pemalsuan dokumen asuransi dan penerbitan cek kosong oleh pejabat di lingkungan pemerintah daerah. Meski proses hukum belum mencapai konfirmasi resmi, fakta bahwa kasus ini telah menjadi konsumsi publik mencerminkan betapa retaknya kepercayaan terhadap penyelenggara pemerintahan di tingkat lokal.
Sorotan utama saat ini tertuju pada proyek sodetan air yang berlokasi di Jalan Patimura, Kelurahan Tarempa. Proyek senilai sekitar Rp10 miliar ini semestinya menjadi solusi jangka panjang bagi permasalahan banjir di kawasan Tarempa yang padat penduduk. Namun hingga pertengahan Juli 2025, proyek tersebut justru menjadi simbol dari lemahnya pengawasan publik.
Lokasi proyek telah dilingkari garis polisi, namun tidak ada informasi resmi mengenai status hukumnya, penyebab penghentian proyek, maupun langkah penanganan selanjutnya. Pihak terkait di instansi teknis pun terkesan bungkam. Ketiadaan klarifikasi ini memunculkan kecurigaan publik bahwa proyek tersebut sejak awal tidak dijalankan dengan dasar hukum dan perencanaan yang matang. Tak hanya itu, minimnya keterbukaan informasi dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar transparansi dalam pengelolaan dana publik.
Pemerhati kebijakan pemerintahan dan otonomi daerah, Dr. Fathur Rahman, menilai situasi yang berkembang di Anambas saat ini bukan hanya urusan internal kabupaten semata. Ia mengingatkan bahwa Kabupaten Kepulauan Anambas memegang posisi strategis dalam sistem pertahanan negara dan stabilitas kawasan.
“Ketika pemerintahan daerah yang berada di garis depan NKRI menghadapi krisis integritas dan tata kelola, itu bukan cuma soal lokal. Ini sudah menjadi persoalan nasional. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya pelayanan publik, tapi juga kepercayaan publik terhadap negara,” tegas Fathur.
Ia menambahkan, indikasi proyek mangkrak, pejabat yang dipanggil aparat hukum, dan lemahnya komunikasi publik dari birokrasi, adalah kombinasi berbahaya yang menunjukkan sistem pengawasan internal tidak berjalan. Dalam konteks ini, lanjut Fathur, pemerintah provinsi dan pusat tak bisa lagi hanya mengamati, melainkan harus segera melakukan langkah-langkah korektif sistemik.
“Perlu ada audit menyeluruh atas penggunaan anggaran, tinjauan atas proyek-proyek strategis yang macet, dan yang paling penting adalah pembenahan budaya birokrasi yang selama ini tertutup dan transaksional,” katanya.
Bagi masyarakat Anambas yang hidup dalam kondisi geografis yang menantang, kehadiran pemerintahan yang bersih dan berpihak adalah kebutuhan mendasar. Ketika pemerintahan justru menjadi sumber keresahan, maka potensi sosial yang selama ini terjaga pun dapat terganggu. Terlebih, Anambas merupakan wilayah yang memiliki kekayaan perikanan, cadangan energi, dan potensi pariwisata yang belum tergarap maksimal.
Dalam kondisi demikian, suara masyarakat sipil menjadi penting untuk menjaga agar arah pemerintahan tidak menyimpang dari jalurnya. Partisipasi aktif warga dalam meminta kejelasan, mengawal proyek, dan mengawasi kinerja pejabat, perlu didukung dan difasilitasi oleh mekanisme formal.
Pemerintah daerah pun dituntut untuk berhenti bersikap defensif. Keterbukaan, akuntabilitas, serta kesediaan untuk melakukan audit internal menjadi kunci untuk memperbaiki kepercayaan publik. Jika hal ini gagal dilakukan, maka Kabupaten Kepulauan Anambas terancam menjadi contoh buruk bagi tata kelola pemerintahan daerah di wilayah perbatasan.
Kisruh yang kini melanda Anambas adalah cerminan dari kondisi darurat dalam sistem tata kelola yang dibiarkan berlarut. Masyarakat pantas bertanya, ke mana arah pemerintahan yang mereka percaya? Dan lebih penting lagi, siapa yang akan bertanggung jawab?
Momen krisis ini semestinya menjadi titik balik, bukan titik runtuh. Dengan kepemimpinan yang transparan, pengawasan yang efektif, serta dukungan masyarakat yang sadar hak dan tanggung jawabnya, Anambas bisa keluar dari bayang-bayang krisis dan kembali menjadi kawasan yang membanggakan sebagai beranda terdepan Indonesia.” (Tim Redaksi SF)