banner 728x250
Lihat Berdasarkan Tanggal
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar  Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong  Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya.  Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir.  Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.”  Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury.  Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya.  Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam.  Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas.  Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga.  Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang  BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Batam  

Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)

  sidikfokusnews.com-Batam.- Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi,…

FPI Kepri: Tunda Aksi 24 September, Perlawanan Terhadap Privatisasi Gurindam 12 Tetap Menyala  Tanjungpinang – Forum Peduli Ibukota (FPI) Kepulauan Riau menegaskan sikapnya terkait polemik privatisasi Kawasan Gurindam 12. Melalui rapat konsolidasi yang digelar pada Selasa, 23 September 2025, pukul 16.00 hingga 17.30 WIB, FPI Kepri memutuskan untuk menunda aksi unjuk rasa yang semula direncanakan berlangsung pada Rabu, 24 September 2025.  Keputusan penundaan ini, ditegaskan Koordinator Aksi Hajarullah Aswad, bukanlah bentuk pelemahan apalagi kemunduran dari gerakan rakyat. Penundaan dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Hari Jadi Provinsi Kepulauan Riau yang jatuh pada 24 September. Bagi masyarakat Kepri, tanggal tersebut adalah momentum sakral yang menandai lahirnya provinsi ini setelah melalui perjuangan panjang para pejuang daerah.  FPI Kepri menilai, menjaga kehormatan perjuangan para pendahulu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semangat perlawanan hari ini. “Kami memilih menahan diri dari aksi jalanan pada tanggal 24 September, bukan karena api perlawanan meredup, melainkan karena kami ingin menghormati para pejuang yang telah melahirkan Provinsi Kepri. Api perlawanan itu tetap menyala di dada rakyat,” tegas Hajarullah Aswad.  Meski aksi ditunda, FPI Kepri menegaskan konsistensi sikap dalam menolak kebijakan privatisasi Gurindam 12. Kawasan ikonik yang berdiri di tepi laut Tanjungpinang itu dipandang sebagai ruang publik, identitas sejarah, sekaligus simbol kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau. Karena itu, FPI menolak keras jika Gurindam 12 diperdagangkan atau dialihkan menjadi proyek bisnis yang hanya menguntungkan segelintir elit.  Sebagai tindak lanjut, FPI Kepri mengumumkan rencana aksi besar yang akan digelar pada Rabu, 8 Oktober 2025. Aksi tersebut direncanakan berlangsung pukul 10.00 WIB di Kantor Gubernur Kepulauan Riau dengan perkiraan kekuatan massa mencapai 2.000 orang. Namun demikian, FPI Kepri menegaskan bahwa mobilisasi besar-besaran itu tidak akan dilakukan apabila sebelum tanggal tersebut Gubernur Kepulauan Riau secara resmi membatalkan kebijakan privatisasi Gurindam 12.  “Menunda aksi bukan berarti mundur. Menunda aksi adalah strategi menuju kemenangan. Kami tetap teguh, Gurindam 12 adalah milik rakyat Kepri, bukan untuk diprivatisasi,” tutup Hajarullah Aswad dalam pernyataan sikap yang dirilis FPI Kepri.  Dengan demikian, polemik Gurindam 12 masih terus bergulir. Penundaan aksi pada 24 September dipandang sebagai langkah strategis sekaligus penghormatan terhadap sejarah lahirnya Provinsi Kepri. Namun, tekanan rakyat terhadap kebijakan privatisasi Gurindam 12 diyakini akan semakin menguat hingga tuntutan utama mereka benar-benar diwujudkan.
Tanjungpinang  

FPI Kepri: Tunda Aksi 24 September, Perlawanan Terhadap Privatisasi Gurindam 12 Tetap Menyala Tanjungpinang – Forum Peduli Ibukota (FPI) Kepulauan Riau menegaskan sikapnya terkait polemik privatisasi Kawasan Gurindam 12. Melalui rapat konsolidasi yang digelar pada Selasa, 23 September 2025, pukul 16.00 hingga 17.30 WIB, FPI Kepri memutuskan untuk menunda aksi unjuk rasa yang semula direncanakan berlangsung pada Rabu, 24 September 2025. Keputusan penundaan ini, ditegaskan Koordinator Aksi Hajarullah Aswad, bukanlah bentuk pelemahan apalagi kemunduran dari gerakan rakyat. Penundaan dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Hari Jadi Provinsi Kepulauan Riau yang jatuh pada 24 September. Bagi masyarakat Kepri, tanggal tersebut adalah momentum sakral yang menandai lahirnya provinsi ini setelah melalui perjuangan panjang para pejuang daerah. FPI Kepri menilai, menjaga kehormatan perjuangan para pendahulu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semangat perlawanan hari ini. “Kami memilih menahan diri dari aksi jalanan pada tanggal 24 September, bukan karena api perlawanan meredup, melainkan karena kami ingin menghormati para pejuang yang telah melahirkan Provinsi Kepri. Api perlawanan itu tetap menyala di dada rakyat,” tegas Hajarullah Aswad. Meski aksi ditunda, FPI Kepri menegaskan konsistensi sikap dalam menolak kebijakan privatisasi Gurindam 12. Kawasan ikonik yang berdiri di tepi laut Tanjungpinang itu dipandang sebagai ruang publik, identitas sejarah, sekaligus simbol kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau. Karena itu, FPI menolak keras jika Gurindam 12 diperdagangkan atau dialihkan menjadi proyek bisnis yang hanya menguntungkan segelintir elit. Sebagai tindak lanjut, FPI Kepri mengumumkan rencana aksi besar yang akan digelar pada Rabu, 8 Oktober 2025. Aksi tersebut direncanakan berlangsung pukul 10.00 WIB di Kantor Gubernur Kepulauan Riau dengan perkiraan kekuatan massa mencapai 2.000 orang. Namun demikian, FPI Kepri menegaskan bahwa mobilisasi besar-besaran itu tidak akan dilakukan apabila sebelum tanggal tersebut Gubernur Kepulauan Riau secara resmi membatalkan kebijakan privatisasi Gurindam 12. “Menunda aksi bukan berarti mundur. Menunda aksi adalah strategi menuju kemenangan. Kami tetap teguh, Gurindam 12 adalah milik rakyat Kepri, bukan untuk diprivatisasi,” tutup Hajarullah Aswad dalam pernyataan sikap yang dirilis FPI Kepri. Dengan demikian, polemik Gurindam 12 masih terus bergulir. Penundaan aksi pada 24 September dipandang sebagai langkah strategis sekaligus penghormatan terhadap sejarah lahirnya Provinsi Kepri. Namun, tekanan rakyat terhadap kebijakan privatisasi Gurindam 12 diyakini akan semakin menguat hingga tuntutan utama mereka benar-benar diwujudkan.

  sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Forum Peduli Ibukota (FPI) Kepulauan Riau menegaskan sikapnya terkait polemik privatisasi Kawasan Gurindam…

Tidak Ada Postingan Lagi.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.