sidikfokusnews.com-Batam. — Dalam senyap perjalanan waktu yang membawa perubahan, ada sosok-sosok pengabdi yang tetap teguh berdiri di tengah arus zaman. Salah satu di antaranya adalah Dedi Rahmat, S.Ag., M.Pd., seorang guru agama yang telah menapaki jalan panjang pengabdian sebagai aparatur sipil negara di bawah Kementerian Agama Kota Batam. Setelah lebih dari dua dekade mengabdi, ia kini resmi memasuki masa purnatugas, ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Pemberhentian dan Pemberian Pensiun dari Kementerian Agama Republik Indonesia.
SK tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kemenag atas nama Menteri Agama, sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi Dedi Rahmat dalam membina dan mencerdaskan generasi melalui pendidikan agama Islam. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pemberhentian ini diberikan dengan hormat karena yang bersangkutan telah mencapai batas usia pensiun dan telah memenuhi seluruh persyaratan administratif.
Sepanjang kariernya, Dedi Rahmat dikenal sebagai figur pendidik yang bersahaja namun teguh dalam prinsip. Ia terakhir menjabat sebagai Guru Pertama dengan golongan ruang III/c, dengan penugasan di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Batam. Dalam keseharian, ia bukan hanya menjadi pengajar, tetapi juga pembimbing moral dan teladan akhlak bagi peserta didik dan lingkungan sekitarnya.
Pengabdiannya bukan sekadar menjalankan kewajiban formal sebagai guru, tetapi menjadi bagian dari pembangunan karakter bangsa melalui nilai-nilai Islam yang damai, santun, dan menjunjung keadaban. Dalam masa baktinya, ia turut membentuk generasi yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakar pada nilai spiritual dan kebangsaan.
SK yang diterbitkan tidak hanya memuat pemberhentian secara administratif, tetapi juga mencantumkan data pribadi serta keterangan keluarga sebagai bagian dari tata kelola kepegawaian yang tertib. Tercatat dalam dokumen tersebut, istri beliau, Erni Erdianti, lahir pada 6 Oktober 1967 dan resmi menikah dengan Dedi Rahmat pada 27 Agustus 1995. Kebersamaan dalam membangun keluarga menjadi fondasi yang turut menopang perjalanan karier beliau.
Kementerian Agama memastikan bahwa seluruh hak pensiun yang menjadi hak PNS akan diproses melalui mekanisme resmi yang transparan dan akuntabel, bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Penyerahan SK juga telah dilengkapi dengan pas foto serta pengamanan digital berupa kode QR, sebagai bagian dari transformasi layanan kepegawaian berbasis teknologi informasi.
Bagi rekan-rekan sejawat dan peserta didik, Dedi Rahmat bukan sekadar nama dalam catatan administrasi. Ia adalah guru yang selalu hadir dengan kesabaran, keilmuan, dan ketulusan. Seorang pendidik yang tak banyak bicara, tapi kuat dalam teladan. Sosok yang bekerja dalam diam, namun memberi cahaya bagi banyak hati.
“Beliau bukan hanya mengajar, tetapi mendidik dengan jiwa. Dalam sunyi, beliau telah menorehkan karya abadi dalam bentuk akhlak para muridnya,” ujar salah satu kolega dalam suasana haru saat penyerahan SK tersebut.
Acara penyerahan berlangsung di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau dan menjadi simbol bahwa negara hadir memberi penghargaan kepada mereka yang telah selesai menunaikan amanahnya dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Kisah pengabdian Dedi Rahmat adalah cerminan nilai-nilai luhur yang mesti terus dirawat dalam dunia pendidikan kita. Ia menunjukkan bahwa keikhlasan dan keteladanan jauh lebih langgeng dari sekadar prestasi administratif. Semoga semangatnya terus menginspirasi para pendidik dan abdi negara lainnya untuk memberikan yang terbaik bagi generasi masa depan dan kemajuan umat.”(Nt)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 75