banner 728x250

Hak Jasa Labuh adalah Hak Daerah, Jangan Hilang di Laut Lepas”

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Dato’ Huzrin Hood
(Tokoh Pejuang Lahirnya Provinsi Kepulauan Riau)

Sebagai salah satu yang ikut memperjuangkan lahirnya Provinsi Kepulauan Riau, saya merasa memiliki beban moral untuk terus mengawal hak-hak daerah ini. Salah satu isu penting yang sejak lama menjadi perhatian adalah pungutan jasa labuh—kompensasi atas pemanfaatan ruang laut 0–12 mil yang seharusnya menjadi hak daerah.

banner 325x300

Sejarah dan Akar Masalah

Sejak tahun 2015, ketika PT Pelindo menghentikan pungutan jasa labuh di wilayah laut Kepri, persoalan ini bergulir tanpa kepastian. Pemerintah Provinsi Kepri kemudian berupaya mengambil alih dengan dasar hukum yang jelas. Bahkan pada 2017 telah diterbitkan Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang Retribusi Daerah, yang menjadi landasan pemungutan jasa labuh.

Dalam APBD 2021, target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini dipatok sebesar Rp200 miliar. Angka ini bukan sekadar proyeksi, melainkan potensi nyata yang dapat menopang pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, hingga kini realisasi pungutan tetap tersendat karena klaim tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah.

Kementerian Perhubungan melalui Pelindo bersikukuh menyatakan jasa labuh sebagai kewenangan pusat. Padahal, berbagai lembaga negara justru memperkuat posisi hukum Pemprov Kepri. Kejaksaan Tinggi, Ombudsman, BPKP, hingga BPK RI telah menegaskan: pengelolaan ruang laut 0–12 mil merupakan kewenangan pemerintah provinsi.

Kesepakatan yang Terabaikan

Pada 2018, sidang non-litigasi di Kementerian Hukum dan HAM RI menghasilkan kesepakatan penting:

1. Jasa labuh daerah adalah jasa penggunaan ruang laut atau parkir kapal.

2. Jasa labuh pusat adalah kompensasi pemanfaatan alur pelayaran.

3. Wilayah 0–12 mil laut merupakan hak pengelolaan pemerintah provinsi

Kesepakatan ini seharusnya menjadi titik terang penyelesaian. Namun faktanya, pelaksanaan pungutan di tingkat daerah tetap mandek. Alhasil, potensi ratusan miliar rupiah PAD yang semestinya masuk ke kas daerah hilang begitu saja—seperti lenyap di laut lepas.

Soal Keadilan, Bukan Sekadar Regulasi

Masalah ini sejatinya bukan sekadar teknis regulasi. Ini adalah persoalan keadilan. Daerah yang memiliki laut, yang menanggung dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat lalu lintas kapal internasional, justru tidak merasakan manfaat finansial yang layak.

Jika jasa labuh kembali dipungut oleh daerah, itu berarti kita membuka ruang bagi kemandirian pembangunan. Kepri bisa membiayai program prioritas tanpa terlalu menggantungkan diri pada transfer pusat. Inilah esensi semangat awal pembentukan Provinsi Kepulauan Riau: memperjuangkan keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan rakyat pesisir.

Provinsi ini lahir dari keringat dan air mata perjuangan rakyat. Jangan sampai hak-hak daerah yang sudah jelas dasar hukumnya justru dibiarkan hilang hanya karena tarik-menarik birokrasi.

Tanggung Jawab Sejarah

Saya ingin mengingatkan: jika hak jasa labuh ini tidak diperjuangkan, maka anak cucu kita yang akan menanggung akibatnya. Mereka akan bertanya, “Mengapa laut yang kaya raya ini hanya dimanfaatkan orang luar, sementara rakyat Kepri tidak mendapat bagian yang adil?”

Itulah tanggung jawab sejarah yang saya rasakan. Hak daerah harus diperjuangkan. Jangan sampai tenggelam dalam birokrasi atau kepentingan sesaat.

Ajakan Bersatu

Saya percaya, jika seluruh elemen—pemerintah provinsi, DPRD, tokoh masyarakat, akademisi, dan rakyat—bersatu, maka hak jasa labuh ini bisa kembali ditegakkan.

Momentum ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa Provinsi Kepulauan Riau bukan sekadar nama di peta, melainkan daerah yang berdaulat mengelola sumber daya sendiri demi kesejahteraan rakyatnya.

✒️ Dato’ Huzrin Hood
Tokoh Pejuang Lahirnya Provinsi Kepulauan Riau

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *