Oleh: Andi Rio Framantdha
sidikfokusnews.com- Tanjungpinang- Kepulauan Riau.- Rencana Gubernur Kepulauan Riau melelang pengelolaan kawasan Gurindam 12 bukan sekadar kebijakan kontroversial, melainkan tamparan keras bagi nurani masyarakat. Langkah ini memunculkan pertanyaan fundamental: apakah pemerintah daerah benar-benar sedang menggadaikan marwah Melayu demi kepentingan ekonomi jangka pendek?
Gurindam 12 bukan tanah kosong yang bisa dipajang di meja lelang. Ia adalah simbol sejarah, identitas budaya, ruang ekonomi rakyat kecil, dan saksi hidup kearifan lokal. Ketika kawasan ini dijadikan objek kontrak bisnis, sesungguhnya kita sedang menyaksikan praktik privatisasi ruang publik yang terang-terangan bertolak belakang dengan amanat keadilan sosial.
Keputusan ini sejatinya adalah bentuk “pegadaian sosial”. Pedagang kecil, nelayan, hingga pelaku UKM yang selama ini berusaha di Gurindam 12 akan dipaksa tunduk kepada aturan korporasi pemenang tender. Suka atau tidak suka, mereka harus membayar agar bisa bertahan. Jika tidak, akses hidup mereka akan terputus. Inilah wajah telanjang dari pemiskinan struktural yang dibungkus dengan jargon pembangunan.
Bahaya terbesar dari kebijakan ini bukan sekadar soal uang, melainkan soal keterasingan rakyat di tanahnya sendiri. Gurindam 12 bisa berubah menjadi kawasan eksklusif, steril dari denyut rakyat kecil, dengan logika bisnis yang dingin dan kaku. Padahal, kawasan ini seharusnya dirancang sebagai ruang bersama: inklusif, terbuka, serta tempat di mana budaya dan ekonomi rakyat tumbuh berdampingan.
Yang lebih mengkhawatirkan, kebijakan sebesar ini mustahil lahir dari seorang gubernur semata. Ada bayang-bayang kepentingan yang mengintai. Wakil gubernur, Sekda, OPD, hingga pihak ketiga yang tak kasat mata sangat mungkin ikut bermain. Inilah wajah politik kekuasaan yang penuh transaksi: keputusan publik yang seharusnya lahir dari suara rakyat justru digiring oleh kepentingan segelintir orang.
Di titik inilah DPRD Provinsi Kepulauan Riau diuji. Apakah mereka akan berdiri tegak sebagai corong rakyat atau justru memilih diam dan menjadi stempel kebijakan? Diamnya DPRD sama artinya dengan pengkhianatan terhadap konstituen. DPRD harus lantang menolak lelang Gurindam 12 dan mendesak agar kawasan ini tetap dikelola secara publik, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil.
Lembaga adat Melayu, tokoh budaya, LSM, dan komunitas sipil pun tak boleh bungkam. Gurindam 12 bukan milik gubernur, bukan milik investor. Ia adalah warisan kolektif yang seharusnya dijaga bersama. Jika kebijakan lelang ini terus dipaksakan, maka pemerintah daerah akan tercatat dalam sejarah sebagai pihak yang menjual harga diri budayanya sendiri.
Menggadaikan Gurindam 12 sama artinya dengan melelang marwah Melayu. Ini bukan sekadar soal proyek, ini adalah persoalan martabat. Dan martabat tidak pernah bisa ditukar dengan angka dalam dokumen kontrak.
Sebaliknya, jika DPRD, lembaga adat, dan masyarakat sipil bersatu menolak, Gurindam 12 bisa kembali ke jalur yang benar: dikelola dengan regulasi yang tegas, tata ruang yang rapi, serta partisipasi rakyat yang nyata. Tidak lagi semrawut, tidak lagi amburadul, melainkan tertata sebagai ikon Kepulauan Riau yang hidup, berdenyut, dan menjadi ruang rezeki rakyat kecil.
Melelang Gurindam 12 adalah kesalahan fatal. Membatalkannya adalah tindakan berdaulat. Karena Gurindam 12 bukan barang dagangan. Ia adalah wajah, jiwa, dan masa depan Kepulauan Riau.”(timredaksiSF)
Berita Terkait
Pelantikan Direksi–Komisaris PT Energi Kepri: Antara Harapan Besar dan Tanda Tanya Kesiapan sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.— Gubernur Kepulauan Riau, H. Ansar Ahmad, resmi melantik jajaran Direksi dan Komisaris dua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yakni PT Energi Kepri (Perseroda) dan PT Pembangunan Kepri (Perseroda) di Gedung Daerah, Rabu (20/8/2025) malam. Berikut nama-nama pejabat yang dilantik: PT Energi Kepri (Perseroda): Dr. Aries Fhariandi, S.Sos., M.Si – Komisaris Juanda, S.Mn., M.M – Komisaris Sri Yunihastuti, S.T., M.M – Direktur Utama Ir. Fauzun Atabiq – Direktur Operasional Afrizal Berry – Direktur Umum/Keuangan PT Pembangunan Kepri (Perseroda): Hendri Kurniadi, S.STP., M.Si – Komisaris Dalam sambutannya, Ansar menekankan peran strategis BUMD sebagai instrumen pembangunan ekonomi daerah sekaligus motor penggerak pertumbuhan. “Kalau dikelola inovatif, hasilnya akan langsung dirasakan masyarakat Kepri. BUMD juga harus memberi kontribusi nyata pada Pendapatan Asli Daerah (PAD),” tegasnya. Namun, di balik seremoni pelantikan ini, muncul sejumlah pertanyaan mendasar terkait kelembagaan maupun kapasitas figur-figur yang duduk di kursi strategis. Chaidarrahmat, mengingatkan bahwa pembentukan PT Energi Kepri memiliki tujuan utama yang sangat spesifik, yakni untuk mengelola hak Participating Interest (PI) 10% migas di wilayah kerja (WK) yang berada di perairan Kepri. “Ini bukan BUMD biasa. Ia dibentuk sebagai vehicle khusus agar daerah bisa menerima manfaat langsung dari PI 10% hasil divestasi kontraktor migas yang beroperasi di Kepri. Tujuan primernya jelas: mengelola hak PI, sementara tujuan sekundernya baru disiapkan ke depan untuk merambah bisnis sektor hilir migas,” jelasnya. Namun menurutnya, sejak April 2025 lalu, PT Pembangunan Kepri selaku holding telah menandatangani pengalihan PI 10% Northwest Natuna (PT PK NWN) dari operator Prima Energy Northwest Natuna Pte. Ltd. (PENN). Proses ini sudah berjalan lebih dari empat bulan, melewati tenggat 60 hari yang diberikan SKK Migas untuk mengajukan kualifikasi teknis. “Artinya, Kepri sudah terlambat dalam mengimplementasikan hak PI itu. Sekalipun ada perpanjangan waktu hingga April 2026, pertanyaannya: apakah PT Energi Kepri mampu memenuhi persyaratan teknis dalam tempo singkat ini? Kalau gagal, peluang emas itu bisa hilang,” katanya. Chaidarrahmat menambahkan, opsi lain adalah mengejar hak PI di blok migas lain di Natuna–Anambas. Namun, ia mempertanyakan kepastian dan potensi ekonominya dibandingkan Northwest Natuna yang sudah ada di depan mata. Figur-figur Baru, Apakah Tepat Sasaran? Selain masalah kelembagaan, sorotan juga tertuju pada figur-figur yang baru dilantik. Menurut sejumlah pengamat, mayoritas tidak memiliki latar belakang profesional di sektor migas maupun rekam jejak sebagai pebisnis kelas korporasi energi. “Memang sudah dilakukan fit and proper test, tapi itu tidak otomatis menjamin kapasitas manajerial mereka mumpuni untuk menghadapi kompleksitas bisnis migas. Padahal, industri ini sangat padat modal, berisiko tinggi, dan penuh regulasi teknis,” ujar Chaidarrahmat. Ia menilai tantangan ke depan bukan sekadar menjaga operasional perusahaan, melainkan membuktikan bahwa BUMD ini bisa menghasilkan dividen signifikan untuk mendukung PAD Kepri. Hal ini menjadi penting di tengah kondisi APBD yang tengah mengalami defisit dan kesulitan menjaga kapasitas fiskal. “Kalau manajemen BUMD hanya diisi figur-figur yang minim pengalaman teknis, dikhawatirkan perusahaan ini malah menjadi beban, bukan instrumen solusi fiskal. Padahal, ekspektasi publik adalah PT Energi Kepri bisa memberi nilai tambah nyata untuk daerah,” tambahnya. Keberadaan PT Energi Kepri ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membawa harapan besar: menjadi pintu masuk bagi Kepri mengelola langsung kekayaan migas di lautnya sendiri. Tetapi di sisi lain, ada tanda tanya besar soal keterlambatan prosedural, kesiapan teknis, dan kapasitas sumber daya manusia yang akan mengelolanya. “Kalau tidak segera dibenahi, risiko kehilangan momentum sangat nyata. Padahal ini menyangkut masa depan fiskal Kepri, kemandirian energi, dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Chaidarrahmat.”(arf-6)
Post Views: 115