Batam, kota strategis di gerbang perbatasan Indonesia, adalah simbol indah dari persatuan dalam keberagaman. Di pulau ini, suku Melayu, Jawa, Batak, Minang, Bugis, Tionghoa, dan etnis lainnya hidup berdampingan—saling menghormati, saling menguatkan, dan bersama-sama menata masa depan.
Moderasi Beragama di Batam bukanlah soal mengubah keyakinan, melainkan tentang bagaimana memegang teguh iman sambil tetap menghargai perbedaan. Ia adalah jalan tengah yang menyatukan, bukan memisahkan. Dalam keragaman yang riuh, moderasi menjadi kekuatan pemersatu, menjadikan perbedaan sebagai potensi, bukan ancaman.
Cita-cita luhur ini selaras dengan visi besar bangsa Indonesia yang digerakkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia melalui penguatan Kerukunan Umat Beragama (KUB). Di Batam, peran ini diemban secara nyata oleh Kantor Kementerian Agama Kota Batam di bawah kepemimpinan KH. Budi Dermawan, S.Ag., M.Sy. Melalui pembinaan keagamaan, dialog lintas iman, pendampingan rumah ibadah, hingga penguatan nilai-nilai toleransi di masyarakat, moderasi dijalankan bukan hanya sebagai kebijakan, tetapi sebagai praktik hidup sehari-hari.
Nilai-nilai Islam wasathiyah seperti tawassuth (bersikap tengah), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan) menjadi fondasi hidup bersama. Nilai-nilai ini menjadi pilar dalam membangun Batam sebagai ruang hidup yang damai dan setara untuk semua.
Dari lorong kampung tua hingga gedung pencakar langit di pusat kota, dari pesisir Barelang hingga garis perbatasan Nongsa yang menghadap Singapura, Batam menyuarakan pesan kuat kepada dunia: Kami berbeda, tetapi tetap satu. Kami beragam, namun tetap sejalan.
Inilah Batam—Kota Moderasi, laboratorium kerukunan, mercusuar toleransi, dan rumah besar bagi semua yang mendambakan kehidupan yang damai. Di sini, moderasi bukan sekadar konsep. Ia adalah cahaya yang menuntun, kehangatan yang menyelimuti, dan janji yang terus dijaga untuk generasi masa depan.(Nursalim Turatea)
