sidikfokusnews.com – Batam — Sebuah diskusi hangat dan penuh canda namun sarat makna terjadi di sebuah forum komunikasi para muballigh di Batam pada Sabtu (2/8). Percakapan yang awalnya dimulai dari pembahasan insentif dakwah, berkembang menjadi refleksi mendalam tentang integritas, rasa syukur, dan keberkahan hidup di tengah tantangan sosial-politik yang dihadapi bangsa.
Pembahasan dimulai ketika salah satu anggota mengungkapkan pertanyaan seputar etika menerima dana insentif dari pemerintah bagi para muballigh. Beberapa peserta menegaskan bahwa insentif tersebut adalah bentuk apresiasi negara atas pengabdian melalui pembinaan mental dan spiritual masyarakat, selama penerimaannya dilakukan secara benar dan laporannya disampaikan dengan jujur. “Kita kan tidak meminta, tapi diberi. Namun, jangan sampai laporan kegiatan diada-adakan, karena hal itu dapat mengurangi keberkahan,” ujar salah satu peserta diskusi.
Diskusi semakin menarik ketika ada yang menyoroti bahwa fasilitasi serupa juga diberikan kepada rohaniawan non-Muslim, seperti pendeta, dengan nilai yang sama. Hal ini mengisyaratkan bahwa program pemerintah tersebut bersifat inklusif lintas agama. Kendati demikian, sebagian peserta mengingatkan bahwa keberkahan insentif bergantung pada kejujuran pelaporan dan niat yang tulus dalam pengabdian.
Dari perbincangan ringan, obrolan bergeser ke ranah kritik sosial. Sejumlah peserta menyentil fenomena pejabat yang memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi, hingga membandingkannya dengan figur “demang dan centeng” pada masa kolonial. Bahkan, ada yang berkelakar bahwa meski tampaknya merdeka, rakyat kerap merasa seperti “ngontrak di negeri sendiri” karena tekanan pajak dan kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat kecil.
Isu korupsi pun tak luput dari sorotan. Salah seorang peserta menyampaikan doa agar para pejabat yang memakan harta rakyat secara zalim mendapat hukuman setimpal di akhirat, terutama jika vonis dunia terkesan ringan. Diskusi pun merambah pada aspek sufistik, mengingatkan bahwa setiap manusia adalah saksi atas dirinya sendiri, dan hanya ia yang tahu apakah jalan yang ditempuhnya halal atau justru dimurkai Tuhan.
Menariknya, di tengah refleksi tersebut, terselip pembahasan fenomena viral di masyarakat: pemasangan bendera fiksi “One Piece” di bulan kemerdekaan yang memicu respon tegas dari pemerintah. Fenomena ini memantik tanya tentang kesadaran nasionalisme di kalangan warga.
Di akhir diskusi, seorang peserta mengajak seluruh anggota forum untuk merenung lebih dalam tentang rasa syukur. Ia membandingkan kondisi Indonesia yang relatif aman—warganya dapat bekerja, beribadah, dan tidur dengan tenang—dengan negara-negara yang dilanda perang, krisis pangan, dan ketidakamanan ekstrem. “Namun sayangnya, sebagian warga masih kurang bersyukur, bahkan menjadikan agama sebagai alat politik. Akibatnya, keberkahan bisa tercabut, dan hidup akan terasa fakir meski memiliki dunia,” ungkapnya.
Forum tersebut menjadi potret khas interaksi para muballigh Batam: hangat, penuh gurauan, namun tetap sarat pesan moral dan kritik membangun. Di balik tawa dan canda, terselip kesadaran bersama akan pentingnya menjaga keikhlasan, integritas, dan rasa syukur, demi keberkahan hidup dan kemaslahatan umat. (Nursalim Turatea).