Oleh: Edi Susanto (Edi Cindai), Penggiat Anti Korupsi, Pemerhati Lingkungan, Ketua Umum CINDAI Kepri | Opini
sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Putusan majelis hakim terhadap terdakwa kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, menorehkan catatan tak biasa. Hakim menilai kecenderungan Tom yang mengedepankan sistem ekonomi kapitalis menjadi salah satu hal yang memberatkan vonis.
Indonesia sejatinya menganut sistem ekonomi Pancasila yang mengutamakan keadilan sosial. Namun, belakangan publik menyoroti apakah pola ekonomi kapitalis juga terjadi di daerah, khususnya dalam kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Sorotan tertuju pada langkah Pemprov Kepri yang melalui panitia pemilihan kerja sama pemanfaatan barang milik daerah (BMD) melelang pengelolaan tanah dan fasilitas kawasan Gurindam 12, Tanjungpinang, untuk jangka waktu 30 tahun. Lelang yang dibuka sejak 28 Agustus 2025 hingga 15 September 2025 itu dinilai berpotensi mengalihkan ruang publik menjadi zona bisnis yang dikuasai pemodal besar.
Taman Gurindam 12 selama ini dikenal sebagai ruang rekreasi warga sekaligus tempat tumbuhnya pedagang kecil dan UMKM. Bagi mereka, kawasan itu bukan sumber kekayaan, melainkan sekadar ladang rezeki untuk menyambung hidup. Namun dengan sistem lelang jangka panjang, publik khawatir para pedagang kecil justru akan tergusur oleh pengelola besar yang berorientasi profit.
Pakar dan pegiat lingkungan menilai langkah Pemprov Kepri berpotensi mengarah pada praktik kapitalisasi ruang publik. Kawasan Gurindam 12 sendiri berdiri di atas lahan reklamasi pesisir, yang semestinya tunduk pada ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pertanyaan pun muncul: apakah seluruh proses izin lingkungan, AMDAL, hingga izin lokasi dan pengelolaan sudah ditempuh secara transparan?
Selain itu, prinsip UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa ruang publik tidak boleh dikomersialisasi secara berlebihan. Jika akses masyarakat berkurang dan digantikan kepentingan bisnis, maka pemerintah daerah dianggap gagal menjalankan fungsi pengayomannya.
Proyek Gurindam 12 sejak awal memang bukan proyek kecil. Dibangun sejak era Gubernur Nurdin Basirun dan dilanjutkan pemerintahan berikutnya, total anggarannya menelan lebih dari Rp 500 miliar dari APBD Kepri. Dengan angka sebesar itu, publik berhak mengetahui transparansi penggunaan anggaran, kontraktor pelaksana, hingga evaluasi manfaatnya.
Pertanyaan yang belum terjawab: berapa persen ruang usaha akan benar-benar dialokasikan untuk UMKM lokal? Apakah ada program kompensasi bagi nelayan yang terdampak reklamasi? Dan apakah distribusi manfaatnya adil bagi masyarakat pesisir?
Tanpa jawaban yang jelas, publik wajar menyamakan pola lelang pengelolaan Gurindam 12 dengan wajah lain dari sistem ekonomi kapitalis. Jika di tingkat pusat Tom Lembong disorot karena kapitalisme, maka di tingkat daerah sorotan kini tertuju pada Gubernur Kepri Ansar Ahmad.
Bagi masyarakat, pembangunan Gurindam 12 seharusnya menjadi simbol kebanggaan. Namun jika pada akhirnya hanya memperkaya investor dan elit politik, kawasan itu bisa tercatat sebagai bukti kapitalisasi ruang publik di daerah.
Kini publik menunggu, apakah Gubernur Kepri berani membuktikan lelang Gurindam 12 benar-benar berpihak pada rakyat kecil, atau justru membiarkan dirinya dicap sebagai tokoh kapitalis di level lokal.”redaksiSF
Berita Terkait
Pelantikan Direksi–Komisaris PT Energi Kepri: Antara Harapan Besar dan Tanda Tanya Kesiapan sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.— Gubernur Kepulauan Riau, H. Ansar Ahmad, resmi melantik jajaran Direksi dan Komisaris dua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yakni PT Energi Kepri (Perseroda) dan PT Pembangunan Kepri (Perseroda) di Gedung Daerah, Rabu (20/8/2025) malam. Berikut nama-nama pejabat yang dilantik: PT Energi Kepri (Perseroda): Dr. Aries Fhariandi, S.Sos., M.Si – Komisaris Juanda, S.Mn., M.M – Komisaris Sri Yunihastuti, S.T., M.M – Direktur Utama Ir. Fauzun Atabiq – Direktur Operasional Afrizal Berry – Direktur Umum/Keuangan PT Pembangunan Kepri (Perseroda): Hendri Kurniadi, S.STP., M.Si – Komisaris Dalam sambutannya, Ansar menekankan peran strategis BUMD sebagai instrumen pembangunan ekonomi daerah sekaligus motor penggerak pertumbuhan. “Kalau dikelola inovatif, hasilnya akan langsung dirasakan masyarakat Kepri. BUMD juga harus memberi kontribusi nyata pada Pendapatan Asli Daerah (PAD),” tegasnya. Namun, di balik seremoni pelantikan ini, muncul sejumlah pertanyaan mendasar terkait kelembagaan maupun kapasitas figur-figur yang duduk di kursi strategis. Chaidarrahmat, mengingatkan bahwa pembentukan PT Energi Kepri memiliki tujuan utama yang sangat spesifik, yakni untuk mengelola hak Participating Interest (PI) 10% migas di wilayah kerja (WK) yang berada di perairan Kepri. “Ini bukan BUMD biasa. Ia dibentuk sebagai vehicle khusus agar daerah bisa menerima manfaat langsung dari PI 10% hasil divestasi kontraktor migas yang beroperasi di Kepri. Tujuan primernya jelas: mengelola hak PI, sementara tujuan sekundernya baru disiapkan ke depan untuk merambah bisnis sektor hilir migas,” jelasnya. Namun menurutnya, sejak April 2025 lalu, PT Pembangunan Kepri selaku holding telah menandatangani pengalihan PI 10% Northwest Natuna (PT PK NWN) dari operator Prima Energy Northwest Natuna Pte. Ltd. (PENN). Proses ini sudah berjalan lebih dari empat bulan, melewati tenggat 60 hari yang diberikan SKK Migas untuk mengajukan kualifikasi teknis. “Artinya, Kepri sudah terlambat dalam mengimplementasikan hak PI itu. Sekalipun ada perpanjangan waktu hingga April 2026, pertanyaannya: apakah PT Energi Kepri mampu memenuhi persyaratan teknis dalam tempo singkat ini? Kalau gagal, peluang emas itu bisa hilang,” katanya. Chaidarrahmat menambahkan, opsi lain adalah mengejar hak PI di blok migas lain di Natuna–Anambas. Namun, ia mempertanyakan kepastian dan potensi ekonominya dibandingkan Northwest Natuna yang sudah ada di depan mata. Figur-figur Baru, Apakah Tepat Sasaran? Selain masalah kelembagaan, sorotan juga tertuju pada figur-figur yang baru dilantik. Menurut sejumlah pengamat, mayoritas tidak memiliki latar belakang profesional di sektor migas maupun rekam jejak sebagai pebisnis kelas korporasi energi. “Memang sudah dilakukan fit and proper test, tapi itu tidak otomatis menjamin kapasitas manajerial mereka mumpuni untuk menghadapi kompleksitas bisnis migas. Padahal, industri ini sangat padat modal, berisiko tinggi, dan penuh regulasi teknis,” ujar Chaidarrahmat. Ia menilai tantangan ke depan bukan sekadar menjaga operasional perusahaan, melainkan membuktikan bahwa BUMD ini bisa menghasilkan dividen signifikan untuk mendukung PAD Kepri. Hal ini menjadi penting di tengah kondisi APBD yang tengah mengalami defisit dan kesulitan menjaga kapasitas fiskal. “Kalau manajemen BUMD hanya diisi figur-figur yang minim pengalaman teknis, dikhawatirkan perusahaan ini malah menjadi beban, bukan instrumen solusi fiskal. Padahal, ekspektasi publik adalah PT Energi Kepri bisa memberi nilai tambah nyata untuk daerah,” tambahnya. Keberadaan PT Energi Kepri ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membawa harapan besar: menjadi pintu masuk bagi Kepri mengelola langsung kekayaan migas di lautnya sendiri. Tetapi di sisi lain, ada tanda tanya besar soal keterlambatan prosedural, kesiapan teknis, dan kapasitas sumber daya manusia yang akan mengelolanya. “Kalau tidak segera dibenahi, risiko kehilangan momentum sangat nyata. Padahal ini menyangkut masa depan fiskal Kepri, kemandirian energi, dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Chaidarrahmat.”(arf-6)
Post Views: 111