Oleh: A. Rio Framantdha
Gelombang demonstrasi 25 Agustus 2025 bukan sekadar letupan emosi sesaat, melainkan dentuman keras dari jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap rezim politik hari ini. Ledakan amarah itu lahir dari akumulasi kekecewaan panjang, dari kebijakan yang dianggap menindas hingga wajah oligarki yang semakin telanjang di hadapan publik.
Jakarta dan kota-kota besar lainnya menjadi saksi bagaimana api ketidakpuasan membakar gedung, merusak rumah pejabat, dan menyeret nama-nama besar di DPR ke meja kemarahan rakyat. Sri Mulyani, Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Syahroni, hingga Nafa Urbach—semuanya menjadi simbol dari lembaga yang gagal membaca denyut nadi rakyat.
Bagi DPR, ini bukan sekadar kerusuhan. Ini adalah tamparan sejarah. Lembaga yang seharusnya menjadi rumah rakyat justru tampak sebagai menara gading, jauh dari penderitaan publik. Permintaan maaf massal, pencabutan tunjangan, bahkan pemecatan sejumlah anggota DPR yang dianggap bermasalah hanyalah “ritual penebusan dosa” yang hambar. Pertanyaan yang lebih besar menggantung di udara: apakah DPR sungguh-sungguh belajar dari tragedi, atau hanya sedang mendandani citra yang sudah busuk?
Kini, peluang lahirnya “DPR Rumah Reformasi Jilid II” terbuka. Namun, ini bukan reformasi yang dimaksudkan untuk menjatuhkan presiden seperti 1998, melainkan reformasi yang harus mengawal kekuasaan agar tidak diculik oleh bandit politik, tidak ditunggangi oleh para mafia, dan tidak disandera oleh koruptor. Reformasi kali ini adalah ujian hidup-mati: apakah DPR berani menjadi pagar republik, atau sekadar menjadi karpet merah bagi penguasa yang lapar kuasa.
Tanpa keberanian DPR mendesak presiden mencopot pembantu kabinet yang bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa, seluruh permintaan maaf hanyalah kosmetik politik. Rakyat tidak butuh teatrikal air mata; rakyat menuntut akuntabilitas nyata. Darah Affan Kurniawan dan korban-korban lain bukan untuk dilupakan, melainkan untuk dijadikan pengingat bahwa nyawa manusia lebih berharga daripada jabatan menteri atau lainnya.
Di ranah pemberantasan korupsi, DPR berdiri di simpang jalan. Kasus tambang ilegal, penyelundupan cukai, hingga penahanan Nadiem Makariem oleh Kejaksaan Agung adalah bom waktu yang siap meledak. Kotak Pandora bisa terbuka, menyeret lingkaran elite lama, bahkan nama besar seperti Jokowi. Inilah momentum prinsip equality before the law diuji secara brutal. Jika DPR hanya berani mengejar kaki-kaki kecil, sementara para gajah politik tetap bebas berkeliaran, maka DPR bukan lagi rumah rakyat—melainkan markas pengkhianat.
Isu makar yang membayang-bayangi demo juga nyata. Tudingan adanya “genk Solo” yang menunggangi kerusuhan untuk agenda kudeta. Ini alarm bahaya. Jika DPR gagal membaca tanda zaman, republik ini bisa jatuh ke jurang kudeta jalanan. DPR harus memilih: menjadi benteng terakhir demokrasi atau tetap nyaman menjadi stempel kekuasaan.
Dan di atas semua itu, inti persoalan tetap sama: perut rakyat. Harga sembako yang menyesakkan, pajak yang mencekik, dan pengangguran yang kian menggila adalah bahan bakar yang menyulut api. Demo 25 Agustus adalah sirene keras. Jika DPR kembali tuli, gelombang berikutnya tidak hanya lebih besar—tetapi bisa menghancurkan tatanan politik yang ada.
DPR hari ini berdiri di persimpangan sejarah. Mereka bisa memilih menjadi rumah rakyat sejati—mengawal kebijakan agar pro-publik, mengusir mafia dari panggung kekuasaan, merampas aset koruptor, dan menjaga republik dari makar. Atau, DPR kembali larut dalam pragmatisme elitis, menjadi gedung megah penuh janji kosong, membiarkan rakyat kembali membakar simbol-simbol kekuasaan.
Reformasi jilid pertama berhasil meruntuhkan rezim otoriter. Reformasi jilid kedua jauh lebih berat: membersihkan demokrasi dari para pengkhianat, mengembalikan negara ke pangkuan rakyat, dan memastikan hukum tidak tunduk pada kekuasaan, melainkan kekuasaan tunduk pada hukum.
Sejarah sedang menunggu jawaban DPR. Jika mereka berani, mereka bisa menebus dosa masa lalu dan mengubah arah bangsa. Jika mereka pengecut, maka DPR hanya akan menjadi monumen busuk dari demokrasi yang dikorbankan di altar kepentingan oligarki.”redaksiSF