sidikfokusnews.com – Batam.– Indonesia sebagai negara besar dengan keragaman etnis, agama, dan budaya terus menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas sosial. Potensi kerawanan akibat keberagaman yang luas dapat menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan baik. Hal ini menjadi perhatian serius Prof. Dr. Ir. Chabullah Wibisono, MM, Guru Besar Universitas Batam sekaligus Waketum MUI Kepulauan Riau dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Batam.
Dalam policy brief bertajuk Mencegah Kerusuhan Sosial di Indonesia: Pelajaran dari Konflik Nepal, Prof. Chabullah menekankan pentingnya penguatan tata kelola pemerintahan, pengelolaan keberagaman, pengurangan kesenjangan sosial, serta partisipasi pemuda dan mahasiswa. Menurutnya, pengalaman konflik di Nepal bisa menjadi cermin berharga bagi Indonesia agar tidak terjerumus dalam masalah serupa.
“Indonesia harus memperkuat tata kelola dan memastikan pembangunan berjalan adil serta merata. Jika tidak, kesenjangan sosial bisa menjadi pemicu lahirnya konflik,” tegas Prof. Chabullah.
Ia menjelaskan, ada beberapa strategi yang perlu ditempuh. Pertama, memperkuat tata kelola pemerintahan yang adil, transparan, dan akuntabel dalam distribusi pembangunan dan anggaran. Kedua, mengelola keberagaman dengan memperkuat toleransi, dialog antarumat, serta pendidikan multikultural guna menjaga persatuan bangsa.
Selain itu, langkah penting lainnya adalah pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi. Pemerataan pembangunan, peningkatan akses pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan UMKM diyakini dapat mengurangi ketimpangan yang kerap memicu konflik sosial.
Prof. Chabullah juga menyoroti peran generasi muda. Mahasiswa dan pemuda perlu diberi ruang lebih besar untuk berpartisipasi dalam kebijakan publik, inovasi, dan kewirausahaan. “Partisipasi aktif generasi muda akan menyalurkan aspirasi mereka secara damai dan konstruktif,” ujarnya.
Di bidang hukum, ia menekankan pentingnya penegakan hukum dan HAM secara adil dengan pendekatan restorative justice untuk menghindari eskalasi konflik. Sedangkan dari sisi moral dan spiritual, tokoh agama dan adat perlu terus dilibatkan agar masyarakat memiliki benteng nilai yang kuat dalam menjaga kerukunan.
Pengalaman Nepal yang dilanda konflik dan kerusuhan, menurut Prof. Chabullah, adalah peringatan nyata bahwa negara multikultural harus memiliki strategi antisipatif. “Indonesia bisa tetap damai dan kokoh di tengah keragaman jika setiap elemen bangsa bekerja sama menjaga persatuan,” tambahnya.
Dengan berbagai rekomendasi strategis tersebut, Indonesia diharapkan mampu memperkuat fondasi kebangsaan, mencegah kerusuhan sosial, serta tetap menjadi bangsa yang damai, adil, dan berdaulat di tengah dinamika global.” (Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 66