sidikfokusnews.com – Batam — Perjalanan hidup Helmi Wardi menjadi bukti bahwa ketekunan, keberanian memulai, dan niat baik untuk membuka lapangan pekerjaan dapat mengantarkan seseorang pada kesuksesan. Berawal dari seorang koki yang merantau di Johor Baru, Malaysia, Helmi Wardi kini sukses membangun bisnis kuliner khas Minang di Kota Batam, Kepulauan Riau.
Sebelum memulai usaha sendiri, Helmi Wardi dikenal sebagai koki andalan di salah satu restoran Padang di Malaysia. Pengalaman tersebut ia jalani sejak tahun 2016. Bekerja di negeri orang tidak lantas membuatnya terlena. Justru dari pengalaman itulah ia memupuk semangat, memperkuat keterampilan memasak, dan menanamkan impian suatu hari kelak bisa membuka usaha sendiri di tanah air.
Tahun 2017 menjadi titik awal perubahan besar dalam hidupnya. Dengan tekad yang kuat, ia memulai langkah kecil dengan mendirikan usaha Sate Padang yang berlokasi di kawasan Pemda 1, Batuaji, Batam. Meskipun usaha tersebut tergolong sederhana di awal, namun berkat cita rasa khas yang autentik dan kualitas bahan yang selalu terjaga, sate padang racikan Helmi perlahan mulai dikenal masyarakat setempat.
Seiring waktu, Helmi tak hanya berpuas diri dengan satu gerai kecil. Beberapa tahun kemudian, ia berhasil mengembangkan usahanya dengan mendirikan sebuah Rumah Makan yang lebih representatif di kawasan Komplek SP Sagulung, Batam. Di tempat inilah ia menyajikan beragam kuliner khas Minang yang lezat, mulai dari sate padang, gulai tunjang, rendang, hingga aneka masakan rumah yang menggugah selera.
Tak berhenti di situ, melihat animo masyarakat Batam yang semakin tinggi terhadap cita rasa masakan Minang yang ia sajikan, Helmi Wardi kembali melebarkan sayap usahanya dengan membuka cabang baru di kawasan Baloi, Lubuk Baja, Batam. Cabang baru ini diharapkan dapat lebih memudahkan masyarakat, khususnya yang berada di pusat kota, untuk menikmati hidangan khas Minang tanpa harus jauh-jauh ke Batuaji atau Sagulung.
Bagi Helmi, membangun usaha bukan semata soal keuntungan pribadi. Ia mengaku, salah satu motivasi terbesar mendirikan rumah makan ini adalah untuk membuka peluang kerja bagi orang-orang yang membutuhkan. Ia ingin kehadiran rumah makan ini tak hanya memberi manfaat bagi dirinya dan keluarganya, tapi juga memberikan penghidupan bagi banyak orang, terutama masyarakat lokal yang membutuhkan pekerjaan.
“Saya memulai usaha ini dengan harapan bisa membantu membuka lapangan pekerjaan. Kita tahu banyak orang butuh kerja, dan saya ingin berbagi rezeki dengan mereka melalui usaha ini,” ungkap Helmi.
Kini, Rumah Makan Sahat yang ia kelola dikenal luas oleh masyarakat Batam, khususnya di kawasan SP Sagulung dan Baloi Lubuk Baja. Dengan tetap mengedepankan prinsip rasa, kualitas, dan pelayanan yang ramah, Helmi optimistis usahanya akan terus berkembang dan mendapat tempat di hati pecinta kuliner khas Minang.
Helmi Wardi juga mengajak masyarakat Kota Batam untuk tak ragu mencicipi kuliner di Rumah Makan Sahat. Ia menjamin semua menu yang disajikan dibuat dengan bahan-bahan berkualitas, higienis, dan tentunya bergizi.
“Kalau ingin menikmati makanan yang enak, sehat, dan bergizi, datanglah ke Rumah Makan Sahat, baik di SP Sagulung maupun Baloi Lubuk Baja. Kami selalu berkomitmen memberikan yang terbaik bagi pelanggan,” tutup Helmi penuh semangat.”(Nursalim Tinggi).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 73