sidikfokusnews.com – Batam – Suasana diskusi di salah satu grup warga Batam pada Jumat (16/8) berlangsung hangat dan penuh dinamika. Perbincangan yang awalnya terkait isu demo masyarakat Pati berkembang menjadi refleksi yang lebih luas tentang kemerdekaan, kebijakan pajak, kemiskinan, hingga peran guru dalam mengatasi persoalan pengangguran.
Salah satu peserta diskusi menyinggung pernyataan Sudewo, politisi dari Pati, yang dinilai menantang rakyat. Hal itu kemudian memantik respons berupa ajakan untuk bergerak dan membangun kemandirian ekonomi. “Mari bikin smelter untuk olah nikel, emas, dan tambang yang lainnya. Kalau pemalas, hidup di negara manapun tetap kere,” ujarnya.
Pernyataan tersebut memunculkan pertanyaan kritis dari Arief Setyawan, tokoh masyarakat Batam. Ia menolak pandangan bahwa kemiskinan semata-mata disebabkan oleh kemalasan. “Benarkah kemiskinan, ketidakmampuan mendapatkan kebutuhan asasi dan pelayanan asasi itu hanya karena kemalasan?” tulisnya. Arief juga menyinggung isu kebijakan negara yang dianggap membebani rakyat. “Kalau ada pejabat negara yang menaikkan pajak hingga lebih dari 400% tapi tidak menantang opini publik, apakah itu boleh dan wajar?”
Diskusi semakin ramai ketika peserta lain menilai rakyat sebaiknya tidak terlalu muluk memikirkan negara, melainkan fokus pada keluarga masing-masing. “Minimal bisa berjuang untuk anak istri. Kita syukuri alam kemerdekaan ini. Bisa kerja, ngaji, ibadah, belajar dengan aman. Coba tengok negara sebelah seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Bisa tidak warganya bicara sembarang di medsos? Bisa tidak ngaji sampai larut malam?” katanya.
Namun, Arief kembali menegaskan bahwa mengkritisi kebijakan negara adalah hak rakyat. “Jangan sibuk membandingkan dengan negara lain. Kalau bicara kemalasan, cerita saja sama ratusan orang yang tiap hari keliling di Muka Kuning untuk cari kerja,” ujarnya.
Perbincangan kemudian mengalir ke dunia pendidikan. Seorang anggota grup melontarkan pertanyaan provokatif: “Ciri guru yang berhasil itu apa? Apakah guru yang muridnya kreatif dan bisa mengatasi problematika kehidupan, atau guru yang muridnya banyak jadi pengangguran? Tanya pada mereka, sekolahnya di mana, kampusnya apa?”
Arief dengan tegas menjawab bahwa guru tidak bisa dipaksa bertanggung jawab atas kesejahteraan murid setelah lulus. “Guru itu mengajarkan ilmu. Kyai itu mengajarkan ilmu. Ulama itu mengajarkan ilmu. Keberhasilan guru adalah menjadikan murid dan santrinya memiliki ilmu, bukan memastikan apa yang akan terjadi pada mereka kelak. Yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat adalah pemimpin negara, karena di tangan merekalah semua pungutan itu diambil dan dikelola,” jelasnya.
Meski demikian, Arief membuka ruang bagi peran tambahan dari kalangan pendidik. “Para guru dan dosen juga boleh ikut. Siapa tahu bisa memberikan pekerjaan dan mengurangi pengangguran dari murid dan mahasiswanya,” tambahnya.
Diskusi semakin riuh ketika beberapa anggota grup lain ikut menanggapi dengan nada kelakar. “Ini maksudnya apa ya? Apakah guru juga harus ikut bertanggung jawab kalau muridnya jadi pengangguran?” tulis Suhaimi Abdullah. Menyambung pernyataan tersebut, Achmad Abu Syahid dengan nada bercanda menulis, “Saya nyimak saja, ini diskusi level pakar.” Suhaimi pun menambahkan, “Pakar itu pandai berkelakar.”
Namun, di tengah gurauan, tetap ada suara serius yang menyoroti kesewenang-wenangan pemerintah. “Kalau pemerasan pemerintah melalui kebijakannya dibiarkan saja dengan alasan rakyat jangan jadi pemalas, lalu apa tidak berdosa rakyat membiarkan kesewenang-wenangan di depan mata?” tulis salah seorang peserta diskusi.
Perdebatan yang semula sederhana pun menjelma menjadi refleksi mendalam tentang hakikat kemerdekaan, tanggung jawab pemerintah, hak rakyat untuk bersuara, hingga eksistensi guru dalam kehidupan sosial. Diskusi itu sekaligus memperlihatkan bahwa ruang-ruang percakapan digital masyarakat bukan hanya tempat berbagi informasi, tetapi juga menjadi arena dialektika, kritik, dan refleksi kebangsaan.”(Nursalim Turatea).