banner 728x250
Daerah  

Fpk bubarkan saja, nggak bermanfaat — habiskan APBD

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Muhammad Fadil Hasan,S.H,. Advokat berdomisili di Jakarta. Ketua Forum Masyarakat Pemantau APBD APBN Nasional.

Jakarta.-Di saat anggaran daerah menjerit untuk memperbaiki infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, sebuah lembaga bernama Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) terus berjalan—rapat, makan bersama, memakaikan adat, menerima honor bulanan—tanpa bukti nyata kontribusi terhadap kemajuan daerah.

banner 325x300

Kritik keras datang dari dalam tubuhnya sendiri: “FPK namanya bagus, tapi faktanya tidak sesuai. Kegiatannya hanya seremonial dan banyak diisi oleh pensiunan serta lansia,” kata M. Fadil Hasan, SH., mantan wakil FPK dari Kepri yang memilih mundur karena muak.

Kekecewaan Fadil bukan sekadar keluhan personal. Ia menyingkap masalah lebih mendasar: lembaga yang seharusnya menjadi jembatan dialog antar-etnis justru berubah menjadi arena formalitas. Gagasan pembangunan tak pernah didengar, posisi diisi oleh titipan organisasi, kritik dianggap tabu, dan yang paling menyakitkan bagi warga sadar anggaran—FPK menghabiskan dana publik tanpa ukuran manfaat yang jelas.

Suara itu kini menggema di Tanjungpinang dan seluruh Kepulauan Riau. Pertanyaan sederhana namun menohok pun muncul: untuk apa mempertahankan lembaga kebangsaan yang tak lagi membaur dengan realitas sosial dan kebijakan publik?

FPK hari ini lebih mirip protokol kenegaraan yang hidup dari rutinitas seremonial. Pakaian adat di upacara 17 Agustus, foto bersama di peringatan Sumpah Pemuda, dan jamuan makan tahunan menjadi inti kegiatan. Substansi pembauran—dialog lintas komunitas, pemberdayaan masyarakat, atau advokasi kebijakan anti-diskriminasi—nyaris tak terdengar. Saat ada anggota yang mencoba menawarkan gagasan segar, responnya sering hanya senyuman sopan dan janji yang lenyap di udara.

Masalahnya bukan hanya soal estetika kegiatan, tapi soal legitimasi moral. Di tengah kebutuhan rakyat yang mendesak, lembaga seperti FPK justru menjadi beban anggaran. Salah satu mantan anggota menuturkan, “Kami tiap bulan dapat honor Rp1,8 juta. Tapi untuk apa? Program strategis tidak ada. Hanya rapat, makan, dan seremonial.” Dalam kondisi fiskal yang ketat, bukankah uang itu lebih baik digunakan untuk pelatihan kerja, beasiswa, atau perbaikan fasilitas publik?

Lebih jauh lagi, rekrutmen di tubuh FPK sering kali tersandera oleh logika patronase. Banyak posisi diisi bukan berdasarkan kapasitas dan representasi komunitas, tetapi titipan organisasi atau kepentingan politik tertentu. Ironi pun muncul: lembaga yang seharusnya merawat pluralisme justru memperkuat eksklusivitas dan oligarki lokal. Ketika kursi lebih penting daripada kontribusi, maka pembauran yang diidamkan hanyalah slogan kosong.

Kegaduhan internal yang terjadi belakangan—seperti pergantian pengurus lewat SK tanpa musyawarah—menambah bobot argumen pembubaran. Mekanisme demokratis diabaikan, transparansi dihapuskan, dan ruang dialog dibungkam. Tak heran jika muncul dugaan kuat bahwa FPK dijadikan alat politik identitas. Kontrol atas forum kebangsaan memberi akses simbolik bagi mereka yang ingin menegaskan pengaruh menjelang tahun-tahun elektoral. Dalam konteks ini, FPK bukan lagi lembaga pemersatu, melainkan kendaraan politik yang dibungkus dengan nama “kebangsaan.”

Bahkan, di Kabupaten Anambas, kisah suram FPK mencapai puncaknya. Dari total anggaran sekitar Rp160 juta yang seharusnya digunakan untuk kegiatan pembauran, dana itu justru diselewengkan. Ketua dan Sekretaris FPK Anambas akhirnya dijebloskan ke penjara selama 1,5 tahun karena tak mampu mempertanggungjawabkan uang rakyat tersebut. Kasus ini menjadi cermin betapa rapuhnya pengawasan, betapa rentannya lembaga ini dijadikan ladang korupsi kecil-kecilan atas nama toleransi dan kebangsaan.

Pembinaan dari Kesbangpol dan Kementerian Dalam Negeri pun patut dipertanyakan. Jika mekanisme evaluasi berjalan baik, mestinya lembaga seperti FPK tidak dibiarkan mandek dan menjadi beban moral bagi publik. Monitoring yang lemah, pembiaran terhadap penyimpangan, serta sikap reaktif yang sekadar retoris menunjukkan bahwa negara pun gagal menegakkan prinsip akuntabilitas dalam wadah yang mengusung semangat kebangsaan itu.

Kini, hanya ada dua pilihan realistis: reformasi total atau pembubaran. Reformasi berarti audit menyeluruh—kinerja, manfaat, dan keuangan—disertai transparansi rekrutmen serta pengukuran dampak nyata terhadap masyarakat. Tapi jika reformasi hanya menjadi ritual administratif lagi—sekadar ganti nama jabatan dan wajah lama dengan wajah baru tanpa perubahan nilai—maka langkah tegas lebih layak: bubarkan saja.

Membubarkan FPK bukan berarti menolak semangat kebangsaan, tetapi justru mengembalikan maknanya ke pangkuan rakyat. Dana APBD yang selama ini habis untuk rapat dan seremonial bisa dialihkan ke hal yang lebih bermakna: pendidikan multikultural, program pemberdayaan komunitas, layanan sosial bagi minoritas, atau inisiatif lintas budaya yang dijalankan masyarakat sipil yang benar-benar hidup bersama rakyat.

Refleksi ini bukan retorika kosong. Ia adalah seruan moral agar simbol tidak menggantikan substansi. Ketika nama “kebangsaan” dijadikan topeng untuk menutupi inefisiensi, pemborosan, bahkan korupsi, maka keberadaannya bukan lagi kehormatan, melainkan beban moral publik.

Kebangsaan sejati tidak tumbuh dari upacara, pakaian adat, atau seremonial tahunan. Ia hidup dari kesetaraan, kerja nyata, dan keberanian mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang rakyat. Jika FPK tidak lagi mampu menjadi wadah itu, maka pembubarannya bukan kehilangan—melainkan penyelamatan.

Karena bangsa ini tidak butuh simbol kebangsaan yang berdiri megah di atas kebohongan, tapi lembaga yang benar-benar bekerja untuk rakyat yang membiayainya.

“Redaksi_

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *