banner 728x250

GAMNR Desak LAM Hidupkan Musyawarah Adat Terbuka: Jangan Jadikan Budaya Alat Legitimasi Kekuasaan

banner 120x600
banner 468x60

 

Sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.– Gerakan Anak Melayu Negeri Riau (GAMNR) menyampaikan apresiasi terhadap upaya silaturahmi yang digagas Lembaga Adat Melayu (LAM) bersama Pelindo Tanjungpinang baru-baru ini, yang diberitakan sebagai bagian dari “penguatan sinergi” antara lembaga adat dan sektor usaha negara. Namun di balik semangat silaturahmi itu, GAMNR menekankan pentingnya keterbukaan informasi, partisipasi publik, serta kepekaan terhadap nasib rakyat Melayu pesisir sebagai inti dari setiap kerja sama yang melibatkan pihak luar.

banner 325x300

Dalam pernyataan terbuka yang disampaikan Ketua GAMNR Tanjungpinang, Said Ahmad Syukri, organisasi ini menilai bahwa langkah-langkah yang dilakukan LAM tidak boleh berhenti pada seremoni atau pertemuan tertutup yang luput dari ruang kritik dan aspirasi rakyat. “Silaturahmi yang tidak dibarengi transparansi dan keterlibatan publik berpotensi menimbulkan tanda tanya serta kegelisahan masyarakat,” ujarnya.

Said menegaskan bahwa budaya bukan alat tempel untuk melegitimasi proyek atau kepentingan sempit elite. “Budaya adalah ruh yang hidup bersama rakyat. Hulubalang harus menjadi jembatan antara adat dan zaman. Mari duduk bersama, kita hidupkan kembali musyawarah anak negeri,” serunya.

GAMNR secara resmi menyerukan kepada para Hulubalang LAM Tanjungpinang dan LAM Provinsi Kepulauan Riau agar segera menggagas pertemuan terbuka yang melibatkan seluruh organisasi masyarakat (ormas), komunitas pemuda, dan LSM Melayu yang aktif di Tanjungpinang dan wilayah Kepulauan Riau. Pertemuan ini dimaksudkan untuk membahas sejumlah isu strategis yang dianggap krusial bagi masa depan masyarakat adat Melayu.

Beberapa topik utama yang diajukan untuk didiskusikan dalam musyawarah adat terbuka tersebut meliputi:

Masa depan pengelolaan ruang laut dan wilayah pesisir Melayu;

Dampak pembangunan pelabuhan dan investasi besar terhadap komunitas lokal;

Posisi dan peran LAM serta masyarakat adat dalam menghadapi ekspansi ekonomi berbasis lahan dan laut;

Keterlibatan generasi muda Melayu dalam menjaga marwah budaya di tengah derasnya arus pembangunan dan globalisasi.

Menurut GAMNR, keberadaan LAM tidak boleh semata-mata menjadi simbol budaya dalam prosesi adat atau alat pembenaran dalam kerja sama ekonomi. Lembaga ini harus menjadi benteng adat yang menyuarakan aspirasi masyarakat dan menjamin agar kebijakan pembangunan tidak mencederai hak-hak komunitas lokal.

GAMNR juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap lembaga-lembaga sosial dan adat agar tidak disalahgunakan menjadi instrumen kekuasaan atau bagian dari jejaring kepentingan politik dan ekonomi yang merugikan rakyat. Mereka menuntut adanya pengawasan konkret, berkesinambungan, dan berbasis kompetensi terhadap arah kebijakan dan kerja-kerja lembaga tersebut.

“Organisasi harus dijalankan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dan kepiawaian dalam menjawab tantangan zaman. Bukan menjadi alat kekuasaan, apalagi sarana bagi-bagi proyek atau tameng terhadap praktik usaha ilegal di Tanjungpinang dan Kepri,” tegas Said.

Pakar sosiologi budaya Universitas Riau, Dr. Rinaldi Azhar, menilai bahwa seruan GAMNR ini mencerminkan kebutuhan mendesak untuk membumikan kembali fungsi adat sebagai instrumen partisipasi rakyat dalam pembangunan.

“Dalam banyak kasus, lembaga adat cenderung terjebak menjadi simbol seremonial yang kehilangan kedekatannya dengan rakyat. Padahal fungsi aslinya adalah mediasi, advokasi, dan perlindungan terhadap komunitas adat. Musyawarah terbuka seperti yang diserukan GAMNR adalah bentuk koreksi penting untuk mengembalikan peran substantif tersebut,” ujarnya.

Dr. Rinaldi juga menyoroti pentingnya prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) dalam setiap proyek pembangunan yang berdampak pada wilayah adat. “Ruang laut dan pesisir bukan hanya objek ekonomi, tapi ruang hidup dan ruang budaya. Jika masyarakat adat tidak dilibatkan sejak awal, bukan hanya hak mereka yang dilanggar, tapi juga potensi konflik sosial yang meningkat,” jelasnya.

Tantangan besar yang dihadapi masyarakat Melayu pesisir hari ini bukan hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Ketika adat dan budaya dijadikan alat legitimasi oleh elite lokal untuk meraih pengaruh atau kepentingan proyek-proyek besar, maka yang dikorbankan adalah rakyat kecil yang selama ini menggantungkan hidup pada laut, hutan, dan ruang sosialnya.

Dalam konteks ini, GAMNR berharap agar Hulubalang dan pengurus LAM mampu menjadi figur moral yang tidak hanya kuat secara simbolik, tetapi juga kokoh dalam memperjuangkan hak rakyat dan menjaga jarak dari jebakan kekuasaan.

Pertemuan adat terbuka yang diserukan GAMNR bukanlah bentuk perlawanan, tetapi undangan untuk kembali ke akar budaya musyawarah yang terbuka, egaliter, dan solutif. Di situlah marwah Melayu diuji—bukan di panggung seremonial, tetapi di meja tempat anak negeri duduk bersama, menyusun masa depan mereka sendiri.

Sebagaimana dikatakan dalam pernyataan GAMNR, “Melayu yang kita junjung bersama adalah Melayu yang hidup bersama rakyat. Bukan yang menutup ruang kritik, bukan yang takut pada perubahan, tetapi yang berani menjaga marwah budaya di tengah gelombang zaman.”(Arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *