Oleh: Dato’ Huzrin Hood
(Tokoh Pejuang Lahirnya Provinsi Kepulauan Riau)
Sebagai salah satu yang ikut memperjuangkan lahirnya Provinsi Kepulauan Riau, saya merasa memiliki beban moral untuk terus mengawal hak-hak daerah ini. Salah satu isu penting yang sejak lama menjadi perhatian adalah pungutan jasa labuh—kompensasi atas pemanfaatan ruang laut 0–12 mil yang seharusnya menjadi hak daerah.
Sejarah dan Akar Masalah
Sejak tahun 2015, ketika PT Pelindo menghentikan pungutan jasa labuh di wilayah laut Kepri, persoalan ini bergulir tanpa kepastian. Pemerintah Provinsi Kepri kemudian berupaya mengambil alih dengan dasar hukum yang jelas. Bahkan pada 2017 telah diterbitkan Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang Retribusi Daerah, yang menjadi landasan pemungutan jasa labuh.
Dalam APBD 2021, target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini dipatok sebesar Rp200 miliar. Angka ini bukan sekadar proyeksi, melainkan potensi nyata yang dapat menopang pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, hingga kini realisasi pungutan tetap tersendat karena klaim tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah.
Kementerian Perhubungan melalui Pelindo bersikukuh menyatakan jasa labuh sebagai kewenangan pusat. Padahal, berbagai lembaga negara justru memperkuat posisi hukum Pemprov Kepri. Kejaksaan Tinggi, Ombudsman, BPKP, hingga BPK RI telah menegaskan: pengelolaan ruang laut 0–12 mil merupakan kewenangan pemerintah provinsi.
Kesepakatan yang Terabaikan
Pada 2018, sidang non-litigasi di Kementerian Hukum dan HAM RI menghasilkan kesepakatan penting:
1. Jasa labuh daerah adalah jasa penggunaan ruang laut atau parkir kapal.
2. Jasa labuh pusat adalah kompensasi pemanfaatan alur pelayaran.
3. Wilayah 0–12 mil laut merupakan hak pengelolaan pemerintah provinsi
Kesepakatan ini seharusnya menjadi titik terang penyelesaian. Namun faktanya, pelaksanaan pungutan di tingkat daerah tetap mandek. Alhasil, potensi ratusan miliar rupiah PAD yang semestinya masuk ke kas daerah hilang begitu saja—seperti lenyap di laut lepas.
Soal Keadilan, Bukan Sekadar Regulasi
Masalah ini sejatinya bukan sekadar teknis regulasi. Ini adalah persoalan keadilan. Daerah yang memiliki laut, yang menanggung dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat lalu lintas kapal internasional, justru tidak merasakan manfaat finansial yang layak.
Jika jasa labuh kembali dipungut oleh daerah, itu berarti kita membuka ruang bagi kemandirian pembangunan. Kepri bisa membiayai program prioritas tanpa terlalu menggantungkan diri pada transfer pusat. Inilah esensi semangat awal pembentukan Provinsi Kepulauan Riau: memperjuangkan keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan rakyat pesisir.
Provinsi ini lahir dari keringat dan air mata perjuangan rakyat. Jangan sampai hak-hak daerah yang sudah jelas dasar hukumnya justru dibiarkan hilang hanya karena tarik-menarik birokrasi.
Tanggung Jawab Sejarah
Saya ingin mengingatkan: jika hak jasa labuh ini tidak diperjuangkan, maka anak cucu kita yang akan menanggung akibatnya. Mereka akan bertanya, “Mengapa laut yang kaya raya ini hanya dimanfaatkan orang luar, sementara rakyat Kepri tidak mendapat bagian yang adil?”
Itulah tanggung jawab sejarah yang saya rasakan. Hak daerah harus diperjuangkan. Jangan sampai tenggelam dalam birokrasi atau kepentingan sesaat.
Ajakan Bersatu
Saya percaya, jika seluruh elemen—pemerintah provinsi, DPRD, tokoh masyarakat, akademisi, dan rakyat—bersatu, maka hak jasa labuh ini bisa kembali ditegakkan.
Momentum ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa Provinsi Kepulauan Riau bukan sekadar nama di peta, melainkan daerah yang berdaulat mengelola sumber daya sendiri demi kesejahteraan rakyatnya.
✒️ Dato’ Huzrin Hood
Tokoh Pejuang Lahirnya Provinsi Kepulauan Riau
Berita Terkait
Pelantikan Direksi–Komisaris PT Energi Kepri: Antara Harapan Besar dan Tanda Tanya Kesiapan sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.— Gubernur Kepulauan Riau, H. Ansar Ahmad, resmi melantik jajaran Direksi dan Komisaris dua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yakni PT Energi Kepri (Perseroda) dan PT Pembangunan Kepri (Perseroda) di Gedung Daerah, Rabu (20/8/2025) malam. Berikut nama-nama pejabat yang dilantik: PT Energi Kepri (Perseroda): Dr. Aries Fhariandi, S.Sos., M.Si – Komisaris Juanda, S.Mn., M.M – Komisaris Sri Yunihastuti, S.T., M.M – Direktur Utama Ir. Fauzun Atabiq – Direktur Operasional Afrizal Berry – Direktur Umum/Keuangan PT Pembangunan Kepri (Perseroda): Hendri Kurniadi, S.STP., M.Si – Komisaris Dalam sambutannya, Ansar menekankan peran strategis BUMD sebagai instrumen pembangunan ekonomi daerah sekaligus motor penggerak pertumbuhan. “Kalau dikelola inovatif, hasilnya akan langsung dirasakan masyarakat Kepri. BUMD juga harus memberi kontribusi nyata pada Pendapatan Asli Daerah (PAD),” tegasnya. Namun, di balik seremoni pelantikan ini, muncul sejumlah pertanyaan mendasar terkait kelembagaan maupun kapasitas figur-figur yang duduk di kursi strategis. Chaidarrahmat, mengingatkan bahwa pembentukan PT Energi Kepri memiliki tujuan utama yang sangat spesifik, yakni untuk mengelola hak Participating Interest (PI) 10% migas di wilayah kerja (WK) yang berada di perairan Kepri. “Ini bukan BUMD biasa. Ia dibentuk sebagai vehicle khusus agar daerah bisa menerima manfaat langsung dari PI 10% hasil divestasi kontraktor migas yang beroperasi di Kepri. Tujuan primernya jelas: mengelola hak PI, sementara tujuan sekundernya baru disiapkan ke depan untuk merambah bisnis sektor hilir migas,” jelasnya. Namun menurutnya, sejak April 2025 lalu, PT Pembangunan Kepri selaku holding telah menandatangani pengalihan PI 10% Northwest Natuna (PT PK NWN) dari operator Prima Energy Northwest Natuna Pte. Ltd. (PENN). Proses ini sudah berjalan lebih dari empat bulan, melewati tenggat 60 hari yang diberikan SKK Migas untuk mengajukan kualifikasi teknis. “Artinya, Kepri sudah terlambat dalam mengimplementasikan hak PI itu. Sekalipun ada perpanjangan waktu hingga April 2026, pertanyaannya: apakah PT Energi Kepri mampu memenuhi persyaratan teknis dalam tempo singkat ini? Kalau gagal, peluang emas itu bisa hilang,” katanya. Chaidarrahmat menambahkan, opsi lain adalah mengejar hak PI di blok migas lain di Natuna–Anambas. Namun, ia mempertanyakan kepastian dan potensi ekonominya dibandingkan Northwest Natuna yang sudah ada di depan mata. Figur-figur Baru, Apakah Tepat Sasaran? Selain masalah kelembagaan, sorotan juga tertuju pada figur-figur yang baru dilantik. Menurut sejumlah pengamat, mayoritas tidak memiliki latar belakang profesional di sektor migas maupun rekam jejak sebagai pebisnis kelas korporasi energi. “Memang sudah dilakukan fit and proper test, tapi itu tidak otomatis menjamin kapasitas manajerial mereka mumpuni untuk menghadapi kompleksitas bisnis migas. Padahal, industri ini sangat padat modal, berisiko tinggi, dan penuh regulasi teknis,” ujar Chaidarrahmat. Ia menilai tantangan ke depan bukan sekadar menjaga operasional perusahaan, melainkan membuktikan bahwa BUMD ini bisa menghasilkan dividen signifikan untuk mendukung PAD Kepri. Hal ini menjadi penting di tengah kondisi APBD yang tengah mengalami defisit dan kesulitan menjaga kapasitas fiskal. “Kalau manajemen BUMD hanya diisi figur-figur yang minim pengalaman teknis, dikhawatirkan perusahaan ini malah menjadi beban, bukan instrumen solusi fiskal. Padahal, ekspektasi publik adalah PT Energi Kepri bisa memberi nilai tambah nyata untuk daerah,” tambahnya. Keberadaan PT Energi Kepri ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membawa harapan besar: menjadi pintu masuk bagi Kepri mengelola langsung kekayaan migas di lautnya sendiri. Tetapi di sisi lain, ada tanda tanya besar soal keterlambatan prosedural, kesiapan teknis, dan kapasitas sumber daya manusia yang akan mengelolanya. “Kalau tidak segera dibenahi, risiko kehilangan momentum sangat nyata. Padahal ini menyangkut masa depan fiskal Kepri, kemandirian energi, dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Chaidarrahmat.”(arf-6)
Post Views: 34