sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.— Penanganan kasus mafia tanah berskala besar di Tanjungpinang kembali menjadi sorotan publik setelah Kejaksaan Negeri Tanjungpinang mengklarifikasi posisi mereka dalam proses hukum yang hingga kini belum juga rampung. Klarifikasi itu disampaikan langsung kepada perwakilan Aliansi Gerakan Bersama (GEBER) Kepri, sebuah koalisi masyarakat sipil yang selama ini aktif mengawal kasus tersebut dan menuntut transparansi serta keadilan bagi ratusan korban.
Dalam penjelasan resmi yang diterima GEBER, pihak Kejari menyebut bahwa berkas perkara yang disusun oleh penyidik Polres Tanjungpinang hingga saat ini belum memuat pasal-pasal yang dianggap cukup memberatkan. Pasal yang digunakan baru terbatas pada Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Padahal, menurut Kejaksaan, kasus ini memiliki dimensi yang jauh lebih kompleks dan merugikan banyak pihak, dengan jumlah korban mencapai 247 orang dan indikasi kuat pengalihan aset melalui mekanisme keuangan yang rumit.
Kejari menilai bahwa penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) merupakan langkah hukum yang sangat penting untuk menjerat para tersangka secara lebih komprehensif. Pasal ini bukan hanya memperberat ancaman pidana, tetapi juga memberikan dasar hukum bagi penyitaan dan pengembalian aset yang diperoleh dari tindak pidana, termasuk rumah, ruko, kendaraan, dan rekening bank. Penerapan pasal TPPU juga akan membuka peluang bagi pemulihan kerugian para korban, serta mencegah pelaku menyamarkan harta hasil kejahatan dalam bentuk transaksi legal.
Dr. M. Irsyad, SH., MH., pengamat hukum pidana dan dosen Fakultas Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji, menjelaskan bahwa pencucian uang adalah fase lanjutan dari banyak kejahatan properti seperti yang terjadi dalam kasus mafia tanah. “Tanpa pasal TPPU, negara berisiko kehilangan kesempatan untuk menyita hasil kejahatan. Lebih jauh lagi, aktor-aktor intelektual bisa lolos karena dana sudah dilindungi lewat mekanisme formal,”
Sikap tegas juga disampaikan oleh perwakilan GEBER Kepri. Mereka menyampaikan bahwa telah memahami alasan Kejaksaan belum bisa menyatakan berkas perkara lengkap (P21), dan kini menuntut agar Polres Tanjungpinang segera menindaklanjuti permintaan Kejari dengan melengkapi konstruksi hukum menggunakan pasal TPPU. Mereka juga mengingatkan adanya risiko jika para tersangka tetap dalam posisi bebas, termasuk kemungkinan menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau mengulangi kejahatan serupa.
GEBER menilai bahwa upaya Kejari cukup progresif dan terbuka, termasuk dengan rencana ekspose internal yang akan digelar Jumat sore bersama Kepala Kejaksaan Negeri Tanjungpinang. Ekspos ini akan membahas secara menyeluruh kelanjutan perkara dan strategi agar penanganan kasus tetap berada pada jalur hukum yang adil dan tegas. Pihak Kejaksaan bahkan menyatakan akan tetap bekerja secara maraton hingga awal pekan depan demi mempercepat proses P21.
Namun, publik juga menunggu komitmen yang sama dari pihak kepolisian, terutama dalam hal menyikapi desakan penerapan pasal pencucian uang. GEBER Kepri menyatakan bahwa bila dalam waktu dekat tidak ada perkembangan konkret dari Polres Tanjungpinang, mereka akan menempuh langkah lanjutan berupa pelaporan resmi kepada institusi pengawas eksternal, baik di tingkat daerah maupun nasional. GEBER menyebut bahwa mereka tidak ingin melihat proses ini berujung pada impunitas atau kompromi hukum yang bisa melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Menurut Yuniarta Sitompul, peneliti di Lembaga Kajian Reformasi Hukum dan Peradilan, kasus ini merupakan cerminan nyata dari pertarungan antara kekuatan hukum dan kekuasaan informal yang kerap beroperasi dalam praktik pertanahan di Indonesia. “Ketika mafia tanah memiliki jejaring kuat yang bisa menjangkau lembaga formal, maka satu-satunya cara untuk membongkar semuanya adalah lewat pasal-pasal khusus seperti TPPU. Itu akan membuka siapa saja yang terlibat, dari aktor lapangan hingga perencana di balik layar,”.
GEBER Kepri pun menyatakan bahwa mereka bukan semata-mata mengejar penghukuman, tetapi juga pemulihan dan keadilan bagi korban. “Yang kami perjuangkan bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal ketenangan hidup masyarakat yang dirugikan. Para korban harus melihat bahwa negara berpihak kepada mereka, bukan kepada pelaku,” tegas GEBER dalam pernyataan penutup.
Kasus mafia tanah di Tanjungpinang saat ini menjadi salah satu ujian besar integritas aparat penegak hukum di daerah. Di tengah upaya nasional untuk memberantas mafia tanah dan memperkuat reforma agraria, kasus ini menunjukkan bahwa kerja sama lintas lembaga sangat menentukan hasil. Kejaksaan, kepolisian, dan masyarakat sipil harus berada di sisi yang sama: menegakkan hukum dengan keberanian dan akuntabilitas. Kejelasan pasal, penyitaan aset, dan proses hukum yang terbuka adalah indikator utama bahwa keadilan bukan hanya wacana. Masyarakat kini menanti langkah nyata, bukan sekadar klarifikasi administratif.”(TRSF)