sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tengah bersiap memasuki bulan paling dinamis dalam kalender pariwisatanya. Sepanjang November 2025, Kepri akan menggelar 13 event pariwisata skala nasional dan internasional yang diharapkan menjadi magnet baru bagi wisatawan mancanegara dan domestik, sekaligus memperkuat posisi provinsi ini sebagai gerbang utama pariwisata bahari Indonesia.
Wakil Gubernur Kepri, Nyanyang Haris Pratamura, menyebut target ambisius telah ditetapkan: 2 juta wisatawan mancanegara dan 3,7 juta wisatawan domestik diharapkan hadir sepanjang tahun 2025 melalui rangkaian event unggulan tersebut.
“Ada 13 event yang akan digelar, mulai dari Mandiri Bintan Marathon hingga festival budaya di Batam dan Tanjungpinang. Pemerintah mendukung penuh agar kegiatan ini benar-benar berdampak terhadap ekonomi daerah,” ujar Nyanyang usai peluncuran Calendar of Event Kepri di Gedung Daerah Tanjungpinang, beberapa waktu yang lalu.
Sebagian besar kegiatan diinisiasi oleh pihak swasta, komunitas, dan lembaga non-pemerintah, sementara Pemprov Kepri mengambil peran sebagai fasilitator dan penguat ekosistem ekonomi wisata. “Kami ingin Kepri menjadi panggung besar kolaborasi: antara pelaku wisata, pengusaha lokal, dan masyarakat,” tambah Nyanyang.
Kepala Dinas Pariwisata Kepri, Hasan, menyebut sejumlah agenda utama yang menjadi tumpuan kalender tersebut. Di antaranya Sail to Indonesia 2025, yang akan menyinggahi Tanjungpinang dan melibatkan puluhan kapal yacht internasional dari Papua hingga Aceh; Mandiri Bintan Marathon di Lagoi yang menjadi ajang sport tourism unggulan; serta Bajafash 2025, festival musik dan budaya lintas negara di Batam.
“Calendar of Events ini menjadi momentum menunjukkan bahwa Kepri bukan hanya indah secara alam, tetapi juga kaya akan budaya, kuliner, dan kreativitas masyarakatnya,” tutur Hasan.
Pakar pariwisata Asia Tenggara dari ASEAN Tourism Research Network, Prof. Michael Tan, menilai langkah Kepri ini sebagai salah satu strategi regional paling progresif di kawasan. “Rangkaian kegiatan yang dikurasi dengan kombinasi antara sport tourism, budaya Melayu, dan wisata bahari menunjukkan bahwa Kepri paham potensi uniknya: berada di simpul perlintasan internasional antara Singapura dan Malaysia,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan kolaboratif yang melibatkan sektor swasta adalah tanda kematangan ekosistem wisata daerah. “Banyak daerah di Indonesia masih berpikir pemerintah harus menjadi penyelenggara tunggal. Kepri justru menunjukkan model kemitraan publik-swasta yang sehat, yang berpotensi menjadi benchmark nasional,” tambahnya.
Sementara itu, Dr. Esti Handayani, peneliti pariwisata dari Universitas Udayana, mengingatkan bahwa kesuksesan event tidak hanya diukur dari jumlah wisatawan, tetapi juga dari nilai tambah yang ditinggalkan bagi masyarakat lokal.
“Event besar sering kali berakhir hanya pada keramaian sesaat. Tantangan Kepri adalah memastikan bahwa momentum ini memperkuat UMKM, budaya lokal, dan tenaga kerja kreatif di daerah. Kalau itu bisa dijaga, Kepri bisa jadi model pembangunan wisata berkelanjutan,” katanya.
Dari perspektif strategis, pelaksanaan 13 event yang tersebar di tiga kota utama — Batam, Bintan, dan Tanjungpinang — menunjukkan arah baru pembangunan pariwisata Kepri yang terintegrasi lintas wilayah. Batam difokuskan untuk kegiatan internasional dan hiburan modern, Bintan diarahkan pada wisata olahraga dan resort, sedangkan Tanjungpinang diposisikan sebagai pusat budaya dan sejarah Melayu.
Pengamat ekonomi pariwisata dari Bank Dunia, menilai integrasi lintas-pulau ini sangat potensial. “Dengan jarak antarlokasi yang relatif dekat dan akses transportasi laut yang kuat, Kepri bisa memasarkan diri sebagai destinasi multi-tematik. Wisatawan Singapura bisa lari pagi di Bintan, berbelanja di Batam, dan menutup hari dengan festival budaya di Tanjungpinang — semua dalam satu paket,” ujarnya.
Namun, ia juga menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas pelabuhan wisata dan sistem tiket lintas-pulau yang terintegrasi. “Kepri punya keunggulan geografis luar biasa, tapi kalau transportasi dan informasi wisata belum sepenuhnya digital, potensi itu tidak maksimal,” tambahnya.
Beberapa aktivis lingkungan di Kepri juga mengingatkan bahwa lonjakan event pariwisata perlu diimbangi dengan kebijakan ekologis yang kuat, terutama di kawasan pesisir dan pulau kecil. Lembaga Konservasi Bahari Kepri (LKBK) dalam pernyataannya menegaskan bahwa setiap kegiatan harus memiliki Environmental Impact Assessment yang jelas agar pariwisata tidak berubah menjadi beban ekologis.
Menanggapi hal ini, Dinas Pariwisata Kepri menyatakan tengah berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup untuk memastikan seluruh kegiatan memenuhi prinsip eco-tourism. “Kita ingin setiap event meninggalkan jejak positif, bukan sampah atau kerusakan,” kata Hasan.
Momentum Menuju 2026: Diplomasi Budaya di Laut Terbuka
Menjelang akhir November, Pemprov Kepri juga akan meluncurkan Kalender Event Kepri 2026 di Tanjungpinang, diikuti dengan Kepri Kolosal Nusantara di Batam dan 12 Gurindam Purnama di Tanjungpinang — agenda yang diharapkan memperkuat diplomasi budaya maritim Indonesia di mata dunia.
Bagi banyak pihak, langkah Kepri ini bukan sekadar rangkaian festival, melainkan bentuk soft power diplomacy berbasis budaya dan laut. Seperti disampaikan Prof. Tan, “Jika dikelola dengan konsisten, Kepri berpotensi menjadi Bali kedua — bukan dalam bentuk tiruan, melainkan sebagai wajah baru Indonesia di garis khatulistiwa: modern, inklusif, dan berakar pada laut serta budaya Melayu.”
(Laporan: Tim Redaksi – sidikfokusnews.com)

















