banner 728x250
Batam  

Jaringan Rokok Ilegal Diduga Danai Penguasaan Lahan dan Hilangnya Hotel Purajaya

banner 120x600
banner 468x60

sidikfokusnews.com-Batam.- Batam kota industri yang bergerak cepat namun kerap menyimpan gemuruh di bawah permukaannya, dugaan baru mencuat: bisnis rokok ilegal yang nilainya mencapai miliaran rupiah per hari diduga tidak hanya mengalirkan uang ke pasar gelap, tetapi juga menjadi “bahan bakar” bagi ekspansi penguasaan lahan skala besar—termasuk kasus lenyapnya Hotel Purajaya, bangunan ikonik yang kini tinggal puing dan debu.

Temuan itu terungkap dalam riset terbatas Gerak Garuda Nusantara (Gegana), sebuah organisasi pemantau ekonomi informal dan lintas batas. Mereka menelusuri pola aliran dana dari aktivitas ilegal rokok merek T3, HD, dan OFO yang selama ini berpusat dari Batam menuju berbagai daerah di Indonesia.

banner 325x300

“Dari berbagai data, kami melihat pola yang terlalu konsisten untuk dianggap kebetulan. Keuntungan dari peredaran rokok ilegal pada skala besar digunakan untuk mengonsolidasikan penguasaan lahan oleh konsorsium Asri alias Akim. Ini bukan asumsi kosong, tapi hasil pembacaan data media nasional, lokal, serta observasi lapangan,” kata Erwin Sipahutan, pengurus Gegana.

Analisis Gegana bertumpu pada data laporan penyitaan, pergerakan pasar, serta investigasi sejumlah jurnalis nasional. Salah satunya laporan harian Kompas yang menyebut estimasi aliran uang rokok ilegal di Batam mencapai Rp37,5 miliar hanya dalam empat bulan.

Dari angka itu, kelompok yang diduga berada dalam orbit Akim diperkirakan menguasai Rp300 juta lebih per hari. Perhitungan lain yang dilakukan Gegana menunjukkan nilai peredaran mencapai Rp16,26 miliar dalam dua pekan—atau sekitar Rp1,16 miliar per hari.

“Angka ini fluktuatif. Namun volume dan sebarannya sangat besar. Kalau sudah sampai Papua, itu membuktikan bukan hanya kuatnya jaringan logistik, tapi juga kuatnya perlindungan,” ujar Erwin.

Di sejumlah daerah, rokok tanpa cukai kini bahkan dianggap “normal”. Mereka dijual terang-terangan di warung kecil hingga kios pinggir jalan.

“Ini tidak mungkin berjalan tanpa ada kolusi dari oknum aparat tertentu. Bea Cukai? Mustahil mereka tidak tahu skala sebenarnya,” kata Erwin.

Temuan paling mencolok dalam riset Gegana adalah adanya dugaan bahwa keuntungan rokok ilegal dialihkan menjadi pembelian lahan besar-besaran di Batam. Lahan tersebut tidak hanya menjadi alat investasi, tetapi juga penutup untuk menyembunyikan aliran dana besar yang tidak mungkin muncul secara legal.

Kasus Hotel Purajaya menjadi contoh paling gamblang. Bangunan yang seharusnya menjadi aset investasi pariwisata itu diratakan tanpa kejelasan hukum dan tanpa proses transparan.

“Melihat pola akumulasi lahan, pembiayaan operasional, serta kecepatan proses pengambilalihan, kami menilai ada keterkaitan kuat dengan jaringan ekonomi ilegal. Penguasaan lahan digunakan sebagai medium pencucian uang,” ungkap Erwin.

Bea Cukai memang beberapa kali melakukan penyitaan besar. Antara lain:

403.276 batang rokok ilegal dengan nilai barang lebih dari Rp16,26 miliar.

3,53 juta batang rokok ilegal disita bersama TNI AL, nilai Rp5,3 miliar.

Sepanjang Januari–April 2025, total peredaran ilegal yang berhasil digagalkan mencapai Rp37,5 miliar.

Namun semua angka itu justru digolongkan Gegana sebagai “porsi kecil”.

“Yang berhasil disita itu hanya 5–10 persen maksimal. Jalur laut terbuka, pengawasan longgar, serta adanya pelabuhan tak resmi menjadikan Batam pusat suplai ke seluruh Indonesia,” kata Erwin.

Selain itu, nilai barang yang disita tidak menggambarkan margin keuntungan sindikat. Harga grosir di pasar gelap berbeda dengan profit bersih yang mengalir ke konsorsium.

“Tanpa data internal sindikat, mustahil menghitung angka pasti. Tapi kisarannya jelas: ratusan juta hingga miliaran rupiah per hari,” tambah Erwin.

Dalam temuan Gegana dan sejumlah laporan media, nama Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai Batam Zaki Firmansyah ikut disorot. Publik mempertanyakan mengapa peredaran rokok ilegal bisa menjangkau hampir semua provinsi, tetapi kegiatan itu tetap berjalan seolah tanpa hambatan.

“Skalanya terlalu besar untuk sekadar kelemahan pengawasan,” kata Erwin. “Ada kemungkinan oknum-oknum tertentu menutup mata.”

Aktivis anti-korupsi, organisasi sipil, dan sebagian tokoh masyarakat mendesak aparat penegak hukum melakukan penyelidikan menyeluruh. Bukan hanya pada rokok ilegalnya, tetapi pada jalur keuangan yang menghubungkan industri ilegal itu dengan sektor properti, penguasaan lahan, dan pelumpuhan kasus hukum seperti dugaan manipulasi dalam perobohan Hotel Purajaya.

“Ini sudah bukan lagi soal rokok ilegal,” ujar Erwin.
“Ini soal bagaimana uang hitam mengakuisisi ruang kota, merusak ekosistem ekonomi, dan mengendalikan proses hukum.”

( tim )

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *