banner 728x250

Hakim Sematkan Ekonomi Kapitalis pada Tom Lembong, Publik Pertanyakan Kebijakan Gubernur Kepri

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Edi Susanto (Edi Cindai), Penggiat Anti Korupsi, Pemerhati Lingkungan, Ketua Umum CINDAI Kepri | Opini

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Putusan majelis hakim terhadap terdakwa kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, menorehkan catatan tak biasa. Hakim menilai kecenderungan Tom yang mengedepankan sistem ekonomi kapitalis menjadi salah satu hal yang memberatkan vonis.

banner 325x300

Indonesia sejatinya menganut sistem ekonomi Pancasila yang mengutamakan keadilan sosial. Namun, belakangan publik menyoroti apakah pola ekonomi kapitalis juga terjadi di daerah, khususnya dalam kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Sorotan tertuju pada langkah Pemprov Kepri yang melalui panitia pemilihan kerja sama pemanfaatan barang milik daerah (BMD) melelang pengelolaan tanah dan fasilitas kawasan Gurindam 12, Tanjungpinang, untuk jangka waktu 30 tahun. Lelang yang dibuka sejak 28 Agustus 2025 hingga 15 September 2025 itu dinilai berpotensi mengalihkan ruang publik menjadi zona bisnis yang dikuasai pemodal besar.

Taman Gurindam 12 selama ini dikenal sebagai ruang rekreasi warga sekaligus tempat tumbuhnya pedagang kecil dan UMKM. Bagi mereka, kawasan itu bukan sumber kekayaan, melainkan sekadar ladang rezeki untuk menyambung hidup. Namun dengan sistem lelang jangka panjang, publik khawatir para pedagang kecil justru akan tergusur oleh pengelola besar yang berorientasi profit.

Pakar dan pegiat lingkungan menilai langkah Pemprov Kepri berpotensi mengarah pada praktik kapitalisasi ruang publik. Kawasan Gurindam 12 sendiri berdiri di atas lahan reklamasi pesisir, yang semestinya tunduk pada ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pertanyaan pun muncul: apakah seluruh proses izin lingkungan, AMDAL, hingga izin lokasi dan pengelolaan sudah ditempuh secara transparan?

Selain itu, prinsip UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa ruang publik tidak boleh dikomersialisasi secara berlebihan. Jika akses masyarakat berkurang dan digantikan kepentingan bisnis, maka pemerintah daerah dianggap gagal menjalankan fungsi pengayomannya.

Proyek Gurindam 12 sejak awal memang bukan proyek kecil. Dibangun sejak era Gubernur Nurdin Basirun dan dilanjutkan pemerintahan berikutnya, total anggarannya menelan lebih dari Rp 500 miliar dari APBD Kepri. Dengan angka sebesar itu, publik berhak mengetahui transparansi penggunaan anggaran, kontraktor pelaksana, hingga evaluasi manfaatnya.

Pertanyaan yang belum terjawab: berapa persen ruang usaha akan benar-benar dialokasikan untuk UMKM lokal? Apakah ada program kompensasi bagi nelayan yang terdampak reklamasi? Dan apakah distribusi manfaatnya adil bagi masyarakat pesisir?

Tanpa jawaban yang jelas, publik wajar menyamakan pola lelang pengelolaan Gurindam 12 dengan wajah lain dari sistem ekonomi kapitalis. Jika di tingkat pusat Tom Lembong disorot karena kapitalisme, maka di tingkat daerah sorotan kini tertuju pada Gubernur Kepri Ansar Ahmad.

Bagi masyarakat, pembangunan Gurindam 12 seharusnya menjadi simbol kebanggaan. Namun jika pada akhirnya hanya memperkaya investor dan elit politik, kawasan itu bisa tercatat sebagai bukti kapitalisasi ruang publik di daerah.

Kini publik menunggu, apakah Gubernur Kepri berani membuktikan lelang Gurindam 12 benar-benar berpihak pada rakyat kecil, atau justru membiarkan dirinya dicap sebagai tokoh kapitalis di level lokal.”redaksiSF

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *