Tanjungpinang, sidikfokusnews.com.
Gerakan Bersama (GEBER) Tanjungpinang menyampaikan sikap kritis terhadap metode “jemput bola” yang diterapkan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelayanan Pendapatan Daerah (UPTD PPD) Samsat Tanjungpinang dalam menjaring wajib pajak kendaraan bermotor. Langkah yang dilakukan dengan menyasar ruang-ruang publik seperti pasar tradisional, pusat perbelanjaan, hingga area keramaian lainnya, dinilai perlu ditinjau ulang secara menyeluruh, baik dari aspek etika pelayanan maupun pendekatan sosial yang digunakan.
GEBER menyatakan bahwa di tengah tuntutan untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui sektor pajak, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai pelayanan publik yang humanis, berkeadilan, dan tidak menimbulkan tekanan psikologis pada masyarakat. Dalam siaran persnya, GEBER menekankan bahwa kehadiran petugas Samsat yang secara langsung menanyakan status pembayaran pajak di tempat umum berpotensi menimbulkan rasa malu, tekanan, dan bahkan stigma sosial terhadap warga yang belum atau tidak mampu membayar kewajibannya tepat waktu.
Lebih jauh, GEBER menyoroti bahwa pola komunikasi para petugas di lapangan masih jauh dari pendekatan persuasif. Alih-alih menyampaikan edukasi secara empatik dan terbuka, interaksi yang berlangsung kerap bersifat formal, kaku, dan dalam beberapa kasus dianggap intimidatif oleh sebagian masyarakat. Hal ini dinilai bertentangan dengan semangat pelayanan publik yang seharusnya membangun rasa percaya, memperkuat relasi warga dengan institusi negara, serta mendorong kesadaran kewajiban secara sukarela dan partisipatif.
“Banyak warga mengeluh merasa seperti sedang ditagih utang di tempat umum. Ada yang hanya datang ke pasar untuk belanja kebutuhan pokok, tiba-tiba ditanya soal STNK dan masa berlaku pajaknya. Ini bukan pendekatan edukatif, ini represif,” ujar salah satu juru bicara GEBER yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keamanan.
Kritik juga diarahkan pada minimnya inovasi insentif yang menyertai strategi jemput bola tersebut. Tidak ada penawaran berupa potongan denda, penghapusan bunga keterlambatan, atau fasilitasi cicilan bagi warga yang terdampak ekonomi. GEBER menyatakan bahwa pendekatan pelayanan yang ideal bukan sekadar soal menjangkau wajib pajak, tetapi juga soal memberikan solusi yang konkret dan berpihak pada kondisi riil masyarakat. Tanpa itu semua, kegiatan jemput bola hanya akan bertransformasi menjadi operasi penagihan yang kehilangan sentuhan kemanusiaannya.
GEBER juga menekankan pentingnya memahami latar belakang warga yang belum membayar pajak. Tidak semua keterlambatan dilandasi itikad buruk atau keengganan untuk patuh. Banyak kasus menunjukkan bahwa keterlambatan justru dipicu oleh kendala administratif seperti perpindahan domisili, kesalahan data kendaraan, hingga keterbatasan akses informasi soal prosedur dan kanal pembayaran. Di sisi lain, tekanan ekonomi pascapandemi, inflasi kebutuhan pokok, dan tingginya angka pengangguran juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan.
“Ketika negara hadir dengan pendekatan yang menghakimi, alih-alih memahami, maka kepercayaan masyarakat terhadap negara akan semakin menipis. Ini bukan hanya soal pajak, tapi soal relasi antara warga dan institusinya,” ujar GEBER dalam pernyataan tertulis.
Oleh karena itu, GEBER mendorong UPTD PPD Samsat Tanjungpinang untuk segera mengevaluasi pola jemput bola yang dilakukan di lapangan. Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengedepankan pendekatan digital dan partisipatif melalui penyuluhan berbasis komunitas, promosi pembayaran daring dengan insentif menarik, serta menyediakan fasilitas konsultasi yang ramah dan solutif di kelurahan-kelurahan.
Mereka juga mengajak pemerintah daerah untuk menjadikan layanan pajak kendaraan sebagai bagian dari ekosistem pelayanan publik yang adil dan inklusif, bukan sebagai ruang baru untuk praktik tekanan terhadap warga yang rentan. Dengan semangat kolaboratif dan empati, GEBER berharap ada perubahan paradigma dari pola “penagihan” menjadi pola “pelayanan dan pemberdayaan”.
Apa yang dikritisi oleh GEBER mencerminkan kebutuhan akan reformasi pendekatan birokrasi yang lebih berpihak pada warga. Pajak memang kewajiban, tapi cara negara mengajak warganya untuk patuh, tetap harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.