sudikfokusnews.com – Kepala BP Batam, Amsakar Achmad dan Wakil Kepala BP Batam, Li Claudia Chandra menghadiri peresmian pabrik PT Solder Tin Andalan Indonesia (STANIA) di Kawasan Industri Tunas Prima, Kamis (10/7/2025).
Peresmian anak usaha dari PT Arsari Tambang ini, juga dihadiri langsung oleh Komisaris Utama Arsari Tambang, Hashim Djojohadikusumo; dan Wakil Menteri (Wamen) Investasi dan Hilirisasi RI/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu.
Amsakar Achmad menyambut baik peresmian perusahaan pembuat solder berbahan dasar timah tersebut.
Dengan dibangunnya pabrik hilirisasi sumber daya alam ini, diharapkan Kota Batam dapat memberikan kontribusi lebih terhadap perekonomian daerah maupun nasional.
“Tentunya kami sangat bersyukur atas peresmian ini. Kami atas nama pemerintah, tentunya akan memberi pelayanan maksimal kepada investor yang akan berinvestasi di Kota Batam” ujar Amsakar.
Amsakar pun optimistis dengan pelayanan yang baik kepada investor, dapat menjadi kekuatan dan energi baru bagi masa depan Kota Batam yang berdaya saing secara global.
Sebagai penutup, Amsakar mengajak seluruh pihak untuk terus bekerjasama dalam menjaga iklim investasi yang kondusif di Kota Batam.
“Mari kita bekerja dengan sepenuh hati, untuk Batam yang lebih hebat dan lebih dahsyat lagi kedepannya,” tutupnya.
PT Stania berfokus dalam memproduksi solder berbahan dasar timah, yang digunakan dalam berbagai aplikasi elektronik seperti mobil listrik, handphone, dan peralatan rumah tangga.
Pabrik ini akan memproduksi solder dalam berbagai bentuk, mulai dari solder wire hingga solder paste, dengan menggunakan proses produksi, sistem, dan bahan baku yang rendah emisi karbon.
Selain itu, PT Stania akan menerapkan standar internasional ISO 9001, 14001, 50001, dan 45001 dalam pengendalian mutu, perlindungan lingkungan, manajemen energi, dan keselamatan kerja.
Dalam sambutannya, Komisaris Utama Arsari Tambang, Hashim Djojohadikusumo mengatakan telah memimpin berbagai pabrik di Cilegon, Cibinong maupun Cilacap. Namun, berdirinya PT Stania merupakan yang paling membanggakan dirinya selama kariernya di dunia usaha.
“Karena ini menjadi bukti bahwa kita mampu dalam hilirisasi. Saat ini produksinya baru berjalan satu line dan akan terus dikembangkan hingga delapan line,” ujarnya.
Dengan nilai investasi awal yang mencapai Rp 400 miliar, PT Stania bisa merekrut dapat memperkerkajan 80 orang dalam satu line produksi dan 640 orang jika delapan line produksi berjalan.
Untuk itu, ia berharap terus mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah sehingga pabrik ini dapat berkembang sesuai dengan target.” (Nursalim Turatea)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 71