Oleh: Syahzinan, SE
Gelombang aksi massa yang mengguncang Jakarta dan sejumlah daerah antara 25 hingga 31 Agustus 2025 mencatatkan satu lagi mosaik sejarah kelam bangsa. Dalam memori kolektif rakyat Indonesia, peristiwa ini kini berdiri sejajar dengan tragedi-tragedi yang sebelumnya menggores perjalanan republik: 1965, Malari 1974, Tanjung Priok 1984, Kudatuli 1996, hingga kerusuhan Mei 1998 yang menandai tumbangnya rezim Soeharto.
MELAWAN LUPA—itulah pesan yang bergema dari jalanan. Peristiwa Agustusan 2025 ini bukan sekadar rentetan demonstrasi biasa, melainkan akumulasi rasa frustasi, amarah, dan kekecewaan rakyat terhadap elite kekuasaan. Seperti kata Bung Karno, “Mengusir penjajah asing lebih mudah daripada melawan bangsa sendiri.” Kata-kata itu kini terbukti: tantangan terbesar bangsa ini bukan lagi kolonialisme, melainkan pengkhianatan, keserakahan, dan kegagalan elite sendiri dalam mengelola negara.
Pertanyaan mendasar pun bergulir: siapa dalang, siapa aktor intelektual, siapa sponsor? Pertanyaan ini akan terus menghantui ruang publik, namun di balik semua itu ada fakta yang tak bisa dipungkiri—ledakan sosial ini lahir dari akumulasi ketidakadilan yang terlalu lama dipendam.
Indonesia baru saja memperingati 80 tahun kemerdekaan. Namun ironinya, reformasi yang digembar-gemborkan sejak 1998 nyatanya gagal melahirkan tatanan yang adil. Produk reformasi selama 27 tahun terakhir justru macet di tengah jalan, disabotase kepentingan oligarki, hingga akhirnya melahirkan “Peristiwa 25–31 Agustusan” sebagai koreksi keras dari rakyat.
Kemarahan mahasiswa, tukang ojek online, buruh, hingga rakyat kecil yang bergabung dalam satu gelombang, menjadi pemicu ledakan sosial terbesar sejak 1998. Fenomena ini membuat sejumlah pengamat menyebutnya sebagai gejala awal people power. Amien Rais bahkan menyebutnya demikian. Namun ada juga analisis ekstrem yang melihat potensi kesamaannya dengan Revolusi Bolshevik 1917 di Rusia, Revolusi Prancis, atau bahkan Revolusi Inggris—yakni momentum ketika rakyat jelata mengambil alih arah sejarah secara paksa.
Meski peristiwa itu tak sampai menjelma revolusi penuh, dampaknya nyata: pemerintah dan DPR dipaksa membuka pintu rapat, menerima aspirasi yang selama ini terkekang, dan berjanji melakukan perbaikan struktural. Tekanan rakyat membuat kekuasaan yang selama ini arogan dan menutup diri, kini mulai gentar dan membuka ruang negosiasi.
Namun, pertanyaan paling krusial kini: apakah semua ini sungguh-sungguh akan melahirkan perubahan fundamental, struktural, dan radikal—atau sekadar kosmetik politik populis yang meredam amarah sesaat?
Ahli politik dan sosiolog memperingatkan bahwa jika momentum ini hanya dijawab dengan kebijakan pragmatis dan tambal sulam, maka gejolak lebih besar bisa kembali pecah. Indonesia bisa saja menghadapi siklus instabilitas yang berulang, sebagaimana negara-negara yang gagal mengelola transisi demokrasi.
Sementara itu, sejumlah pengamat hukum menekankan pentingnya evaluasi total atas sistem politik yang saat ini terlalu dikuasai oligarki. Tanpa reformasi menyeluruh terhadap sistem pemilu, peradilan, dan penegakan hukum, perubahan sejati hanya akan menjadi jargon kosong.
Sejarah dunia mencatat, setiap revolusi lahir dari pertemuan antara kekecewaan rakyat yang memuncak dan kegagalan elite menjawab tuntutan zaman. Indonesia kini berada di titik krusial itu. Apakah gejolak Agustusan 2025 hanya sebuah trigger peringatan, atau benar-benar awal dari sebuah transformasi nasional?
Rakyat Indonesia kini menunggu jawaban. Dan waktu—seperti biasa—akan menjadi hakim paling adil. redaksiSF