sidikfokusnews.com-Tanjungpinang. — Gelombang baru dinamika sosial sedang muncul dari gugusan Kepulauan Riau. Bukan dari institusi negara atau partai politik, tetapi dari sebuah organisasi kekerabatan yang memadukan kekuatan budaya, jejaring sosial, dan kolaborasi lintas komunitas. Kelahiran Kekerabatan Keluarga Kepulauan Anambas (K3A) menjadi penanda penting bahwa masyarakat akar rumput pun bisa menghadirkan narasi besar untuk menjahit ulang struktur sosial dalam format yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Setelah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan dalam menyusun struktur serta merumuskan program kerja, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) K3A telah resmi menyatakan kesiapan mereka untuk memasuki babak baru: pelantikan dan pengukuhan pada 9 Agustus 2025 mendatang. Perhelatan akbar tersebut dijadwalkan akan dihadiri langsung oleh Gubernur Kepulauan Riau, menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap inisiatif sosial berbasis komunitas yang dirancang secara visioner ini.
Ketua Dewan Pendiri K3A, Drs. Raja Amirullah, Apt., menyatakan bahwa struktur organisasi kini telah selesai 100 persen dan tinggal menunggu penandatanganan resmi sebagai langkah legalitas. Namun, lebih dari sekadar formalisasi, Raja Amirullah menekankan pentingnya substansi inklusivitas dalam tubuh organisasi. Ia secara khusus menyoroti perlunya kehadiran unsur Tionghoa dalam struktur kepengurusan, bukan hanya sebagai lambang keberagaman, tetapi sebagai kekuatan aktif dalam proses pembangunan organisasi.
“Jangan sampai keterlibatan unsur etnis hanya menjadi pelengkap. Kita ingin seluruh komponen masyarakat, dari berbagai latar belakang, diberi ruang dan berperan aktif sesuai dengan bidang masing-masing,” ujarnya dalam rapat koordinasi bersama calon pengurus. Pernyataan ini menunjukkan keseriusan K3A dalam merancang arsitektur organisasi yang bukan saja merepresentasikan keragaman, tetapi juga mewujudkan prinsip-prinsip partisipatif yang menyeluruh.
Konsistensi arah itu diamini pula oleh Fansuri, ST., MH., Ketua Bidang Organisasi dan Kaderisasi yang juga memimpin Majelis Panitia Pelaksana Pengukuhan. Dalam paparannya, Fansuri menegaskan bahwa pelantikan nanti tidak akan berhenti sebagai seremoni formal, melainkan titik tolak konsolidasi kekuatan sosial yang akan diarahkan pada aksi konkret dan berkelanjutan.
Ketua Umum K3A, Dr. Azwardi, SE., MM., menambahkan bahwa sejak awal, K3A tidak dirancang untuk sekadar menjadi forum silaturahmi atau tempat nostalgia. Program kerjanya telah dirumuskan dalam bentuk rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Di dalamnya memuat upaya-upaya yang responsif terhadap kebutuhan strategis masyarakat—mulai dari penguatan ekonomi pesisir, pelestarian budaya lokal, advokasi kebijakan publik, hingga pembangunan kapasitas sumber daya manusia.
Dengan markas besar DPP yang berpusat di Tanjungpinang, K3A memosisikan dirinya sebagai simpul utama yang menjembatani masyarakat di wilayah perbatasan dan pesisir dengan struktur pemerintahan di berbagai tingkatan. Menariknya, hingga kini belum dibentuk DPW khusus untuk Tanjungpinang-Bintan, karena arah ekspansi organisasi justru difokuskan ke berbagai daerah lain di Indonesia.
Sekretaris Umum K3A, Hamdan, S.Si., M.AP., menjelaskan bahwa blueprint kelembagaan K3A telah mencakup rencana pembentukan DPW, DPD, dan DPC di berbagai wilayah Tanah Air. Tujuannya jelas: menjadikan K3A sebagai organisasi dengan jangkauan nasional, tapi tetap adaptif terhadap dinamika lokal. Hal ini menurut Hamdan akan menjadikan K3A sebagai organisasi yang tidak hanya eksis di pusat, tetapi juga hadir di ruang-ruang pinggiran yang selama ini sering terabaikan.
Dalam tahap awal ini, K3A sudah membentuk sejumlah bidang strategis, mulai dari kerja sama antarlembaga, hubungan dengan ormas dan perkumpulan, hingga kemitraan dengan pemerintah. Model ini tidak hanya memperkuat internalisasi nilai-nilai organisasi, tetapi juga membuka ruang kolaborasi yang lebih luas dengan pemangku kepentingan di berbagai level. Pendekatan seperti ini mencerminkan visi K3A untuk menjadi katalisator pembangunan sosial berbasis masyarakat sipil, bukan sekadar kelompok eksklusif yang tertutup.
Ketua Harian K3A, S.M. Damrie Alaydrus, SKM., MPH., menyebut pengukuhan pada Agustus nanti sebagai momentum menyatukan langkah dan persepsi antaranggota. Menurutnya, telah ada komunikasi intensif dengan Gubernur Kepri, dan saat ini proses finalisasi lokasi pelantikan tengah dilakukan. Ia menyebut dukungan pemerintah sebagai faktor penting dalam memperkuat sinergi kelembagaan ke depan.
Dari kalangan akademisi, lahirnya K3A mendapat sambutan positif. Dr. Taufik Kurniawan, pengamat sosial dan organisasi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), menilai bahwa K3A merupakan model organisasi kekerabatan modern yang mampu merevitalisasi jejaring sosial dalam konteks kontemporer. Ia menyebut bahwa keberhasilan organisasi ini sangat bergantung pada kemampuan menjangkau lintas generasi dan lintas etnis, serta keteguhan dalam menjalankan prinsip-prinsip keterbukaan dan partisipasi.
“K3A bisa menjadi organisasi yang menjahit ulang simpul-simpul sosial masyarakat, terutama di wilayah pesisir dan perbatasan. Jika mampu menjangkau lintas generasi dan lintas etnis, maka ia berpeluang menjadi model komunitas sosial yang visioner,” ungkapnya.
Sementara itu, Dr. Andi Surya Bakti, pakar manajemen organisasi dari Universitas Riau, mengingatkan bahwa pembentukan struktur nasional saja belum cukup. Menurutnya, tantangan sesungguhnya adalah menjalankan visi secara konkret dan menjaga konsolidasi antarwilayah dengan karakter sosial yang sangat beragam.
“Kepemimpinan yang kuat dan kemampuan menjalin kolaborasi lintas wilayah adalah kunci. K3A tidak boleh berhenti di struktur. Ia harus melangkah ke tahap berikutnya: program-program yang nyata dirasakan masyarakat,” tegasnya.
Ke depan, K3A dipandang memiliki posisi strategis dalam memperkuat fondasi masyarakat sipil. Sebagai organisasi berbasis nilai kekerabatan dan keberagaman, K3A berpotensi menjadi jembatan sosial baru di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural. Tidak hanya di Kepri, tetapi juga di berbagai penjuru Nusantara yang memiliki konteks sosial serupa.
Dalam suasana sosial-politik yang semakin cair, organisasi seperti K3A menjadi sangat relevan. Ia bukan hanya wadah nostalgia atau forum budaya, melainkan ruang perjumpaan gagasan, gerakan kolaboratif, dan penguatan jati diri kebangsaan. Bila dikelola secara profesional dan berbasis pada semangat kolektif, K3A bisa menjelma sebagai kekuatan sosial yang merumuskan sendiri narasi pembangunan dari pinggiran—sebuah langkah penting dalam demokratisasi pembangunan yang sesungguhnya.”(Arf)