sidikfokusnews.com-Jakarta.— Lembaga Indonesia Law Enforcement (ILE), sebuah organisasi independen yang terdaftar di perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kawasan Asia Tenggara, mengeluarkan peringatan keras terhadap menguatnya praktik mafia tanah di Indonesia, khususnya di wilayah Batam. Dalam kajiannya, ILE menilai bahwa bila dibiarkan tanpa intervensi negara, mafia tanah di Batam akan berkembang menjadi pengendali ekonomi informal yang memonopoli ruang hidup dan masa depan pulau industri strategis tersebut.
“Benar, ILE telah melakukan kajian terhadap penguasaan tanah di sejumlah wilayah di Indonesia, dan Batam berada di zona merah. Penguasaan tanah di sana dikendalikan oleh konsorsium yang beroperasi seperti kartel. Jika hal ini terus dibiarkan, mereka akan menjadi pengendali ekonomi informal di masa depan,” ujar Direktur Eksekutif ILE, Raza S. Hasibuan, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (10/11).
Menurut Raza, sistem pengelolaan lahan di Batam yang seluruhnya berada di bawah kewenangan Badan Pengusahaan (BP) Batam membuka ruang yang lebar bagi penyalahgunaan wewenang. Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, konsorsium tertentu dapat memperoleh alokasi lahan strategis secara berulang-ulang melalui anak perusahaan, bahkan mencapai ribuan hektar.
“Satu orang bisa menguasai ratusan bahkan ribuan hektar tanah melalui puluhan perusahaan cangkang. Kasus bekas Hotel Purajaya hanyalah contoh kecil. Perusahaan penerima alokasi lahan itu juga menguasai lahan lain di berbagai titik strategis di Batam. Ini bahaya besar,” tegasnya.
ILE menyerukan langkah-langkah konkret untuk menertibkan tata kelola pertanahan di Batam, dimulai dari audit menyeluruh terhadap penerbitan Surat Keputusan (SK) alokasi lahan oleh BP Batam. Audit ini harus mencakup penelusuran terhadap pengalihan hak, perubahan nama penerima, serta indikasi spekulasi atau penyalahgunaan izin.
“Kalau ditemukan penyalahgunaan kewenangan, harus diajukan pembatalan alokasi melalui Presiden RI. Karena BP Batam punya status hukum dan regulasi yang sangat kuat, bahkan melampaui kementerian. Maka, satu-satunya otoritas yang dapat menindaknya secara sah hanyalah Presiden,” jelas Raza.
ILE juga menyoroti banyaknya laporan dan gugatan yang telah diserahkan ke aparat penegak hukum — mulai dari Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga Kepolisian RI. Laporan-laporan itu umumnya menyangkut gratifikasi, suap dalam proses alokasi lahan, serta dugaan penyalahgunaan kewenangan yang melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Selain itu, terdapat indikasi pelanggaran pidana lain seperti pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP), penyerobotan tanah (Pasal 385 KUHP), serta persekongkolan jahat (Pasal 55–56 KUHP).
“Jika terbukti ada keuntungan tidak sah dari praktik spekulatif, aset-aset tersebut dapat disita berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penegak hukum seharusnya bisa bergerak untuk melakukan perampasan aset hasil spekulasi,” tegas Raza.
ILE juga tidak menepis adanya indikasi keterlibatan PT Pasifik Group, yang disebut menguasai lebih dari 1.000 hektar lahan di Batam melalui jaringan anak perusahaan. Sebagian besar lahan tersebut, kata Raza, tidak dikelola sesuai peruntukan dan hanya dijadikan aset spekulatif untuk kepentingan bisnis jangka panjang.
“Kalau praktik ini tidak dihentikan, mereka akan menjadi kekuatan ekonomi paralel yang tak tersentuh hukum. Ini bukan sekadar masalah hukum, tapi kombinasi antara hukum, politik, dan sosial, karena mereka sering kali beroperasi di bawah perlindungan kekuasaan,” pungkasnya.
Di sisi lain, perdebatan mengenai penguasaan lahan di Batam juga menyentuh dimensi historis dan kultural. Sejumlah kelompok adat menuding bahwa sebagian dari lahan yang kini dikuasai korporasi besar merupakan tanah ulayat, yaitu tanah komunal yang diwariskan oleh masyarakat adat dan dilindungi secara moral maupun hukum adat Melayu.
Juru Bicara Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga (LAKRL), Said Ubaydillah, menyebut bahwa sekitar 1.200 hektar lahan yang kini dikuasai PT Pasifik Group merupakan tanah ulayat yang secara historis termasuk dalam wilayah Kesultanan Riau Lingga.
“Kami dari Kesultanan Riau Lingga sudah meminta waktu ke Istana untuk menyampaikan langsung keluhan masyarakat adat di Batam, Rempang, dan Galang. Tanah-tanah di Barelang bukan tanah kosong tanpa pemilik. Ada pemangku adat yang sah dan hidup di tengah masyarakat hingga hari ini,” ujar Said.
Menurutnya, dokumen lama seperti Grand Sultan yang terbit pada masa Kesultanan Riau Lingga menjadi bukti sah secara adat bahwa tanah-tanah tersebut adalah bagian dari warisan leluhur yang tidak pernah dibatalkan.
“Masyarakat adat tidak akan memperjualbelikan tanahnya. Mereka mendukung pembangunan, asalkan tidak digusur dari tanah yang diwariskan turun-temurun. Tanah ulayat itu simbol kehormatan dan eksistensi, bukan komoditas ekonomi,” tambah Said.
Struktur pemerintahan adat di wilayah eks-Kesultanan Riau Lingga pun masih hidup dan diakui masyarakat. Pemimpin adat setingkat kabupaten disebut Orang Kaya, setingkat kecamatan disebut Bathin, dan setingkat desa atau kelurahan disebut Penghulu. “Struktur itu masih berfungsi dan menjadi pengikat sosial di tengah arus industrialisasi Batam,” jelas Said.
Batam, yang sejak awal dibangun sebagai kawasan industri dan perdagangan bebas, kini dihadapkan pada dilema serius: antara mendorong investasi dan menjaga keadilan sosial. Penguasaan tanah yang terkonsentrasi di tangan segelintir konsorsium membuat sebagian masyarakat lokal hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
Peringatan ILE menjadi alarm bagi pemerintah pusat agar segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola tanah di Batam — bukan semata untuk membongkar jaringan mafia tanah, tetapi juga untuk mengembalikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Jika tidak, Pulau Batam berpotensi menjadi laboratorium ketimpangan baru di wilayah perbatasan: modern di permukaan, tetapi rapuh di akar.
arf-6

















