banner 728x250
Batam  

Jejak Langkah dari Balangpasui

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Dr. Nursalim, M.Pd.

Di sebuah kampung sederhana yang tenang bernama Balangpasui, hiduplah keluarga yang dikenal karena ketaatan dan ilmunya. Di sinilah, pada hari Selasa, 20 Oktober 1970 pukul 10 pagi, seorang anak lahir dan diberi nama Akbar Turatea. Beberapa jam setelah itu, tepat pukul 4 sore, lahirlah saudara kembarnya, Amir, yang datang ke dunia dalam keadaan sungsang. Situasi itu hampir merenggut nyawa sang ibu, namun Tuhan menyelamatkannya pada detik-detik terakhir. Akbar dan Amir kemudian tumbuh bersama dua saudara lainnya, Ria dan Ani, membentuk keluarga kecil yang hangat dan penuh cerita.

banner 325x300

Ayah mereka, Rasul, adalah seorang pensiunan guru agama yang dikenal luas karena kedalaman ilmu serta keteguhannya dalam menjaga martabat keilmuan. Sejak muda, Rasul menimba ilmu agama dan ilmu nahwu di berbagai pondok, menjadikan dirinya panutan masyarakat. Ia adalah salah satu putra dari Ubaid (Almarhum), tokoh terhormat yang merupakan keturunan Raja Sapayya di Sulawesi Selatan. Dari garis ini pula, Rasul masih sepupu satu kali dengan Padda Karaeng Mangung (Almarhum), Raja Sapayya yang terkenal dengan kebijaksanaan dan keberaniannya.

Sementara itu, ibu Akbar, Ana, adalah putri dari seorang guru mengaji tersohor di Tamarunang. Suara lembutnya saat mengajar anak-anak mengaji menjadi bagian dari identitas kampung itu sendiri. Dari ibunya, Akbar belajar tentang ketulusan, kesabaran, dan kekuatan doa yang tidak pernah putus setiap malam.

Masa kecil Akbar dipenuhi pemandangan perkebunan luas dan deretan pohon kayu cina yang tumbuh tegak di sepanjang jalan kampung. Pohon-pohon itu bagaikan penjaga waktu, menyaksikan langkah kecil Akbar dan anak-anak kampung lain yang berlari tanpa alas kaki, mengejar angan-angan tentang masa depan yang belum mereka pahami sepenuhnya. Setiap langkah yang ditempuh Akbar di jalan tanah itu menanamkan satu makna: bahwa kerja keras dan ketekunan adalah bekal terpenting dalam hidup.

Pada masa remajanya, Akbar sering berpindah antara Balangpasui dan Tamarunang, kampung halaman ibunya. Tamarunang dengan suasana religius, gema lantunan ayat-ayat al-Qur’an, dan nasihat para tetua membuat jiwanya semakin dewasa. Di sana, dia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang ambisi, tetapi juga tentang keberkahan dan cara merawat hubungan dengan sesama manusia.

Ketika usia dewasa tiba, Akbar memutuskan untuk merantau ke Batam. Pilihan itu bukan tanpa risiko. Batam adalah kota yang keras, tempat ribuan orang datang untuk mengubah nasib. Akbar pun merasakan dinginnya kesepian, kerasnya kompetisi, dan tekanan hidup yang terkadang membuatnya hampir menyerah. Namun dalam setiap kejatuhan, ia selalu teringat pesan ayahnya:

“Ilmu itu cahaya. Bila kau jaga, maka hidupmu takkan gelap.”

Pesan inilah yang menguatkan hati Akbar. Di Batam, ia mulai mengajar, menulis, dan membangun jati diri. Kota itu menjadi kawah candradimuka yang menempanya menjadi lebih tangguh. Kemudian, tekadnya semakin bulat ketika ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor di UHAMKA, Jakarta.

Perjalanan menjadi doktor bukan hal mudah. Ada malam-malam panjang yang dipenuhi tumpukan referensi, revisi yang terasa tidak ada habisnya, seminar yang menegangkan, serta kelelahan yang seperti tidak ada batasnya. Namun Akbar selalu kembali pada keyakinannya bahwa seorang anak kampung pun berhak memiliki mimpi setinggi langit.

Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Di sebuah ruang sidang yang megah, Akbar mempertahankan disertasinya dengan penuh ketenangan. Para profesor mengajukan pertanyaan tajam, dan ia menjawabnya satu per satu dengan keyakinan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Ketika nama Akbar Turatea diumumkan sebagai lulusan doktor dengan hasil sangat memuaskan, air mata yang lama ia tahan akhirnya jatuh juga.

Di saat itu, ia merasa melihat bayangan ayah dan ibunya. Wajah Rasul dengan tatapan teduh dan suara lembut Ana yang selalu mendoakannya. Gelar itu bukan hanya miliknya, tapi milik mereka—milik keluarga, milik kampung, dan milik semua doa yang telah dinaikkan ke langit demi masa depannya.

Sekarang, ketika Akbar berdiri di hadapan para pemuda dan pemudi yang merindukan masa depan gemilang, ia selalu mengucapkan satu pesan:

“Belajarlah sedalam-dalamnya seperti lautan, karena di sanalah mutiara tersimpan. Raihlah mimpimu setinggi langit, karena di sanalah bintang menunggu. Ingatlah, pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari.”

Dari Balangpasui hingga kota besar, perjalanannya membuktikan satu hal:
Meski langkahmu berasal dari kampung kecil, mimpimu tidak pernah kecil jika hatimu besar.

(Redaksi)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *