Catatan : Oleh Agus M Maksum
“Ketika Tunjangan DPR, Media Sosial, dan Tragedi Ojol Menyulut Gelombang Aksi Nasional
Kadang sejarah berubah arah bukan karena pidato panjang, bukan pula karena keputusan besar di ruang rapat. Ia berbelok hanya karena sebuah aksi joget.
24 Agustus. Publik tersulut oleh video anggota DPR berjoget di sidang tahunan MPR. Joget yang dianggap tak tahu waktu, di tengah kabar kenaikan tunjangan jumbo. Rakyat yang sedang gelisah melihat harga naik, tiba-tiba disuguhi tontonan wakilnya berjoget. Itu bukan sekadar hiburan, tapi penghinaan.
Maka buruh turun. Mahasiswa ikut. Jalan di depan DPR jadi panggung protes.
25 Agustus. Gelombang itu masih bisa diredam — kalau saja tidak ada kejadian tragis: Affan Kurniawan, seorang driver ojol, terlindas Barracuda Brimob. Ia bukan demonstran. Ia hanya melintas, mengantar makanan, mencari nafkah. Justru karena itu, ia jadi simbol. Simbol rakyat kecil yang digilas kekuasaan.
Narasi itu sederhana: “ojol mati demi DPR berjoget dan naik tunjangan.” Tapi dari kesederhanaan itulah amarah rakyat jadi energi.
Dari Jakarta, api itu menjalar ke Surabaya, Bandung, Makassar, Medan. Aksi menjalar cepat, tak perlu koordinator tunggal. Media sosial jadi komando. Buruh tetap turun, mahasiswa tambah banyak, rakyat ikut merapat.
Dan yang lebih mengejutkan: Polisi menghilang.
Barikade dibongkar, jalanan terbuka. Entah karena takut dituduh represif lagi, entah karena strategi tarik mundur, atau entah memang sengaja membiarkan. Yang jelas, bagi massa, absennya polisi adalah undangan.
Maka yang terjadi bukan sekadar demo. Rumah para anggota DPR disatroni.
• Rumah Sahroni, si “crazy rich” DPR, jadi sasaran.
• Rumah Eko Patrio tak luput dari amuk.
• Rumah Uya Kuya, yang belakangan jadi anggota DPR, juga dijarah.
• Beberapa tokoh lain mengalami nasib serupa: kaca pecah, pagar dibakar, barang dijarah.
Itu puncak dari kemarahan yang sudah tak terkendali. Awalnya tuntutan hanya menolak tunjangan DPR. Lalu bergeser: usut tragedi ojol, copot Kapolri, turunkan DPR. Dari isu ekonomi, berubah jadi isu politik, lalu melebar jadi soal legitimasi negara.
Refleksi
Gelombang 24–31 Agustus adalah contoh klasik bagaimana kecerobohan elite bisa memantik badai. Joget yang dianggap sepele, tunjangan yang dinaikkan tanpa rasa malu, lalu tragedi seorang ojol. Tiga hal itu bertemu, membentuk badai politik yang menjalar ke seluruh kota.
Buruh adalah pemicu, mahasiswa adalah penguat, ojol adalah simbol, media sosial adalah pengeras, dan aparat yang hilang adalah bensin yang membuat api menyala.
Semua bermula dari joget. Semua meledak karena seorang ojol. Semua menjalar karena elite tak paham, rakyat sudah lama menunggu alasan untuk marah..”(arf-6)